Lembar putih berisi angka-angka ini menatapku dengan sinis
dan mengejek. Sementara diriku terpaku tak berkutik di depan lembar yang
sudah menanti untuk aku isi. Entah mengapa semua rumus dan hafalan yang
telah aku pelajari mati-matian semalam suntuk dengan sekejap menghilang
tidak bertanggung jawab. Hal yang ditinggalkan adalah bola mata bengkak
nan merah dan kepala nyut-nyutan seakan mesin kekurangan pelumas.
Aku mencoba mengerjakan soal ketiga yang tampaknya lebih bersahabat
daripada soal yang lain. Setelah beberapa menit aku mencorat-coret dan
memutar otakku 360 derajat. (sebenarnya tidak berputar) akhirnya mulai
tampak titik cerah. Walaupun aku tidak yakin 100 %. Mungkin hanya 80 %.
Tetapi hal tersebut sudah memberikan harapan cerah dalam otakku.
Kesabaranku tetap aku jaga saat mengerjakan soal terakhir. Tampaknya
jawaban soal ini paling dibuktikan dengan beberapa baris longgar untuk
mengigi jawaban. Beberapa menit berlalu sia-sia hanya dengan berusaha
memahami kalimat soalnya. Akhirnya ku putuskan untuk menggunakan rumus
sederhana yang sangat… sangat meragukan. Kemungkinan untuk benar hanya
20 %. Paling nggak mendapat nilai untuk upah menulis daripada kosong
tanpa noda.
Otakku kembali kembali berpaut pada soal nomor 1 dan 2 yang tadi aku
tinggalkan. Aku heran mengapa 2 soal ini sungguh sulit. Aku mencoba
melirik jam tangan kulitku yang terus berdetak terus mengusikku. Masih
15 menit lagi. “Chayooo Risa” ucapku dalam hati. Teman-teman
disekelilingku sibuk sekali menulis jawaban yang terlihat
berlarik-larik. Tampaknya mereka bisa mengerjakannya. Aku mencoba sekali
lagi memahami maksud soal nomor 1 & 2 yang hampir mirip.
Sepertinya seberkas sinar cerah terbesit menyilaukan otakku. Waktu
tinggal 5 menit lagi. Jarum yang terus berdetak membuat perasaanku
grogi. Entah darimana aku mendapat wahyu. Aku goreskan ujung penaku
tepat di kotak kosong untuk mengisi jawaban. Aku mencoba menghitungnya
dengan teliti pelan-pelan. Akhirnya goresan terakhir selesai juga tepat
saat guru memerintahkan untuk mengumpulkannya. Wajahku lumayan cerah
karena nafasku dapat berhembus lega. Paling nggak aku benar 3 soal
ucapku pelan.
“Ris gimana ulangannya” tanya Ela teman sebangkuku. Ela anaknya
pandai. Ia sering menganggapku sebagai saingannya karena nilai-nilai
ulanganku lumayan bagus akhir-akhir ini. Tak jarang ia menatapku dengan
sinis.
“Lumayan” jawabku singkat.
“Lumayan” jawabku singkat.
Riuh gaduh suasana kelas setelah ulangan apalagi pelajaran Fisika
memang biasa terjadi. Banyak anak yang dengan histeris membahasnya untuk
sekedar mencocokan jawaban.
“Ris jawaban soal nomor 5 25 Hz kan” tanya Tito cowok endut berkacamata di belakangku dengan nada datar.
Seakan ada batu besar yang dilemparkan tepat mengenai wajahku. Nafasku menjadi berat seakan di sumbat.
“jawaban no. 5” apa maksudnya
“Ehmm so… soal nomor 5” tanyaku ragu-ragu balik bertanya.
“Iya yang tentang frekuensi. Aku sudah mencocokannya ternyata banyak jawaban teman-teman yang sama kayak aku” jawabnya dengan yakin kemudian ia menoleh saat ada yang memanggilnya. Aku masih terpaku memangnya soalnya ada berapa? atau jangan-jangan Tito bohong. Aku memberanikan diri menanyakan pada Ela.
“La… soalnya ada berapa sih?” tanyaku dengan raut bingung.
Mendengar pertanyaanku Ela malah menjadi lebih bingung.
“Lho bukannya soalnya ada 8” Ela memandangi ekspresiku yang tampak begitu terkejut mendengarnya.
Uggghh bodohnya aku!!! berarti ada 4 soal yang telah aku lewatkan. Bagaimana ini… aku sungguh tak berpikir tentang itu. Soal nomor 4 kan berhenti di tengah halaman masak masih ada lanjutanya disebaliknya… aneh sekali.
“Ris jangan jangan kamu nggak dengar pesan Ibu Narti sebelum ulangan kalau masih ada soal lagi yang ketinggalan disebaliknya” tanyanya dengan tatapan menyelidik dan nada yang menggebu-nggebu. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku yang menganga. Ela memandangku dengan wajah menyiratkan syukurin kau!!! Aku mencoba tabah dan membalasnya dengan cengiran kecil yang sungguh sangat dipaksakan.
“Ris jawaban soal nomor 5 25 Hz kan” tanya Tito cowok endut berkacamata di belakangku dengan nada datar.
Seakan ada batu besar yang dilemparkan tepat mengenai wajahku. Nafasku menjadi berat seakan di sumbat.
“jawaban no. 5” apa maksudnya
“Ehmm so… soal nomor 5” tanyaku ragu-ragu balik bertanya.
“Iya yang tentang frekuensi. Aku sudah mencocokannya ternyata banyak jawaban teman-teman yang sama kayak aku” jawabnya dengan yakin kemudian ia menoleh saat ada yang memanggilnya. Aku masih terpaku memangnya soalnya ada berapa? atau jangan-jangan Tito bohong. Aku memberanikan diri menanyakan pada Ela.
“La… soalnya ada berapa sih?” tanyaku dengan raut bingung.
Mendengar pertanyaanku Ela malah menjadi lebih bingung.
“Lho bukannya soalnya ada 8” Ela memandangi ekspresiku yang tampak begitu terkejut mendengarnya.
Uggghh bodohnya aku!!! berarti ada 4 soal yang telah aku lewatkan. Bagaimana ini… aku sungguh tak berpikir tentang itu. Soal nomor 4 kan berhenti di tengah halaman masak masih ada lanjutanya disebaliknya… aneh sekali.
“Ris jangan jangan kamu nggak dengar pesan Ibu Narti sebelum ulangan kalau masih ada soal lagi yang ketinggalan disebaliknya” tanyanya dengan tatapan menyelidik dan nada yang menggebu-nggebu. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku yang menganga. Ela memandangku dengan wajah menyiratkan syukurin kau!!! Aku mencoba tabah dan membalasnya dengan cengiran kecil yang sungguh sangat dipaksakan.
Keringat dingin mengucur saat membayangkan nilaiku nanti yang tidak
lebih dari 5. “Bodoh banget sih aku” umpatku pelan. Aku merasa sungguh
menyesal. Andaikan waktu di ulang lagi. Apalagi aku punya prinsip atau
lebih tepatnya sugesti. kalau ada 1 saja kesialan yang menghampirku maka
kroni-kroni kesialan yang lain akan bertubi-tubi menyerangku. Kau baru
ingat kalau sekarang tanggal 7 yang merupakan angka sialku.
—
Aku membeli 2 buah bengbeng dan 1 teh botol. Kata orang coklat dan
teh akan mengurangi rasa stres dan mungkin dengan ini aku dapat menolak
kesialan. Aku menyodorkan 1 lembar uang 50 ribuan untuk membayarnya dan
bergegas menuju ke arah anak-anak kelasku yang sedang asyik mengobrol di
pojok. Suasana kantin begitu ramai hingga berdesak-desakan saat jam
istirahat. Maklum saja jam istirahat hanya 10 menit. Aku berjalan hendak
menggapai bangku tempat aku menaruh tas.
“GUBRAAAAK” aku jatuh terjembab ke lantai dan semua mata di kantin tampaknya memandang pada 1 arah yaitu ke arahku. Aku tertunduk malu tetapi seketika itu aku terkejut kalau teh botol yang tadinya masih ada dalam genggamanku memnumpahi tas selempang coklat Quicksilverku.
“GUBRAAAAK” aku jatuh terjembab ke lantai dan semua mata di kantin tampaknya memandang pada 1 arah yaitu ke arahku. Aku tertunduk malu tetapi seketika itu aku terkejut kalau teh botol yang tadinya masih ada dalam genggamanku memnumpahi tas selempang coklat Quicksilverku.
Aku bangkit dengan cepat walaupun lututku teras perih. Dengan panik
aku menggapai tasku dan mengeluarkan seluruh barang yang ada didalamnya
agar tidak basah. Aku mengabaikan seluruh mata yang masih memandangku
dengan tawa yang meledak dan beng-beng peanut manisku yang jatuh ke
lantai.
Tawa mereka kemudian mereda beberapa saat dan kembali normal. Tetapi
masih aku dengar 1 anak yang masih saja dengan keras menertawaiku
membuat wajahku merah padam. Aku sungguh penasaran siapa yang tega
menertawaiku di saat kritis seperti ini. Lihat saja suatu saat nanti aku
pasti berbalik menertawainya. Aku menoleh mencoba mencari sumber tawa
lantang yang masih saja bergaung. Oh tidak apakah aku salah melihat. Aku
mencoba megedipkan mataku memastikan si pemilik suara yang tampaknya
seorang cowok. Aku memang tidak salah melihat Dika yang menertawaiku.
Bahkan ia terus memandangiku layaknya boneka bodoh yang pantas
dikasihani.
Dika adalah anak kelas 2.3. ia satu-satunya orang yang aku taksir di
sekolah yang mempunyai ratusan murid cowok sampai detik ini. Wajahnya
manis, senyumnya lepas tanpa dosa tapi juga menusuk. Wajahku merah padam
saat aku berjalan melewatinya. Ia sudah berhenti tertawa dan mengganti
topengnya dengan raut simpati. Ia masih memandangiku saat aku berjalan
menjauh seakan-akan aku ini alien yang barusan mendarat dari planet
mars.
“KRIIING…KRIIINNNG…” Akhirnya bel pulang sekolah yang sejak tadi aku
tunggu-tunggu berdering juga seakan penyelamat. Bagaimana tidak aku
sudah bertahan selama 2 jam pelajaran dengan lutut perih, beberapa
jemuran buku tanpa tali yang berderet di mejaku, dan tas basah berwarna
kecoklatan berbau teh yang lengket. Beberap teman yang melewati mejaku
bertanya tentang apa yang terjadi padaku. Padahal mungkin sebenarnya
mereka sudah tahu. Paling –paling mereka bermaksud mengejekku atau
mengingatkanku akan kejadian bodoh tadi. Aku dapat melihat beberapa di
antara mereka mati-matian menahan tawa didepanku hingga wajah mereka
tampak seperti roti panggang. “Oh this is my bad days or it’s just
nightmare”
Aku segera membereskan buku-bukuku yang basah. Setelah meyelempangkan
tasku yang lumayan kering aku beranjak keluar kelas. Aku melangkahkan
kaki dengan tegas dan dagu ke atas. “aku pasti akan cepat sampai di
rumah. Kesialan enyahlah kau” ucapku dengan yakin.
Aku berjalan setengah berlari karena begitu ingin lepas daei jerat
kesialan ini. Tetapi ternyata aku juga harus larut dalam desak-desakan
dari para siswa yang juga ingin cepat sampai di rumah. Aku berhasil
melewati 2 anak berbadan besar yang jalanya lambat membuatku tidak
sabaran. Koridor 1,5 m ini memang terasa sempit bila jam pulang sekolah.
Di depanku ada beberapa cowok yang berjalan dengan santai. Mereka
sungguh menjalani jalanku. Aku tahu dari cara jalan mereka kalau mereka
hanya ingin tebar pesona sambil mendrible bola basket orange. ingin ku
terlarut dalam tubuh mereka yang tinggi dan atletis tapi aku sadar kalau
aku harus cepatcepat pulang. Aku mencoba mencari cara melewati mereka
tanpa harus menubruk dan bilang permisi. Ada jalan kosong yang
panjangnya 15 cm di tepi koridor yang sampingnya ada selokan lebar dan
cukup dalam. “Biasanya aku paling ahli dalam hal seperti ini” kataku
dalam hati menyombongkan diri.
“ARRGhhhhh” teriaku cukup keras membuat beberapa orang disekelilingku memandangiku. Kaki kananku jatuh terjembab dalam selokan yang ternyata basah. Apalagi rok abu-abuku nyaris saja tersibak. Aku dapat merasakan denyutan rasa perih dilututku yang tadi juga barusan jatuh. “HUAHAHAHAHA” lagi-lagi ada beberapa anak yang menertawai kebodohanku. Tampaknya ku jadi “Miss jatuh” untuk hari ini. Rona merah masih menghiasi pipiku tetapi aku tidak perduli. Aku mencoba mengangkat kakiku tapi rasanya sungguh perih sampai akhirnya ada seseorang yang mengulurkan tangannya membantuku naik. Dengan senang hati aku menggengamnya dan akhirnya kaki kananku bisa naik ke atas. Aku meringis saat melihat lututku yang berwarna seperti ubi, berdarah walau tidak terlalu banyak.
“Terimakasih” ucapku pada seseorang yang menolongku tadi. Mataku terpaku sesat keempat mata kami bertemu dan dengan erat dia masih memegang tanganku. Bola matanya indah berbingkai alis tebal yang tampaknya sangat aku kenal. Lagi-lagi Dika dialah yang menolongku. Kali ini dia tidak tertawa tapi tersenyum padaku. Mungkin senyuman itu ikhlas atau ada siratan mengejek. “Tentu, sebaiknya kamu segera ke UKS” ucapnya saat memandangi luka di lututku. Ia melambaikan tangan kanannya saat berjalan menyusul teman-temannya yang sudah berjalan jauh di depan.
“ARRGhhhhh” teriaku cukup keras membuat beberapa orang disekelilingku memandangiku. Kaki kananku jatuh terjembab dalam selokan yang ternyata basah. Apalagi rok abu-abuku nyaris saja tersibak. Aku dapat merasakan denyutan rasa perih dilututku yang tadi juga barusan jatuh. “HUAHAHAHAHA” lagi-lagi ada beberapa anak yang menertawai kebodohanku. Tampaknya ku jadi “Miss jatuh” untuk hari ini. Rona merah masih menghiasi pipiku tetapi aku tidak perduli. Aku mencoba mengangkat kakiku tapi rasanya sungguh perih sampai akhirnya ada seseorang yang mengulurkan tangannya membantuku naik. Dengan senang hati aku menggengamnya dan akhirnya kaki kananku bisa naik ke atas. Aku meringis saat melihat lututku yang berwarna seperti ubi, berdarah walau tidak terlalu banyak.
“Terimakasih” ucapku pada seseorang yang menolongku tadi. Mataku terpaku sesat keempat mata kami bertemu dan dengan erat dia masih memegang tanganku. Bola matanya indah berbingkai alis tebal yang tampaknya sangat aku kenal. Lagi-lagi Dika dialah yang menolongku. Kali ini dia tidak tertawa tapi tersenyum padaku. Mungkin senyuman itu ikhlas atau ada siratan mengejek. “Tentu, sebaiknya kamu segera ke UKS” ucapnya saat memandangi luka di lututku. Ia melambaikan tangan kanannya saat berjalan menyusul teman-temannya yang sudah berjalan jauh di depan.
Cause you had a bad day
You’re taking one down
You sing a sad song just to turn it around
You say you don’t know
You tell me don’t lie
You work at a smile and you go for a ride
You had a bad day
You see what you like
And how does it feel, one more time
You had a bad day
You’re taking one down
You sing a sad song just to turn it around
You say you don’t know
You tell me don’t lie
You work at a smile and you go for a ride
You had a bad day
You see what you like
And how does it feel, one more time
You had a bad day
Nyanyian lagu Daniel Powter itu mengalun indah seakan menyindirku.
Aku terpaku mendengarnya saat lagu itu mengalun mengingatkanku, tepat
saat aku meyalakan radio silverku. Tanpa disadari aku telah melakukan
perjuangan berat dan panjang seharian ini setelah kroni-kroni kesialan
bergerilya menyerangku. Paling sekarang aku sudah di rumah dan mereka
sudah tidak mengejarku.
Seperti biasa ku hendak melepas seragam sekolahku, berganti pakaian.
Aku hendak mengambil uang 45.000 rupiah sisa aku jajan dan memasukannya
ke dompet. Seakan ada ombak yang mengempas saat ingatanku tersadar. Aku
belum meminta uang kembalian.
BY:Annisa Fitriani.B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar