Pagi ini mentari tidak mencerahkan langit dengan kilaunya
yang menyilaukan mata. Sudah tiga hari ini cuaca di kawasan Jakarta
Selatan ini di rundung mendung. Mendung biasanya mempengaruhi mood
seseorang. Namun tidak dengan gadis yang satu ini. Ia tetap bersenandung
sambil membereskan tempat tidurnya. Sesekali ia menari mengikuti irama
musik yang sedang diperdengarkannya. Kemudian ia berhenti melakukan
aktivitasnya, lalu tersenyum. Karena seseorang yang begitu sempurna
dimatanya menelepon.
“Hai, Alya. Udah bangun kan?” sapa seseorang di ujung telepon.
“Ah, Biyan garing deh! Kalau teleponnya aku angkat ya berarti udah
bangun dong!” jawab si gadis dengan cemberut membuat wajahnya terlihat
semakin imut saja.
“Hehe namanya juga basa basi doang, dear. Udah mandi belum? Kayanya belum nih. Soalnya masih bau naga gitu deh hehe..”
“Biyan! Rese ah! Aku tutup ya teleponnyaaa..” ancam si gadis. Padahal
dirinya masih ingin sekali mendengar suara pujaan hatinya. Sudah satu
minggu Biyan tidak menghubunginya karena sedang sibuk mengurus pesta
pernikahan yang kedua bagi ayahnya dengan seorang wanita cantik.
“Jadi ngga kangen nih sama aku? Kalau ngga kangen sih ya udah, tutup
aja, dear.” di seberang sana Biyan mencoba menahan tawanya.
“Aku ngga kangen sama kamu, Biyan Nugraha. Karena aku kangeeen bangeet sama kamu..” jawab Alya dengan manjanya.
Biyan yang mendengar perkataan gadisnya membuat ia tersenyum kecut.
Terasa ada lubang hitam yang menghatam hatinya. Di ujung matanya
terlihat sebutir air bening yang hendak menuruni pipinya. Entah mengapa
perkataan Alya membuatnya merasa sedih. Kemudian Biyan hanya terdiam.
“Mmm, babe, are you okay? Kok ngga ada suaranya?” tanya Alya yang langsung menyadarkan Biyan.
“Eh uhm eeeng i-iya aku b-baik kok. Ini ada suaranya kan hehe”
“Kamu ada masalah ya? Cerita dong sayang…”
“Kalau ada masalah, pasti aku langsung ceritanya dong, dear.”
Bagaimana mungkin aku bercerita padamu, Alya. Kalau ternyata kau-lah
masalahnya. Kata-kata tersebut tidak berhasil keluar dari mulut Biyan
dan hanya bersemeyam dalam benaknya. Obrolan pun berlanjut hingga dua
jam lebih. Selama dua jam Biyan mencoba menyembunyikan perasaannya.
Selama itu pula Alya merasa ada yang tak wajar dengan kekasihnya.
—
“Biyan, kamu udah cerita sama Alya kalau ayahmu mau nikah?” tanya seorang wanita cantik kepada ‘calon’ anaknya.
“Uhm, udah sih. Tapi dia kan ngga tau calonnya siapa.” jawab Biyan dengan enggan. Topik inilah yang sedang ia hindari akhir-akhir ini.
“Uhm, udah sih. Tapi dia kan ngga tau calonnya siapa.” jawab Biyan dengan enggan. Topik inilah yang sedang ia hindari akhir-akhir ini.
“Kenapa? Nanti kalau dia marah gimana?” tanya si wanita dengan penuh kebingungan.
“Paling aku sama dia putus, Tan. Yang penting ayah bahagia kan, Tan?
Udah ah, ngga usah dibahas lagi.” Biyan pun pergi meninggalkan si wanita
yang masih merasa kebingungan akan keadaan ini.
—
“Kak, bunda pulang kapan sih?” tanya gadis berambut ikal kepada kakaknya yang sedang termenung.
“Biyan kok aneh ya…” jawaban yang keluar dari bibir mungil si gadis tidak membuat gadis ikal puas.
“Kak Alya! Andara nanya bunda pulang kapan malah ngomongin Kak Biyan. Bunda pulang kapan sih kaaak?”
“Eh, maaf. Kakak ngga dengar suara kamu, Dara. Ngga tau nih, udah
seminggu bunda ngga pulang juga. Nanti kakak coba telepon bunda deh
ya..”
“Coba ayah masih sama bunda.. Pasti kita ngga tinggal berdua kalau bunda lagi pergi.”
Perkataan adiknya membuat Alya tersentak. Orang tuanya sudah bercerai
sejak Andara masih berumur empat bulan dalam kandungan. Hakim
memutuskan Alya yang berumur dua tahun dan Andara diharuskan tinggal
bersama bunda dan dua orang kakaknya harus tinggal bersama ayah. Tidak
adil. Karena Alya sangat dekat dengan ayahnya sedangkan kedua orang
kakaknya dekat dengan bunda. Kata-kata adiknya tadi membuat serangkaian
kisah di masa kecil yang sudah memudar hadir kembali. Lalu yang ada
hanya rasa marah.
“Kamu itu ngga pernah kenal ayah! Jangan sok merasa paling tahu
tentang ayah! Ada atau ngga ada ayah hidup kita pasti selalu sepi!” Alya
membentak adiknya dengan keras. Ayahnya yang berprofesi sebagai koki di
kapal pesiar ternama membuat ia tidak memiliki waktu yang cukup banyak
untuk keluarganya.
Andara terdiam. Ia memang tidak pernah tahu ayahnya seperti apa. Yang
ia ketahui hanya foto usang yang tersimpan di gudang yang mengabadikan
potret ayah, bunda, Alya, dan kedua kakaknya yang lain. Tak lama ada
suara isakan. Andara menangis. Alya yang mendengar isakan adiknya,
merasa bersalah. Tanpa ucapan apa-apa, ia memeluk gadis yang berada di
sampingnya.
“Maafin kakak. Kakak juga sebenarnya tidak terlalu tahu tentang ayah.
Cuma dua tahun kakak bisa mengenal seorang ayah. Maaf ya, Dara. Kakak
salah udah ngebentak kamu.” Dara menjawabnya dengan anggukan kepala. Di
luar sana hujan turun dengan derasnya. Hujan juga sedang turun di kedua
hati kakak beradik yang terduduk di sofa ruang keluarga.
—
“Hendra, kamu siap menerima akibatnya?” bisik wanita paruh baya ke telinga lelaki yang bernama Hendra.
“Kalau aku tidak siap, tidak mungkin aku mempersiapkan pernikahan ini
dengan sebaik mungkin, Tantri.” jawab Hendra dengan penuh keyakinan.
“Tapi kau lupa bagaimana perasaan anak-anak. Maksudku, anakku. Anakmu
tentu sudah tahu tentang segalanya. Tapi Alya? Aku tak sanggup
menyakitinya…”
Hendra terdiam. Keyakinannya langsung luntur seketika saat mengingat
sosok Alya. Kanya Alyaria, gadis cantik berbibir mungil yang merupakan
kekasih anaknya, Biyan. Biyan sengaja ia percayai sebagai penanggung
acara pernikahannya dengan wanita cantik akhir bulan ini. Biyan yang
awalnya tidak mengetahui calon ayahnya, biasa-biasa saja. Karena yang
terpenting baginya adalah kebahagiaan ayahnya. Namun, ia begitu tak
menyangka bahwa harus wanita ini yang menjadi ibunya kelak.
“Akan aku pikirkan lagi.” jawaban singkat yang terlontar dari Hendra tidak membuat Tantri puas.
“Aku ingin kau bahagia, tapi aku tak ingin menyakiti perasaan anakku
sendiri, Hendra! Kau tak tahu seberapa dalam perasaan Alya terhadap
Biyan! Lalu tiba-tiba saja kita menghancurkannya..” Tantri pun terisak.
Ia tak sanggup lagi mengatakan apa-apa.
Hendra memeluk Tantri dengan erat. Ia amat menyayangi wanita ini.
Namun tak ingin pula menyakiti Alya. Disaat Hendra merasakan dilema yang
begitu hebat, seseorang mengintip mereka yang sedang berpelukan.
“Ayah, kok ngintip ke ruangan itu?” tanya Tania kepada ayahnya.
“Eh, ngga kok. Cuma ngga sengaja aja ngeliat ke ruangan itu.”
“Ah, ayah ngeles aja. Oya, ayah. Menurut ayah, bagaimana cara menyampaikan pernikahan ini kepada Alya?”
Ayahnya terdiam. Pikirannya buntu.
—
Hampir seminggu Alya tidak keluar kamar. Semenjak ia pulang dari
pesta pernikahan calon mertuanya ia menangis habis-habisan. Betapa
terkejutnya ia saat Biyan memberi tahu mempelai wanitanya siapa. Tania
Sugandi. Kakak kandungnya yang tinggal bersama ayahnya. Pantas saja
bunda menghilang selama seminggu. Ternyata bunda mempersiapkan
pernikahan sahabatnya ini. Ya, bunda dan ayah Biyan sudah bersahabat
sejak kecil. Lalu, status ia dengan Biyan apa? Kakaknya menikah dengan
ayahnya Biyan. Berarti, calon mertuanya sekarang menjadi kakak iparnya.
Dan Biyan… keponakannya? Hancur sudah segala asa harapan yang dirakit
bertahun-tahun bersama Biyan. Lalu terasa seperti ada lubang hitam yang
menyedot Alya masuk ke dalamnya. Ini adalah kepingan hidup Alya yang
terkelam yang pernah ia lalui.
BY:Annisa Fitriani .B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar