Senin, 23 September 2013

Cerbung Part 4 Sekeping Cerita Alya

Pagi ini mentari tidak mencerahkan langit dengan kilaunya yang menyilaukan mata. Sudah tiga hari ini cuaca di kawasan Jakarta Selatan ini di rundung mendung. Mendung biasanya mempengaruhi mood seseorang. Namun tidak dengan gadis yang satu ini. Ia tetap bersenandung sambil membereskan tempat tidurnya. Sesekali ia menari mengikuti irama musik yang sedang diperdengarkannya. Kemudian ia berhenti melakukan aktivitasnya, lalu tersenyum. Karena seseorang yang begitu sempurna dimatanya menelepon.
“Hai, Alya. Udah bangun kan?” sapa seseorang di ujung telepon.
“Ah, Biyan garing deh! Kalau teleponnya aku angkat ya berarti udah bangun dong!” jawab si gadis dengan cemberut membuat wajahnya terlihat semakin imut saja.
“Hehe namanya juga basa basi doang, dear. Udah mandi belum? Kayanya belum nih. Soalnya masih bau naga gitu deh hehe..”
“Biyan! Rese ah! Aku tutup ya teleponnyaaa..” ancam si gadis. Padahal dirinya masih ingin sekali mendengar suara pujaan hatinya. Sudah satu minggu Biyan tidak menghubunginya karena sedang sibuk mengurus pesta pernikahan yang kedua bagi ayahnya dengan seorang wanita cantik.
“Jadi ngga kangen nih sama aku? Kalau ngga kangen sih ya udah, tutup aja, dear.” di seberang sana Biyan mencoba menahan tawanya.
“Aku ngga kangen sama kamu, Biyan Nugraha. Karena aku kangeeen bangeet sama kamu..” jawab Alya dengan manjanya.
Biyan yang mendengar perkataan gadisnya membuat ia tersenyum kecut. Terasa ada lubang hitam yang menghatam hatinya. Di ujung matanya terlihat sebutir air bening yang hendak menuruni pipinya. Entah mengapa perkataan Alya membuatnya merasa sedih. Kemudian Biyan hanya terdiam.
“Mmm, babe, are you okay? Kok ngga ada suaranya?” tanya Alya yang langsung menyadarkan Biyan.
“Eh uhm eeeng i-iya aku b-baik kok. Ini ada suaranya kan hehe”
“Kamu ada masalah ya? Cerita dong sayang…”
“Kalau ada masalah, pasti aku langsung ceritanya dong, dear.”
Bagaimana mungkin aku bercerita padamu, Alya. Kalau ternyata kau-lah masalahnya. Kata-kata tersebut tidak berhasil keluar dari mulut Biyan dan hanya bersemeyam dalam benaknya. Obrolan pun berlanjut hingga dua jam lebih. Selama dua jam Biyan mencoba menyembunyikan perasaannya. Selama itu pula Alya merasa ada yang tak wajar dengan kekasihnya.
“Biyan, kamu udah cerita sama Alya kalau ayahmu mau nikah?” tanya seorang wanita cantik kepada ‘calon’ anaknya.
“Uhm, udah sih. Tapi dia kan ngga tau calonnya siapa.” jawab Biyan dengan enggan. Topik inilah yang sedang ia hindari akhir-akhir ini.
“Kenapa? Nanti kalau dia marah gimana?” tanya si wanita dengan penuh kebingungan.
“Paling aku sama dia putus, Tan. Yang penting ayah bahagia kan, Tan? Udah ah, ngga usah dibahas lagi.” Biyan pun pergi meninggalkan si wanita yang masih merasa kebingungan akan keadaan ini.
“Kak, bunda pulang kapan sih?” tanya gadis berambut ikal kepada kakaknya yang sedang termenung.
“Biyan kok aneh ya…” jawaban yang keluar dari bibir mungil si gadis tidak membuat gadis ikal puas.
“Kak Alya! Andara nanya bunda pulang kapan malah ngomongin Kak Biyan. Bunda pulang kapan sih kaaak?”
“Eh, maaf. Kakak ngga dengar suara kamu, Dara. Ngga tau nih, udah seminggu bunda ngga pulang juga. Nanti kakak coba telepon bunda deh ya..”
“Coba ayah masih sama bunda.. Pasti kita ngga tinggal berdua kalau bunda lagi pergi.”
Perkataan adiknya membuat Alya tersentak. Orang tuanya sudah bercerai sejak Andara masih berumur empat bulan dalam kandungan. Hakim memutuskan Alya yang berumur dua tahun dan Andara diharuskan tinggal bersama bunda dan dua orang kakaknya harus tinggal bersama ayah. Tidak adil. Karena Alya sangat dekat dengan ayahnya sedangkan kedua orang kakaknya dekat dengan bunda. Kata-kata adiknya tadi membuat serangkaian kisah di masa kecil yang sudah memudar hadir kembali. Lalu yang ada hanya rasa marah.
“Kamu itu ngga pernah kenal ayah! Jangan sok merasa paling tahu tentang ayah! Ada atau ngga ada ayah hidup kita pasti selalu sepi!” Alya membentak adiknya dengan keras. Ayahnya yang berprofesi sebagai koki di kapal pesiar ternama membuat ia tidak memiliki waktu yang cukup banyak untuk keluarganya.
Andara terdiam. Ia memang tidak pernah tahu ayahnya seperti apa. Yang ia ketahui hanya foto usang yang tersimpan di gudang yang mengabadikan potret ayah, bunda, Alya, dan kedua kakaknya yang lain. Tak lama ada suara isakan. Andara menangis. Alya yang mendengar isakan adiknya, merasa bersalah. Tanpa ucapan apa-apa, ia memeluk gadis yang berada di sampingnya.
“Maafin kakak. Kakak juga sebenarnya tidak terlalu tahu tentang ayah. Cuma dua tahun kakak bisa mengenal seorang ayah. Maaf ya, Dara. Kakak salah udah ngebentak kamu.” Dara menjawabnya dengan anggukan kepala. Di luar sana hujan turun dengan derasnya. Hujan juga sedang turun di kedua hati kakak beradik yang terduduk di sofa ruang keluarga.
“Hendra, kamu siap menerima akibatnya?” bisik wanita paruh baya ke telinga lelaki yang bernama Hendra.
“Kalau aku tidak siap, tidak mungkin aku mempersiapkan pernikahan ini dengan sebaik mungkin, Tantri.” jawab Hendra dengan penuh keyakinan.
“Tapi kau lupa bagaimana perasaan anak-anak. Maksudku, anakku. Anakmu tentu sudah tahu tentang segalanya. Tapi Alya? Aku tak sanggup menyakitinya…”
Hendra terdiam. Keyakinannya langsung luntur seketika saat mengingat sosok Alya. Kanya Alyaria, gadis cantik berbibir mungil yang merupakan kekasih anaknya, Biyan. Biyan sengaja ia percayai sebagai penanggung acara pernikahannya dengan wanita cantik akhir bulan ini. Biyan yang awalnya tidak mengetahui calon ayahnya, biasa-biasa saja. Karena yang terpenting baginya adalah kebahagiaan ayahnya. Namun, ia begitu tak menyangka bahwa harus wanita ini yang menjadi ibunya kelak.
“Akan aku pikirkan lagi.” jawaban singkat yang terlontar dari Hendra tidak membuat Tantri puas.
“Aku ingin kau bahagia, tapi aku tak ingin menyakiti perasaan anakku sendiri, Hendra! Kau tak tahu seberapa dalam perasaan Alya terhadap Biyan! Lalu tiba-tiba saja kita menghancurkannya..” Tantri pun terisak. Ia tak sanggup lagi mengatakan apa-apa.
Hendra memeluk Tantri dengan erat. Ia amat menyayangi wanita ini. Namun tak ingin pula menyakiti Alya. Disaat Hendra merasakan dilema yang begitu hebat, seseorang mengintip mereka yang sedang berpelukan.
“Ayah, kok ngintip ke ruangan itu?” tanya Tania kepada ayahnya.
“Eh, ngga kok. Cuma ngga sengaja aja ngeliat ke ruangan itu.”
“Ah, ayah ngeles aja. Oya, ayah. Menurut ayah, bagaimana cara menyampaikan pernikahan ini kepada Alya?”
Ayahnya terdiam. Pikirannya buntu.
Hampir seminggu Alya tidak keluar kamar. Semenjak ia pulang dari pesta pernikahan calon mertuanya ia menangis habis-habisan. Betapa terkejutnya ia saat Biyan memberi tahu mempelai wanitanya siapa. Tania Sugandi. Kakak kandungnya yang tinggal bersama ayahnya. Pantas saja bunda menghilang selama seminggu. Ternyata bunda mempersiapkan pernikahan sahabatnya ini. Ya, bunda dan ayah Biyan sudah bersahabat sejak kecil. Lalu, status ia dengan Biyan apa? Kakaknya menikah dengan ayahnya Biyan. Berarti, calon mertuanya sekarang menjadi kakak iparnya. Dan Biyan… keponakannya? Hancur sudah segala asa harapan yang dirakit bertahun-tahun bersama Biyan. Lalu terasa seperti ada lubang hitam yang menyedot Alya masuk ke dalamnya. Ini adalah kepingan hidup Alya yang terkelam yang pernah ia lalui.
BY:Annisa Fitriani .B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar