Minggu, 10 Mei 2015

Selamat Pagi, Bunda !

Remang-remang malam masih mengusik tidurku. Mataku yang tadi mengantuk menjadi terang dan tak mau lagi tidur. Aku sungguh lelah hari ini. Aneh juga perasaanku. Aku yang selalu huru hara dengan teman-temanku seakan mengingat dunia ini akan berlangsung lama. Aku sungguh bodoh. Tapi, aku selalu keras kepala dan tak mengerti apa yang disampaikan Bunda Aisyah kepadaku. Dia selalu ku bilang sok tahu.
Huh! Kelelahanku mengundang ingatan aneh. Aku ingin sekali kaya seperti teman-teman sebayaku. Masa SMA ini sangatlah menyenangkan. Tak salah juga orang bilang kalau masa SMA itu adalah masa yang paling indah. Aku pun bersyukur kalau masa ini ku miliki. Mengapa tidak? Teman-temanku banyak dan juga sehobi denganku. Aku suka sekali pergi jalan-jalan keluar dan huru hara dengan teman-temanku. Tak peduli mau jam berapa saja pulang ke rumah, yang penting hepi.
“Nina…! Nina…! Bangun, Nak! Sholat subuh dulu. Nanti keburu habis jam sholatnya,” panggil Bunda dari luar kamarku.
“Iya, Bun! Bentar ya. Aku masih ngantuk,”jawabku.
“Bangun dulu. Nanti sambung lagi tidurnya. Kita sholat ya,”balas Bunda.
“Iya… Iya…,”jawabku malas.
Rasanya aku baru tidur 2 jam. Padahal, malamnya aku tidur tidaklah larut. Kira-kira pukul 22.00 WIB. Tapi, masih juga ngantuk. Dengan malas aku bangun dari tempat tidurku dan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

“Seger juga air pagi ini. Bikin mataku nggak ngantuk lagi,”bisikku dalam hati.
Aku pun sholat subuh. Selesai sholat aku langsung tidur lagi. Mataku hanya sanggup bertahan sebentar setelah berwudhu tadi. Aku pun tidur terbawa mimpi. Berkata dengan sebuah kegalauan melalui mimpi yang seakan-akan menjadi nyata. Ketakutanku mengundang resahku sepanjang mimpi.

Tepat pukul 06.00 WIB aku pun terbangun. Mimpi aneh yang mengalaukan pagiku yang ku anggap akan membuatku bahagia untuk ku jalani. Aku ingin pergi jalan-jalan lagi dengan teman-temanku hari ini. Tapi, sepanjang menuju sekolah, hatiku terus bertanya tentang arti mimpiku setelah sholat subuh itu. Rasanya aku tak siap untuk kehilangan seseorang di hatiku. Tapi, mengapa aku masih terus begini?
Pikiran aneh itu pun aku buang jauh-jauh. Aku pun senyum-senyum menuju gerbang sekolah setelah angkot hijau yang baik hati itu mengantarkanku pergi sekolah. Segar juga udara pagi di sekolah yang dikelilingi berbagai macam pohon dan bunga-bunga indah itu. Aku menghirup udaranya dalam-dalam. Merasakan bagaimana keindahan pagi. Hatiku kembali berdesir. Masih juga tentang mimpi itu. Tiba-tiba Tina mengejutkanku.

“Hei! Ngapain bengong disitu? Sini dong!” sapa Tina.
“Eh, kamu…udah datang ya! Nggak ada cuma ngerasain gimana segernya udara pagi. Mau ikut?” tanyaku.
“Aneh-aneh aja kamu. Nggak ah. Aku disini aja,”balas Tina.
“Eh, tunggu! Mmmm…. Aku punya cerita nih! Mau denger nggak?”kataku ragu.
“Cerita apa?”tanya Tina penasaran.
“Aku tadi subuh mimpi. Aneh sekali. Aku takut, Tin,”jawabku memulai cerita.
“Apa mimpinya?”tanya Tina.
“Aku mimpi Bundaku udah meninggal setelah aku bangun dari tidurku sehabis sholat subuh. Aku pun tak sempat untuk minta maaf atas kesalahanku yang keras kepala ini,”ceritaku.

“Ah, kamu…mimpi dipikirin! Kata orang-orang dahulu, kalau kita bermimpi seseorang yang meninggal, umurnya akan panjang. Kenapa takut? Santai aja kali!”kata Tina menghiburku.
“Iya sih! Tapi aneh aja. Ya udah deh! Makasih ya udah denger ceritaku yang singkat ini!”kataku.
“Sipp…sipp… sama-sama! Hehe…!,”cengengesan Tina.
Bel tanda masuk pun berbunyi. Kami pun masuk kelas. Semangat belajarku pun kembali. Aku tak lagi memikirkan mimpiku tadi subuh. Perkataan Tina juga ada benarnya. Buat apa aku pikirkan mimpi yang aneh itu. Emang kematian bisa ditaksir lewat mimpi. Nggak masuk akal juga. Setahu aku kematian itu hanya Tuhan yang tahu.

Guru Fisika pun masuk setelah 15 menit bel masuk berbunyi. Kami diminta untuk bersiap sebelum belajar. Susah juga pelajaran hari ini. Aku juga nggak belajar. Akhir-akhir ini pikiranku hanya untuk bermain tanpa memikirkan masa depanku. Padahal, Bundaku berharap agar aku berhasil untuk masa depanku.
Waktu pun semakin lama semakin maju. Waktu tak bisa berputar balik. Semua berjalan begitu cepat. Jam pulang sekolah pun sudah datang. Aku pun bersiap untuk pulang dan membuat janji dengan teman sekelompokku untuk pergi jalan-jalan nanti pulang sekolah.
“Assalamu’alaikum,”sapaku memasuki rumah.
“Wa’alaikum salam!”jawab Bunda.
“Makan dulu ya, Nin!”kata Bunda.
“Nggak ah! Nina mau pergi dengan teman. Mau jalan-jalan. Bosan di rumah,”balasku.
“Jadi, kamu mau makan diluar?”tanya Bunda.
“Iya, Bun! Minta duit dong!”jawabku.
“Duit apa lagi? Kan tadi pagi udah dikasih pas mau pergi sekolah?”tanya Bunda.
“Udah habis! Cepet dong, Bun! Temen-temenku udah nunggu,”rengekku.
“Duit Bunda nggak ada lagi. Ini buat belanja kamu besok. Kemaren kamu juga udah minta duit. Kita bukan orang kaya seperti teman-teman kamu, Nina! Pikirkan itu,”jelas Bunda.
“Ah! Bunda! Nanti deh ngomongnya. Duitnya dulu deh!”pintaku lagi.
“Nggak boleh! Ini buat besok. Bunda takkan kasih kamu duit lagi hari ini,”tegas Bunda.
“Bunda jahat! Sini duitnya! Buat apa duit dicari kalau bukan buat anaknya. Dasar pelit. Eh, Bun! Udah tua jangan pelit-pelit begini dong. Nanti sempit kuburannya,”kataku dengan mata tajam menatap Bunda.
“Astaghfirullah, Nina! Jangan, Nak! Jangan ambil duit itu. Nanti kita makan pakai apa? Bahan makanan juga sudah habis. Ayahmu juga sakit. Mohon Bunda, Nak!”pinta Bunda.
“Nggak mau! Kan bukan cuma ayah saja yang bisa cari duit. Bunda juga bisa. Nanti kalau aku udah kerja, aku balikin deh duit Bunda,”kataku dan berlalu pergi.

Bunda pun terpaku melihat anaknya begitu keras kepala dan tak mau mengerti kondisi keluarganya. Ayahnya yang sakit-sakitan pun menitikkan air mata dengan penuh penyesalan. Beliau seharusnya sudah bekerja. Bukan cuma tidur di kasur dengan lemah begini.
“Bun, ayah kerja saja ya. Ayah masih sanggup. Biar duit untuk kita makan besok ada. Kalau begini terus, kita bisa kelaparan,”kata Ayah.

“Jangan, Yah! Biar Bunda saja yang kerja. Ayah tidur saja. Nanti penyakitnya tambah parah,”balas Bunda.
“Ayah kasihan lihat Bunda begini terus. Ngurus Ayah dan Nina yang sama sekali tak mendengarkan kata Bunda,” kata Ayah.
“Nggak apa-apa, Yah! Lagian Ayah kan udah mau sembuh. Jangan kerja dulu sebelum benar-benar sembuh,”balas Bunda.
“Ya udah deh. Tapi, jangan dipaksa kerjanya ya, Bun!”kata Ayah mengkhawatirkan/
“Iya, Yah!”jawab Bunda.

Bunda pun pergi bekerja sebagai buruh cuci tetangganya. Beliau hanya dapat uang pas-pasan buat makan besok saja. Entah sampai kapan aku mau sadar. Bunda pun bingung. Anak satu-satunya ini begitu keras kepala kepadanya. Aku seakan-akan menganggap Bunda sebagai temanku saja bukan Bundaku. Sungguh jahatnya aku.
Tiga hari kemudian, Ayah sembuh dari sakitnya. Beliau sudah kembali bekerja sebagai buruh angkat di pasar. Sungguh sedih juga. Anak seperti aku ini tidak sadar-sadar juga melihat nasib orang tuanya seperti itu. Hanya ada satu pelajaran yang akan menyadarkanku. Yaitu kebenaran mimpiku di waktu subuh kemarin.
***
Senja pun menyapaku dengan manisnya. Aku pun pulang dari jalan-jalan dan huru hara dengan teman-temanku. Rasanya hari itu aku terbebas dari masalah. Lelah juga saat itu. Setiba dirumah aku langsung menghempaskan tubuhku ke atas kasur yang sudah hampir habis kapuknya. Tapi, kasur itu kesukaanku. Dari aku lahir tak pernah ditukar Bunda.
Tidurku pun nyenyak. Lelap seperti orang yang telah bekerja seharian penuh dan tak henti. Bahkan aku lebih lelah lagi dari Ayah yang bekerja menjadi buruh angkat. Tapi, aku tak menyadari itu. Aku hanya tahu dengan kepentinganku sendiri dan merasakan untuk diriku sendiri.
Pagi pun telah memulai langkahku kembali. Entah cerita apa lagi yang akan aku hadapi hari ini aku tak tahu. Subuhku tak lagi mendengar suara Bunda yang memanggilku untuk sholat subuh. Ruangan pun senyap. Aku pun terheran-heran. Ayah yang dari tadi bangun pun sudah terlihat menyedihkan. Beliau hanya tenang walaupun hatinya tak merelakan kepergian Bunda yang secepat itu. Padahal, kemarin Bunda baik-baik saja.
“Ayah kenapa?”tanyaku.
“Duduklah! Nggak baik bicara berdiri,”jawab Ayah.
Aku pun duduk.
“Mana Bunda?”tanyaku lagi.
“Bundamu ada dikamar! Beliau sudah tiada. Hanya saja satu pesan yang ditinggalkannya untuk kamu, yaitu patuhlah pada Ayahmu. Jaga Ayahmu.,”jawab Ayah dengan berat.

“Apa? Nggak mungkin Ayah! Bunda sehat-sehat saja mengapa beliau secepat itu pergi?”aku pun kaget bukan main.
“Kamu lihat saja ke kamar,”balas Ayah.

Aku pun beranjak dari tempat dudukku dan cepat menghampiri Bunda yang terbaring kaku di atas kasurnya. Aku telah mengerti apa arti mimpiku itu. Mataku berkaca-kaca menahan tangis, tapi mustahil. Bendungan kelopak mataku tak begitu kuat. Air mataku pun mengalir juga. Aku menyesal. Selama ini aku hanya anggap Bunda sebagai teman bukan sebagai seorang Ibu. Aku keras kepala.
“Maafkan aku, Bunda! Aku salah. Aku salah! Hiks…Hiks…!”tangisku.
Aku sangat menyesal. Hari itu sangat menyedihkan. Aku sempat frustasi. Aku tak dapat lagi mendengar suara Bunda setiap subuh. Aku pun tak sempat menyambut Bunda dengan wajah manis dan berkata “Selamat Pagi, Bunda!”. Aku tak sempat lagi. Kesempatan itu telah hilang. Aku sedih. Sekarang aku hanya memiliki Ayah. Aku akan laksanakan amanah Bunda. Menjaga Ayah yang sudah tua. Aku harus mengerti keluargaku. Aku tak bisa lagi keras kepala seperti dulu. Maafkan aku Bunda...
 Created By :  Annisa Fitriani Burhan

Jumat, 01 Mei 2015

Ga mau cepet pisah, Aku masih nyaman sama kalian :''(

Aku masih nyaman sama kalian.Aku gak mau pisah.Pokoknya aku nyamannya sama kalian.Kalian adalah semangatku di sekolah.Kalian jangan cepat pergi ninggalin aku...kalian X MIPA 4 yang paling aku cintaaaaaalah!
Nanti akan ada saatnya aku kangen candaan kalian, aku kangen kekonyolan manusia-manusia ini, aku kangen kekompakkan kita, Aku seneng sama kalian, kalian gak rasis tapi kalian narsis dan manis-manis.
Aku sayang insan-insan ini Ya Rab...Terimakasih Ya Allah kau telah menyempatkanku bertemu dan mengenal mereka, Jangan Pisahkankan kami Ya Rab..


My Allah


May 2 , 2015 Allahku…
Kau berikan aku jalan untuk terus berada dijalan ini…
Kau berikan kekuatan agar aku tetap sabar dijalan ini…
Kau berikan kesabaran agar aku tetap tabah dijalan ini…

Allahku…
Siapa yang tak ingin tetap dijalan ini…
Godaan maksiat kadang menyambutku dengan hangat…

Allahku…
Siapa yang tak ingin tetap dijalan ini…
Terkadang diri ini merasa tak pantas bersama pejuang lainnya…

Allahku…
Siapa yang tak ingin tetap dijalan ini…
Banyak sekali noda hitam dosa ditubuhku ini…

Allahku…
Siapa yang tak ingin tetap dijalan ini…
Seringkali diri ini tidak bisa menyeimbangi keimanan pejuang lainnya…

Astaghfirullahaladziimm…
Astaghfirullahaladziimm…
Astaghfirullahaladziimm…

Allahku…
Aku dengar keistiqomahan seseorang itu diliahat diakhir hidupnya…

Allahku…
Adakah kesempatan untukku untuk mencoba memperbaiki semuanya…

Allahku…
Jadikan aku dan pejuang lainnya sebagai
Hamba yang istiqomah…

Allahku…
Matikan kami dalam keadaan husnul khatimah…

Allahku…
kuatkan kami… kuatkan kami… kuatkan kami…

Aamiin...
                                                               By : Annisa Fitriani Burhan.

(BELUM KETEMU JUDUL YANG TOKCER)



        One

Jari-jari kanan Alifa mengetuk-ngetuk pelan mejanya yang penuh akan buku-buku pelajaran, alat tulis, dan bahkan kotak nasi sekalipun. Sementara, tangan kirinya menopang dagu. Matanya menatap lurus ke arah luar jendala dimana lonceng kebahagiaan berada, yap! Lonceng itu memang dekat disamping jendela Kelasnya. Menunggu waktu istirahat yang lama rasanya membuat lambungnya semakin berteriak. Melamun, melamun, dan melamun. ‘’Tenggg! Tenggg ! Tenggg! ’’, bunyi keras berturut-turut itu datang dari lonceng yang tengah dipukul keras oleh guru piket, tentu saja hal itu membuat lamunan gadis itu buyar. Semua murid berhamburan keluar kelas layaknya gerombolan semut yang baru keluar dari lubangnya. Gadis itu memandangi dua sahabatnya yang tengah berjalan keluar kelas menuju kantin, tanpa mengajaknya terlebih dahulu.

            Dear Diary,

Ada apa dengan mereka? Kenapa sejak tadi mereka diam saja? Bahkan saat ini mereka tega meninggalkan aku sendirian di Kelas?

Gadis itu bersikeras melangkahkan kakinya mengejar jejak kedua sahabatnya itu hingga pada saat ia hampir mendapati jejak kedua sahabatnya, Ia berteriak ‘’Renaaaa, Lisaa tunggu aku’’. Seketika orang-orang di sekitarnya menatap dirinya dan entah apa yang mereka fikirkan. Namun, teriakannya tak sedikitpun membuat kedua sahabatnya itu menoleh ke arahnya dan berkata iya Lif, ayo kita makan bakso biar aku yang bayarin. Mungkin mulai saat ini, kata-kata itu tidak akan keluar dari mulut mereka lagi. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk menyusul kedua sahabatnya di Kantin, dan kembali ke Kelas seorang diri. ‘’Alhamdulillah...masih untung mama bawain aku bekal nasi dan lauk, kalo tidak ya terpaksa aku makan di Kantin tanpa mereka, ya walaupun pada kenyataannya saat ini juga aku tetap sendiri di Kelas’’, celetuknya dalam hati.

  

Waktu belajar di Sekolah berlalu, sekitar pukul 15.00 WIB lonceng kebahagiaanpun kembali dipukulkan dengan kerasnya ‘’Teng! Teng! Teng!’’. Seluruh isi kelas sekejap menghilang meninggalkan ruang kelas dengan wajah-wajah yang gembira. Namun, tidak begitu dengan Alifa. Saat ini, Ia masih merenungi keanehan tingkah dua sahabatnya selama seharian tadi, gadis itu masih duduk di bangku kelas seorang diri. Tangan kirinya menopang dagu, sementara tangan kananya memegang pena dan meggoreskannya di atas lembar Diary miliknya.

            Dear Diary,

Mimpi apa aku semalam? Salah apa aku? Mereka  kebahagiaanku di Sekolah yang selalu memberikan tawanya, senyumnya, candanya hanya untuk aku, namun hari ini senyuman dan candaan itu tidak ada? Lenyap begitu saja bagaikan ditelan bumi.

Kelas sepi, bangku-bangku kosong, Suasana yang tadinya bising sekejap menjadi hening. Seorang Satpam Sekolah mengecek satu persatu kelas, memastikan tidak ada  siswa/siswi yang masih ada di lingkungan sekolah. Saat Satpam mengecek kelasnya, Alifa terperangah kaget. ‘’Heh kamu cepat pulang ke rumah, tidak baik jika berlama-lama di Sekolah’’, kata Satpam garang itu dengan logat Bataknya yang kental. Tentu saja hal itu membuat Alifa memaksakan diri untuk berhenti menulis keluhannya pada Diary nya. Cepat-cepat Alifa memasukkan buku-buku yang belum dirapihkan ke dalam tasnya.

Ketika Alifa menuju keluar gerbang sekolah, tiba-tiba senyumnya terlukis kembali tatkala ia mendapati kedua sahabatnya itu ternyata masih jajan di luar gerbang sekolah. Ini adalah waktu yang tepat untuk memulai kembali berkomunikasi layaknya di hari-hari sebelumnya. Alifa berlari meninggalkan kelasnya dan melupakan segala keluhan yang ia rasakan selama waktu tadi.

            ‘’Renaaa, Lisaa belum pulang? Jajan mulu nih ya hahaha traktir aku dong kayak biasanya, seblak ceker hahaha’’, kata Alifa sambil tertawa merayu sahabatnya.

            ‘’Iya, murid baru itu ada di kelas X MIPA 2 kan?’’ balas Rena.

            ‘’Benar. Kalau enggak salah, namanya Imam. Ku dengar, dia cerdas banget. Sering menjuarai Olimpiade Fisika dan jago mengarang cerpen gitu deh. Katanya dia sudah menerbitkan 13 buku dalam waktu 2 tahun’’, Sahut Lisa.

            Alifa menganga. Baru dia sadari, kedua sahabatnya malah asyik dengan obrolan sendiri.

            Aku bagai noda hitam yang jatuh pada kain hitam.

            Tanpa fikir panjang, Alifa berusaha ikut campur dalam obrolan itu, Karena dia tidak ingin diperlakukan seperti Kacang Garing.

‘’Oh ya? Berarti enggak kalah keren dong sama aku, aku dan dia sama-sama penulis. Waaah...jago Fisika pula, enggak jauh bedalah sama aku’’, Timpal Alifa dengan percaya diri.

Kedua sahabatnya saling menatap.

            ‘’Iyadah hebat Lif kamu, Hebat, Keren!’’, Sahut Rena sedikit tertawa  sambil berjalan bersama Lisa dan meninggalkan Alifa.

            ‘’Hahaha Terimakasih kawan, enggak jadi nih beliin aku seblak?’’, Sahut Alifa.

            ‘’Memangnya siapa yang mau beliin dia seblak ya Ren? No way kali duluan Lif...Bye!’’, Sahut Lisa sambil menatap Rena di dalam Angkot.

            Entah aku terlalu dibawa perasaan atau tidak, pada kenyataannya aku sakit diperlakukan layaknya kacang garing, gosong tak dihiraukan sedikitpun. Bahkan pujian dari mereka terasa ada yang berbeda. Seperti tidak tulus.

            Angkot pun melaju membawa Lisa dan Rena pulang meninggalkan Alifa yang masih berdiri di depan Warung Seblak.      Tiba-tiba bahunya terhentak oleh gertakan tangan seorang laki-laki, rupanya laki-laki itu Zaki murid kelas X MIPA 2.

‘’Heh..bukannya seharusnya kamu tiap hari Selasa Les menulis? Tapi kok hari ini kamu enggak?’’, Kata Zaki.

            ‘’ Eh...Aduh bener ki, aku lupa kalau hari ini hari Selasa dan di hari ini aku seharusnya melaporkan naskah cerpenku ke Ka Boni untuk diperiksa...gimana nih’’, Sahut Alifa panik.

            ‘’Ehm...ngomong-ngomong deadline nya tinggal Seminggu lagi loh..lihat nih punyaku sudah aku print dan siap untuk dikirim’’, Sahut Zaki menuduhkan lembaran-lembaran naskah karangannya.

            Alifa menatap dengan ekspresi tidak suka. Cepat-cepat ia meninggalkan Zaki untuk segera menuju ke Rumah Cerpen milik Kak Boni. Alifa memang sudah lama Les menulis disana sejak usianya masih 7 tahun, selain karena Hobby, kedua orang tuanya pun ikut mendukung hobby nya. Hal itu membuat Alifa menekuninya hingga saat ini.

            ‘’Lihat saja nanti secepatnya aku akan menyusul naskah milikmu’’, Teriak Alifa sambil berlari meninggalkan Zaki.


            Sesampainya di Rumah Cerpen, Ia berjalan dengan gesit untuk menemui Kak Boni walaupun sebenarnya waktu Les nya akan berakhir beberapa menit lagi.

            ‘’Assalamu’alaikum kak Boni’’, Salam Alifa sambil mengetuk pintu.

            Tak lama kemudian, pintu terbuka ‘’Wa’alaikumsalam...eh kamu Lif tumben telat? Silahkan masuk’’.

            ‘’Kak, cerpenku sudah jadi loh...tapi belum di print, masih disimpan di flashdisk, tolong diperiksa dong kak biar lebih baik cerpennya’’, Kata Alifa sambil masuk.

            ‘’Wah hebat...ayo serahkan flashdiskmu biar saya periksa naskah cerpennya’’, Sahut Kak Boni.

            Alifa merogoh-rogoh isi tasnya, lalu membuka Tempat pensilnya dan rupanya flashdisk nya tidak ada.

            ‘’Yaampun...kemana flashdisk punya ku? Setau aku flashdisk ku tidak pernah aku keluarkan dari tempat pensil ini seharian tadi, apa mungkin ada orang yang sengaja mengambil flashdisk ku?’’, Gerutu Alifa dengan wajahnya yang pucat pasi.

            ‘’Mungkin saja kamu lupa menaruhnya, atau mungkin jatuh di jalan, jangan cemas gitu lif...naskahmu mungkin masih tersimpan di document laptop mu...coba cek’’, Sahut Kak Boni.

            Kemudian, Alifa membuka file document nya satu persatu di laptop nya.

            ‘’Aduh...Tuhan tolong aku’’, kata Alifa sambil menatap layar laptop.

            Setelah beberapa menit berlalu...

            ‘’Oh My God tidak ada...ternyata naskahnya tidak aku save di document laptop...sia-sia semua kerja kerasku selama kurang lebih 1 bulan untuk menyelesaikan naskah itu’’, Lanjut Alifa sambil menepuk keras keningnya, dan menutup keras-keras laptop.

            ‘’Kak Boni bisa bantu apa? Coba tolong kamu ingat-ingat apa jangan-jangan kamu lupa ketika kamu menge-print sesuatu, kamu lupa mengambil kembali flashdisk mu di suatu warnet atau tukang print..’’, Sahut Kak Boni.

------PENDING GUYS, BIASA ADA TUGAS GICUH,DO'AIN AJA BIAR CEPET KELAR, BIAR CEPAT DIKIRIM NASKAHNYA :''( :''(