Senin, 23 September 2013

Seribu Untaian kata :*

Sampul indah yang tak berisi pikiran ku mengenai derita yang sedang kujalani, melangkahkan kaki sedikit demi sedikit membayangkan segala hal yang akan kulalui nantinya dengan sepasang sendal kecil yang masih terpasang erat di kakiku. Aku masih mengingat saat terakhir aku melepaskannya untuk orang itu, melepaskan segala hal yang telah kokoh dan membiarkan dia menghancurkan meski tanpa dosa sedikitpun.
Lelah memang lelah saat melihat kembali ke atas, bodoh tak ubahnya kata hina yang selalu menamparku. Tak ku rasakan sakit itu lagi, bahkan tak ada kata sakit karena akan sangat pedih jika mengingat dulu sakit yang kualami membuatku peka dan hambar dengan rasa sakit di hati.
Awal untain dengan seribu kata menggambarkan diriku yang sangat menghargai cinta namun tak dihargai oleh cintanya.
Sesosok gadis yang tengah menyapu segala isi ruang di tempat itu adalah aku. Diriku yang terbiasa memperhatikan setiap orang dari jauh, hingga kejauhan membuat sepasang tangan mendekatiku.
“berbalik.. tidak.. berbalik.. tidak.. berbalik”
Sontak mataku membelalak saat melihat wajahnya berbalik kehadapanku. Sebuah mantra kecil yang ku ucapkan terus menerus membuatku tersenyum melihatnya. Tingkahnya dari jauh saat itu kuanggap sama saja, hingga saat mata indah itu terus menatapku dalam, dia mulai terlihat beda meski yang dia lakukan sama dengan orang disekitarku.
Dia.. dia datang mengucapkan salam di message akun sosial ku, dengan ucapan salam biasa aku menjawabnya.
Dia.. dia orang yang telah lama berada didekatku namun tak pernah sedekat ini.
Dia.. dia yang menjadi sosok yang tak pernah putus dari pandanganku walau dulu dia hanyalah secercah cahaya yang terus berada disekitarku.
Hingga secerah cahaya itu menyilaukan mataku. Sangat indah saat menatapnya dan membalas messagenya.
“hai”
Kata tak bermakna namun berati untuk diriku. Mengucapkan satu kata untuk memulai segala percakapan. Hingga kami terus-menerus membalas messange satu sama lain. Tak tau kenapa setiap kata yang tebaca di layar yang berada dihadapanku selalu membuat ku tersenyum. Tersenyum sendiri melihat segala kata-kata itu. Dan yang ku inginkan saat itu keadaan yang sama dengan dia yang berada jauh dengan ku saat itu. Kami sudah saling mengenal satu sama lain namun dia tetap menganggapku seorang adik baginya. Hanya seorang adik tak lebih saat itu. Dan bodohnya diri ku tetap merasa bahagia meski hanya menjadi sesosok adik baginya.
Kakak. Apa kamu melihat adikmu?, yang tak pernah menganggapmu kakak ku. Aku selalu menganggapmu seorang lelaki dewasa dihadapanku. Serasa air mata ini bercucuran saat mengucapkan semua kata itu di depan layar yang hanya bisa bungkam melihat diriku. Boneka yang hanya bisa diam dengan kata-kata adalah diriku. diriku yang terlalu takut berkata jujur meski yang kurasa saat itu sangat mengiris perasaan sayang ini.
“kakak?”
Ku mulai mengatakan segalanya.
“iya.”
“ada yang mau aku beritahu ke kakak”
Dengan tangan yang gemetaran dan nafas yang mulai ku atur perlahan. Ingin ku beritahukan segalanya. Tapi tak tau mengapa segala hal mulai berputar di otak ku. Dimulai dari hal apakah kamu bisa tetap seperti ini setelah kuungkapkan segalanya ataukah malah akan berbalik mencaciku sendiri. Membuat hubungan ini hancur meski ini adalah hubungan tanpa status yang jelas sedikit pun.
“iya. apa?”
“tidak ada kak. Aku hanya bercanda?”
Aku menghancurkan segalanya dengan satu kalimat itu. Membuat diriku yang selalu mempertimbangkan segalanya menjadi orang yang putus asa.
“ya udah”
Satu kata yang sangat membuat ku sangat frustasi. Apakah dia tak pernah menganggapku. Atau hanya aku yang merasakan segalanya.
Hampir sebulan kami terus seperti itu. terus bertemu namun dia tetap menganggap ku biasa saja, bahkan untuk memalingkan wajahnya kepada ku saja serasa ada yang menahannya. Sesulit itu kah senyum untuk ku. Aku mulai berpikir apa aku memang hanyalah mainan untuknya atau apalah yang disebut orang.
Dia menjadi sesosok yang berbeda saat bertemu dengan ku dan pada saat mengirimkan message kepada ku.
Hingga malam itu tiba, malam dimana semuanya serasa berbeda, hawa serasa membuat semua bulu kuduk ku merinding bukan karena sesuatu yang tak nampak namun karena dirinya, yang mulai berani mengungkapkan segalanya.
Meskipun senang saat dia mulai bertanya tentang diriku dan perasaan ku tentangnya. Namun aku tak mengerti mengapa tangan dan kakiku sangat dingin. Saat membaca satu kalimat di layar hadapan ku.
“MAU KAH KAU BERSAMA KU?”
Satu kalimat yang mulai kucerna namun belum berani ku pastikan. Yang ku inginkan saat itu segala hal yang berada di benak ku adalah yang terbaik saat itu. Tapii…!!
“aku tak mengerti”
Ku keluarkan kata-kata untuk mengecohnya kalimat yang sulit itu dan membuatnya pasti saat itu juga. Agar tiada lagi panggilan kakak adik yang dapat membohongi perasaan ku hingga detik ini.
“jujur aku sayang kamu, kamu?”
Kubuka lebar-lebar mataku, kuusap mata ku dengan jelas agar aku tak salah saat membaca kalimat itu. Yang kulihat telah tersampaikan di otak ku di cerna dengan batin ku dan kurasakan dengan perasaan ku saat ini. Ku harap semunya akan berjalan dengan bahagia, pikir ku saat itu.
“aku juga seperti itu”
Akhirnya segalanya menyatu. Dan segala hubungan ini telah memiliki status namun kalimat selanjutnya pun berjalan.
“tapi yang kuharapkan hanya kita berdua yang tau. Tak lebih dari itu”
Kenapa?, kenapa hanya kita berdua?, apa alasan kamu? namun bodohnya tangan ini menerima segalanya. Meski pertanyaan masih bergulir di kepala ku namun tetap kulalui, meski menyayat namun tetap ku terima.
Kami pacaran namun tak seperti pasangan lain. Dia hanya bisa berbicara dengan ku melalui perantara. Dia tak pernah menginginkan untuk berbicara langsung bahkan untuk senyum dengan ku tak pernah. Hubungan backstreet?, bukan ini yang ku mau.
Seminggu dia menghidariku, namun aku tetap mengangapnyaa. Tetap mengangap dirinya yang kusayang. Meski sangat pedih namun aku tetap bertahan. Bertahan untuknya dan perasaan ini.
Dia terus menjauh, sangat jauh. Hingga diri ini terus berusaha mendekat dengannya namun ia terus saja menjauh, menjauh dari ku yang masih terus saja mengejarnya, menganggapnya dan merindukannya yang telah berubah menjadi orang lain yang tak pernah ku kenali lagi.
Meski telah jauh namun aku tetap disini, menunggunya kembali melihatku, menunggunya menganggapku kembali meski yang kuharapkan tak ubahnya serpihan harapan yang tak berujung.
Dia datang kembali untuk mengatakan sesuatu, namun yang dia katakan sangat berbanding terbalik dengan yang kuharapkan.
Dia menginginkan untuk mengakhiri segala hal ini, mengakhiri segala hal yang tak seorang pun ketahui. Dapatkah dia ketahui aku sakit, sangat sakit jika ingin memastikan hal yang telah ku lepaskan menjadi tak berarti untuk yang lalu bahkan untuk yang sekarang.
Orang yang sering kuperhatikan sembunyi-sembunyi sekarang menjadi orang lain. Meski dulu tetap menjadi orang lain dan menjadi pacar ku secara sembunyi-sembunyi namun aku yakin ini lah yang terbaik. Ditinggalkan olehnya tanpa kata dari pada bersamanya tanpa senyuman sedikit pun. Dulu aku tak ubahnya sebuah udara yang berharap di genggam namun tak akan pernah bisa. Sesuatu yang sangat mustahil selalu ku inginkan namun sekarang aku mulai berpikir ulang jika dia bukanlah orang yang pantas untuk ku dan mengambil perasaan sayang yang tulus dari diri ini.
Lama kami tak bersama lagi, lama kami tak berbincang lagi baik itu secara langsung secara langsung maupun melalui pesan singkat sekali pun. Aku mulai terbiasa dengan semua itu walau hampir setiap hari aku melihatnya namun aku mulai berusaha untuk membuat itu biasa saja. Meski sulit namun aku terus berusaha. berusaha membuatnya menjadi hal yang biasa saja untuk diri yang juga biasa-biasa saja yang terus mencintai hal-hal yang biasa saja seperti dirinya yang telah menjadi orang biasa untuk hidupku saat ini.
Di saat aku berusaha menjadikannya biasa saja, dia datang kembali. Kembali datang mengungkit hal-hal yang telah lalu. Dan tak tau mengapa aku tak pernah tahan mendengar setiap kata-katanya, aku selalu termakan semua kata-kata yang dia keluarkan, aku dengan mudahnya terpedaya olehnya, terpedaya oleh setiap kata-kata nya. Apa aku bodoh atau mungkin aku terlalu menyayanginya. Aku sendiri tak mengerti diriku. Tak mengerti mana sayang itu mana benci itu.
Semakin dia bicara semakin aku tak berhenti mendengarnya, mendengar segala kata-kata yang tak ku tau apakah itulah hal yang paling jujur atau kah hanya kebohongan untuk mempermainkan diriku untuk kedua kalinya.
Hingga diri ini menyetujui segalanya, menyetujui untuk kembali bersamanya. Walaupun kembali tanpa diketahui orang lain lagi, namun aku tetap menginginkannya. Meski kembali menjadi orang bodoh namun aku terus merasa inilah aku. Diriku yang tak akan pernah lepas dengannya meski sudah berusaha untuk membuatnya biasa saja.
“terima kasih kau bisa bersama ku lagi”
Terima kasih untuk kata-kata itu lagi, meski bodoh namun aku akan terus bersama mu.
Perkataan seseorang mungkin akan lebih berharga jika itu kau ucapkan dengan cara yang tulus dan tanpa kebohongan sedikit pun.
Kebersamaan kami bersama untuk kedua kalinya mungkin lebih lama dari kebersamaan kami yang pertama kalinya, kebersamaan kedua yang kuharapakan tanpa kebohongan sedikitpun ternyata membuatnya kembali menjadi dirinya yang kubenci.
Sudah cukup untuk segala penghinaan yang dia berikan, menjadi dirinya mungkin sangatlah menyenangkan, menyenangkan mempermainkan perasaan tulus ini. hingga segala hal terbuka. Bagaimana tidak aku baru sadar dia seperti ini semua karena aku, karena sesuatu yang dulu ku anggap biasa ternyata sangat melukainya.
“itu semua hanyalah lelucon namun bisakah kamu mengerti perasaan ku”
Ucapku saat pertengkaran itu dimulai
“kamu katakan itu lelucon, sejak awal aku sangat menyayangi mu namun kamu menganggap semuanya lelucon apa itu lucu untuk dirimu. Dan hanya ini yang membuat mu mengerti bahwa aku bukan orang yang kamu kenal dari awal”
Seperti hujaman tajam menghatamku. Sangat sakit, maafkan aku. maaf untuk segalanya.
“maafkan aku”
Hanya itu yang dapat aku katakan. baru bisa menyadari semuanya. maafkan aku. Maafkan aku. Maaf dalam tetesan air mata yang tak berarti. Tak berarti dia mengetahuinya karena akan lebih menyakitkan jika dia tahu namun tak menganggapinya sedikitpun. Tak akan pernah berarti dan akan menjadi sia-sia. Setidaknya air mata itu dapat menghapus kebodohan dan kesalahan ku untuk kisahku dengannya.
Meski kata maaf tak berarti, meski beribu tetesan air mata tak akan berhenti. Aku akan terus mengingatmu, meski sakit namun seribu untaian kata akan selalu mengambarkan dirimu yang telah menjadi pelajaran berharga untuk ku
BY:Annisa Fitriani.B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar