Sabtu, 16 November 2013

SAHABAT?

  Fajar yang mulai senja memunculkan sinar surya bulat terang dibiarkan begitu saja menampakkan sinarnya dibalik Awan seperti kapas,karena mereka tau bahwa inilah waktunya mereka harus beranjak menyinari bumi.Aku tak mau kalah dengan suasana indah seperti ini.Kaki yang menopang tubuh ini segera menapakkan jemarinya di lantai yang begitu dingin.Rupanya tubuh ini memaksakan untuk segera bergegas ke kamar mandi.Usai mandi aku tak pernah lupa melaksanakan sholat shubuh di awal waktu tepat sekarang pukul 05.10.Aku tak sabar ingin cepat-cepat rasanya bertemu dengan sabahabatku,fany di sekolah.Aku berhias mengenakan seragam putih biru berdasi dan berjilbab putih.
    Pukul 05.45,mama sudah menyajikan hidangan breakfast cukup dengan selembar roti salad lengkap dengan sayuran,tomat.Susu coklat hangat pun tetap tersaji menemani lezatnya menyantap salad.Disantaplah roti sebagai menu pagi ini sambil menonton film kartun.
     Pukul 06.00,rupanya inilah waktunya aku si pelajar untuk segera mengarungi indahnya bersekolah.
__________At School___________
Tak seperti biasanya,sahabatku fany cuek begitu saja tampaknya dia lebih asyik bergaul dengan Arfi mungkin apa karena akhir-akhir ini fany les di tempat yang sama dengan Arfi?jadi mereka begitu dekat,tapi aku tidak marah sahabatku bergaul dengan yang lain,hanya saja aku merasa tidak dianggap sebagai sahabatnya lagi.Dan tidak seperti biasanya,fany tidak menanyakan soal-soal B.Inggris kepadaku.padahal hal yang sering ia lakukan ketika ada pelajaran B.inggris.
_________Break time(istirahat)___________
Bel istirahat berdenying keras.Semua murid keluar dari ruangan belajar mereka,tapi aku tidak bergegas ke kantin karena mamaku begitu baik membekaliku serantang kecil Nasi Goreng.Sedih sekali melihat fany dengan Arfi bergegas ke kantin tanpa basa-basi kecil kepadaku,bahkan aku ditinggalkan di dalam kelas seorang diri.Sampai waktu pulangpun Fany tidak melontarkan kata-kata manisnya untukku bahkan senyum saja tidak ,seolah dia tidak melihatku.Sungguh hari ini tak menyisakan sedikit kebahagiaan dari sahabatku sendiri,seakan aku tak ada di dunianya.
___Tomorrow___
Hal yang sama datang lagi,dimana fany masih cuek kepadaku.Bahkan yang aku dengar dia hanya asyik bercerita tentang teman lesnya bersama Arfi,selain itu sepulang sekolah mereka berdua segera menuju tempat les sambil memegang Gadget kepunyaan Arfi.Aku sadar bahwa sahabatku sendiri sudah berubah begitu sesaat setelah les bersama Arfi.
Seminggu berlalu aku tak menuliskan kisah harian,datanglah hari dimana Arfi tidak hadir sekolah karena demam.Tepat hari ini ulangan B.inggris aku duduk bersebelahan dengan fany,kebetulan tempat duduknya diatur oleh Mrs.Mery.Tampak dari wajah fany yang begitu memucat mungkin akibat dia takut dengan UH B.inggris.Setau aku dia tidak pandai berbahasa Inggris,hal itu dibuktikan tatkala sebelum dia menjauh dariku dia tak pernah lepas bertanya-tanya denganku.Ulangan pun berlangsung dengan 15 soal pilihan ganda,fany akhirnya terpaksa tak bergengsi bertanya
"Rasya,no 7,19 sama 20 dong"ucap Fany dengan menoreh kecil dengan suara setengah berbisik.
"jawabannya b,d terus c"timbalku balik dengan suara setengah berbisik.Hal itu aku lakukan agar fany tidak menjauh dariku lagi.
"makasih ya sya"
"Oke urwell"lirihku sambil mendapati wajah fany yang tersenyum bahagia.
_____Break time________
Istirahat begitu menyedihkan lagi,aku tak membawa bekal makanan.jadi kuputuskan untuk membeli cemilan saja ke kantin.Tapi fany tidak mengajakku untuk pergi ke kantin,justru dia pergi hanya seorang diri.padahal apa salahnya ajak aku untuk jajan bersamanya,karena tak ada Arfi.Aku menyusul jejak fany menuju kantin
"Fan,tunggu bareng dong beli jajannya"ujarku sambil mengejar jejaknya.
"Oh"hanya itu saja kata yang ia ucapkan sungguh menyakitkan,sebegitu singkatnya kata yang ia ucap.
Hal yang paling menyakitkan adalah fany terus berjalan tanpa memikirkan aku yang berada di belakangnya.Aku tetap mengikutinya ke tempat yang ia tuju yaitu"Warung Mang Oji"Seperti halnya aku melakukan hal yang sama dengan Fany membeli snack Potato dan sebotol Green tea,saat mendapati waktu membayar snack ke Mang Oji,rupanya Fany beranjak duluan meninggalkan warung ini tanpa menunggu aku bahkan basa-basi.Terpaksalah aku kembali ke kelas seorang diri dengan wajah yang sedih.Rupanya fany sudah sampai duluan di kelas,ia memakan snack dan minumannya bersama teman yang lain yaitu Firda sesosok perempuan yang pemalu di kelasku.Firda juga berkawan baik denganku.
_________Tomorrow___________
Tampaknya Arfi sudah kembali pulih dari demam yang menyakitinya.Dari itu,Arfi kembali hadir bersekolah.dan seperti hal biasanya fany begitu asyik bergaul dengan Arfi lagi.Istirahatpun berlangsung tanpa ada ajakan fany kepadaku untuk memakan bekal bersama.Sungguh menyakitkan,kuputuskan saja untuk memakan bekal bersama Firda untunglah dia mau berkawan denganku hingga saat ini hari ke-17 aku terus berkawan dengan Firda.Pada hari ke-18 saat waktu pulang bersekolah,aku sengaja untuk menuliskan surat untuk fany tepat di kolong mejanya untuk menegaskan sesuatu yang isinya
"Fany,mungkin kamu lebih senang dan bahagia bergaul dengan Arfi.Tanpa ada aku di dunia pergaulanmu ,mungkin kamu akan lebih bahagia.Dan aku sadar aku telah salah memilih sahabat penghianat sepertimu yang hanya baik saja sewaktu ada butuhnya"
By:Rasya.
     Keesokan harinya fany bertugas piket dan membersihkan kolong mejanya dan tampaknya dia membuka surat yang kubuat,tapi hal itu tidak ber-efek baginya,Dibuanglah kertas surat yang kubuat olehnya ke tong sampah.Sejak saat inilah aku mulai melupakan sahabat penghianat sepertinya.Mulai saat ini juga aku bergaul dengan Firda,sedangkan dirinya tak aku pikirkan walaupun bergaul dengan Arfi.Jadi sekarang Fany bukan siapa-siapaku lagi.

Kecut (Cerpen)


Rintik hujan rupanya menemani suasana pagi yang mendung ,ufuk timur tak memunculkan surya kuning yang biasanya bersinar terang.Tampaknya hujan rintik seperti ini akan tahan lama sepanjang hari ini.Aku yang mengintip di jendela kamar dan segera membuka gordeng berwarna biru itu terasa malas untuk beranjak mandi.suasana seperti ini lebih cocok untuk meminum segelas teh hangat daripada untuk mandi.terbersit di pikiranku bagaimana suhu air bak yang lebih dingin dari pagi biasanya.Waktu barusaja menunjukkan pukul 05.05 .Adasaja yang membuat lamunanku pecah begitusaja tatkala wanita mulia seperti malaikat itu mengetuk pintu kamarku,ia ibuku.
        “Sandra,bangun sholat shubuh dan segera mandi sana”
Terpaksa aku pecahkan semua lamunanku yang sia-sia itu,kaki ini segera menginjak ubin yang begitu dingin dan menopang tubuhku yang mulai berdiri menghampiri pintu kamar,dibukalah pintu berkayu coklat oleh kedua tanganku.Mungkin setau ibu aku akan segera mandi,tapi faktanya aku hanya berwudhu saja.bahkan aku pikir aku tidak perlu menggosok gigi karena hal ini bisa membuat gigi terasa ngilu jika disiram air keran.Apalagi untuk hal bersabun,Mustahil.
Usai ibadah shubuh,betapa konyolnya aku ini tak mandi tapi langsung mengenakan seragam putih biru berdasi rapi layaknya orang yang sudah mandi.Aku tau betapa bau dan kecutnya ketiakku pagi ini.tapi hal ini tidak menghalangiku untuk segera pergi bersekolah.Susu coklat dan telur mata sapi buatan ibu memang lezat untukku santap sebagai menu”breakfast”pagi ini.ibu selalu saja menyajikan breakfast dengan menu ini berulang-ulang karena ia tau bahwa inilah breakfast favorite-ku.
        Breakfast yang lezat itu sudah kutelan habis-habis tak bersisa sebutir nasipun di piring.Dan rupanya waktu telah menunjukkan pukul 06.00 dan saat inilah aku memulai untuk segera mengarungi perjalan menuju ke gudang ilmu.Rupanya hujan masih mengiringi detik ini.Jadi,ayah mengantarkan aku ke sekolah mengendarai mobil silver sedan agar aku tidak kehujanan.
"Bu,aku berangkat Assalamu'alaikum"
"wa'alaikumsalam jadi anak yang tetap berprestasilah nak"
______Arrived in school_________
Rupanya masih sepi sekali pagi ini hanya beberapa siswa saja yang sampai di sekolah.Bahkan di kelasku hanya aku saja yang sudah sampai.Aku letakkan tas di bangku dan memeriksa kembali jadwal pelajaran hari ini.Tiba-tiba seorang pria berhidung mancung,beralis tebal dan berperawakan tinggi datang dan mengucap salam,rupanya dia Assegaf si cowok yang suka dijuluki Habib Arab karena memang dia keturunan Arab.Beruntunglah aku bisa datang lebih pagi dari biasanya karena hal tak mandi,jadi aku bisa bertemu dengon sosok tampan di awal pagi buta.Tak kusangka pria Arab ini memecah suasana yang kaku di saat seperti ini,ia melontarkan basa-basi kecilnya.
"Sandra,ada pr apa aja hari ini?"
"Pr IPA,Agama udah itu aja bib"
"Gak ada lagi selain itu?"
"Yeee Habiiib unta"candaanku.
Dan dia hanya tersenyum kecil.
Sebahagia bagaimanakah aku ini saat sesosok pria itu menanyakan something terlebih dahulu pada ku.mungkin aku jawab bahagia sekali.
____Next 2 times at last(break time)______
Bel Istirahat berdenying,semua siswa pun keluar dari masing-masing kelasnya layaknya semut yang baru keluar dari sarangnya,termasuk aku tak mau kalah mengarungi jam-jam seperti ini.Seperti biasanya aku hanya beristirahat bersama tasya si cewek berbehel dan berhidung mancung,tak seperti aku yang hanya berhidung layaknya buah ceri yang menempel di tulang hidung.
"Sya,ayo ke kantin"Ajakku
"Oke san tunggu sebentar aku ambil uang dulu di dompet haha"
    Seusai itu,kami berdua segera keluar dari kelas menuju kantin tempat yang begitu ramai,seperti biasa tasya membeli ketoprak Pak Miun sedangkan aku lebih terbiasa memakan martabak telur,memang aku sangat suka dengan telur.Hal itu dibuktikan tatkala setiap pagi ibuku menyajikan menu Telur,telur dan telur.Aku merasa ada hal yang mengganjal dalam memakan martabak ini,kurasa bau dan kecutnya ketiakku yang belum mandi ini mengganggu hangatnya menyantap martabak telur itu.dan membuatku sedikit mual.Badanpun terasa gatal dan merah-merah inilah akibatnya aku tidak mandi pagi hari.Yasudahlah.
_____Back to home______
Jarum jam tertuju pada angka 14.35.Perutku yang mulai membuncit dan bernyanyi keroncongan membuat tangan dan kaki ini bergerak mendekati dapur ,segera ku buat telur mata sapi khusus untuk menu makanku sore ini.
Seusai makan,aku mengisi Pr hingga larut pukul 05.25 sampai tersadar bahwa aku belum mandi dan untunglah sholat Ashar aku ibadahkan di awal waktu pukul 15.20 tadi.Tapi rasanya malas untuk menginjak lantai yang dingin di kamar mandi untuk bersabun.Kenapa aku semalas ini untuk masalah mandi saja?.Hal yang konyol lagi aku hanya mengganti pakaian saja tanpa mandi.
   Di tengah larut malam badanku terasa gerah dan gatal memerah.
Pagi datang terasa cepat dan tak kusangka tubuhku tiba-tiba saja timbul bentolan-bentolan merah tepat di punggung dan tangan sebelah kiri.Ini pasti karena kemarin seharian aku tidak mandi


Belum Sepenuhnya Bisa(Cerpen)


Lembar putih berisi soal-soal yang membuat aku geram rasanya ingin aku robek  menjadi potongan-potongan kecil dan kubuang ke bak sampah dan berharap agar potongan kertas yang kubuang segera dibawa ke tempat pembakaran sampah.Yap ! aku tak tau menahu mengapa aku bisa sebenci ini dengan Mapel Matematika?mungkin bagiku matematika itu pelajaran yang Horror dan meMATIKAn.Tak kusangka serumit inilah angka-angka yang berhamburan di kertas ulangan ini.Rumus?..aku hafal rumus-rumus itu tapi..kenapa guru killer itu menyelipkan soal-soal yang memotarbalikan rumus awal?Aku sebal kenapa soal ini tidak sejalan dengan rumus yang aku hafalkan semalam.Ini UH ke -2 Mtk soal itu dicantumkan dengan segelintir Essay sebanyak 5 soal tanpa pilihan ganda.Intinya sekarang aku baru mengisi pertanyaan nomor 1.3 dan 4.Dan yang paling menjijikan adalah soal nomor 2 dan 5 berkaitan dengan volume gabungan bangun ruang.Sedangkan jarum jam sudah mulai mendekati angka 09.00 .Jam di kulit pergelangan tanganku terus berdetak,sesekali kulirik jarum jam ini dan berharap jarumnya mundur kembali ke angka 08.30.Sungguh bodoh !.Aku melirik ke pojok belakang tepat dimana Lucy sahabatku duduk,rupanya dia juga terpotar-patir dengan dengan soal .Aku tak tega melihat wajahnya yang kusam letih.Tapi terpaksa aku memanggilya.
"Lucy...No 2 dan 5 gimana jawabannya?"dengan suara setengah berbisik untunglah dia mendengar dan sedikit menoreh kecil ke arahku dengan wajahnya yang penuh arti.
"No 2 caranya volume 1/2 bola ditambah volume tabung tanpa alas.kalo yang no 5.."terhentilah pembicaraan aku dengan lucy karena tampaknya bu Rano si guru killer beralis runcing itu memperhatikan mimik mulut kita berdua.
Ku goreskan penaku di atas lembar jawaban no 2 dengan sedikit gemetar dan masih ragu.Terjawab sudah no 2 dengan rumus dan jawaban yang 80% masih belum meyakinkan.
Dan rupanya si guru killer itu mengucapkan kata - kata yang membuat perutku terasa sembelit akut.
"Anak-anak..10 menit lagi waktu yang tersisa"ujar bu Rano.
Bodohnya aku ini,gimana nasib no 5?Ya Allah..
Dengan sok percaya diri aku kembali menggoreskan penaku di atas lembar jawaban no 5 ,Penaku terasa licin dipegang oleh telapak tanganku yang mulai membasah oleh keringat sejak tadi.apalah ini?aku memutar 360 derajat otakku agar bisa connect kembali(sbnrnya tdk dputar).Sedikit titik cerah terbersit setelah aku berulang-ulang membaca basmalah.Akhirnya wahyu ini datang membuat aku lebih percaya dengan jawaban ini.Alhamdulillah selesai juga.
"Waktunya habis anak-anak 1 cepat kumpulkan tidak ada toleransi lagi dari ibu"ujar bu Rano.
Sekelaspun segera menyerahkan lembar jawaban mereka masing-masing termasuk aku.
Istirahatpun datang tepat pada pukul 09.30.Entah apa,aku da lucy membeli coklat silverqueen untuk cemilan di waktu itu.menurut lucy sih,coklat dapat menurunkan depresi dan kelelahan.Loh?bisa dibilang sih aku depresi akibat UH matematika tadi,jadi untuk me-refresh kembali gitu.
Keesokan harinya guru itu dan Mapel itu datang kembali mengawali pelajaran hari itu.Perutku benar-benar sembelit dan sepertinya membuncit disaat Guru itu akan menyebutkan satupersatu nilai hasil UH.
Absen 1-9 tampaknya nilainya memuaskan dan inilah absenku yang kee-10 subhanallah..
"Absen 10 meraih nilai tertinggi dengan score 100"ujar bu Rano.
Tepuk tangan seisi kelas khusus untukku.Tak kusangka,tapi..ada sedikit yang belum sempurna dimana no 2 aku meminta bantuan kepada lucy untuk menanyakan rumus.
Jadi....??? aku merasa belum sepenuhnya bisaaa....

Senin, 23 September 2013

SAHABATKU BERUBAH DRASTIS :''(

“hai zid” panggilku kepada sahabatku yang bernama zidny
“hai juga lala” jawabnya kepadaku
“zidny nggak kerasa ya dikit lagi kita berpisah” aku yang tampak sedih karena tidak bisa ketemu dia setiap hari aku hampir meneteskan air mata namun aku menahannya.
“iya aku juga la” jawabnya padaku

Akhirnya hari perpisahan itu datang, para kelas 6 maju untuk menyanyikan lagu terakhir untuk guru-guru aku dan teman sangat terharu dan akhirnya meneteskan air mata. Akhirnya selesai acara perpisahan kita berfoto-foto lama kelamaan satu persatu teman-temanku pergi tinggal aku dengan sahabatku. Ia berkata kepada “la jangan lupakan aku ya” katanya kepadaku
“iya sama kamu jangan lupakan aku ya” jawabku kepada ia hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Dan itulah senyumannya yang terakhir aku lihat

Pada suatu saat teman-teman mengajaknya untuk reonian sambil berbuka puasa bareng namun dia lebih memilih untuk berbuka bersama teman smpnya, aku sudah membujuknya namun apadaya aku malah dimarahinya habis-habisan oleh aku hanya bisa terdiam dan terdiam, tapi aku masih beruntung mempunyai teman yang baik yaitu opi hanya dia yang bisa menenangkan hatiku.

Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajaknya main akhirnya aku menyampar dia aku tunggu dia di lapangan namun apa aku liat dia lagi bermain bersama teman-teman dan pacarnya aku memanggil dia namun apa dia tidak mau menganggapku aku mencoba memanggilnya namun dia tetap asik bermain akhirnya aku pulang. Aku mengurung diriku di kamar aku tidak mau makan, minum, dan keluar dari kamar mamaku sangat bingung akhirnya mamaku memanggil opi untuk menyuruhku untuk keluar, dan dia berkata
“lala ayo keluar”dia memanggilku namun aku hanya terdiam tanpa menjawab.
“lala ayo keluar ngapain sih kamu memikirkan zidny yang memang tidak pernah menganggapmu ada” deg… Hatiku sakit sekali ketika opi mengatakan bahwa zidny tidak pernah menganggapku ada.
Aku berfikir mungkin benar kata opi buat apa aku memikirkan dia sedangkan dia pun tidak pernah manganggapku ada, akhirnya aku pun keluar kamar untuk menemui opi untuk bilang terima kasih atas nasihatnya.

Aku pun berhubungan baik dengan opi kita sering jalan-jalan, bermain, dan bercanda. Dan aku bisa melupakan zidny dari fikiran aku anggap zidny sebagai masa laluku yang pahit

Walaupun aku sangat sakit hati dengan sikap dia tapi kau selalu berdoa supaya dia tidak melukai sahabat dia yang baru. 
________
Emang yak aku tuh pas nyiptain cerpen ini berkat dukungan perasaan yang lagi dijalani terutama buat sahabat yang udah mulai BERUBAH ..INGAT ITUU!!! hal yang membedakan yaitu pencantuman nama

SAHABAT :)

Hari-hari yang kujalani semakin lama semakin suram. Aku dan sahabatku sedang bertengkar akibat kesalah pahaman. Ia mengira Aku sudah tidak memerhatikannya lagi dan Aku sudah tidak menganggapnya sebagai sahabat. Padahal… Aku sama sekali tidak seperti yang dia tuduhkan kepadaku. Hampir setiap hari… Aku mengirim E-Mail kepadanya. Menjelaskan bahwa Aku benar-benar tidak seperti yang dia pikirkan. Namun, semua E-Mail yang ku kirim padanya, tak ada satu pun yang ia balas. Sungguh, Aku merasa sangat tidak nyaman. Sahabatku… menganggapku sebagai pengkhianat. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi Aku sama sekali tidak seperti yang ia bayangkan! Sungguh!
Di saat kegundahan hatiku lantaran sahabatku, Aku mendapat kabar bahwa sahabatku telah mengalami kecelakaan dan sekarang sedang di rawat di rumah sakit. Aku pun meminta Pak Ben (supir pribadiku) untuk mengantarkanku ke tempat Nera di rawat. Sesampainya di rumah sakit, Aku segera berlari menuju kamar rawat Nera.
Sesampainya di depan kamar Nera, Aku melihat Bunda Nera dan seorang Dokter tengah berbicara serius. Selepas Bunda Nera dan sang Dokter berbicara, Aku melihat raut wajah Bunda Nera begitu sedih. Aku pun memeberanikan diri untuk bertanya.
“Tante…” Aku menghampiri Bunda Nera yang sedang menangis di sebuah kursi yang ada di depan kamar rawat Nera.
“Rhita?” Bunda Nera menghapus air matanya, lalu melanjutkan kata-katanya.
“Rhita… sekarang kondisi Nera sedang kritis. Tolong doakan Nera agar tetap kuat ya?” ujar Tante Nera sambil menahan tangisnya. Aku tersentak kaget, Nera yang selama ini kukenal sangat kuat, sekarang terbaring lemah dengan kondisi yang kritis.
“Ma…ma..maksud Tante apa?” tanyaku pura-pura bingung. Sungguh, Aku belum siap menerima ini. Biarlah Nera membenciku asal Aku masih bisa melihatnya bahagia. Biarlah Nera tak menganggapku asal Aku masih bisa melihatnya tersenyum.
“Nera membutuhkan donor darah yang cocok untuknya. Ia kehilangan banyak darah saat mengalami kecelakaan tadi pagi,” ujar Bunda Nera. Sekarang, ia sudah sedikit lebih tenang.
“Donor darah?”
“Ya, Nera membutuhkan donor darah yang cocok dengan darahnya. Sedangkan pasokan darah yang ada di rumah sakit tidak ada yang cocok dengan darah Nera,” jelas Bunda Nera.
“Baiklah kalau begitu. Tante boleh periksa darahku terlebih dahulu. Jika sama, Aku bersedia mendonorkan darah untuk Nera.
“B…benar Ritha?” tanya Bunda Nera tidak percaya. Aku mengangguk pasti.
Akhirnya, Dokter pun memeriksa golongan darahku. Apakah sama atau tidak dengan Nera.
“Ibu Hana… Alhamdulillah… darah yang ada dalam diri Ritha rupanya cocok dengan darah Nera. Sekarang, kita bisa melakukan operasi kepada Nera…”
Aku mendengar ucapan sang Dokter. Alhamdulillah… Aku sangat senang, ternyata, golongan darahku sama dengan golongan darah Nera. Nera… Aku harap kamu akan baik-baik saja, batinku seraya melihat wajah Nera dari luar kamar.
Akhirnya, operasi dilakukan. Aku dan Bunda Nera menunggu dengan cemas. Berharap, agar operasi berjalan dengan lancar dan dapat menyelamatkan nyawa Nera.
Setelah berjam-jam Aku dan Bunda Nera menunggu, akhirnya, operasi selesai. Dokter keluar dengan wajah berseri, kuharap itu adalah suatu pertanda yang baik.
“Bu… Operasi yang dilakukan berhasil. Dan Nera… dapat sembuh kembali dalam beberapa minggu ke depan,” ujar sang Dokter. Aku dan Bunda Nera mengucapkan syukur kepada sang Illahi. Kami semua bahagia, karena nyawa orang yang kami sayangi, dapat terselamatkan.
Sekarang sudah pukul 21.00. Aku menemani Nera dalam tidurnya. Sampai sekarang, Nera belum juag sadar pasca operasinya tadi siang. Sekarang, hatiku kembali gundah. Ada apa dengan Nera, kenapa ia tak kunjung sadar?, batinku.
Namun, di saat Aku merasa khawatir, tiba-tiba jari tangan Nera bergerak. Aku memastikan lagi dengan mengucek-ngucek mataku. Ternyata benar, sekarang Nera telah membuka matanya. Ia melihatku, sangat dalam. Aku pun ikut menatap matanya yang masih terlihat lemah.
“Rhita?” ucap Nera lemah. Aku tak kuasa melihatnya dalam kondisi seperti ini.
“Nera… sudah dulu ya? Kamu istirahat saja dulu… kalau sudah cukup istirahatnya, barulah kita ngobrol. Oke?” ujarku sembari mengelus tangan Nera. Nera hanya mengangguk kecil lalu kembali beristirahat. Aku lega, dapat melihat sahabatku terbangun. Dan Aku juga senang karena Aku masih bisa melihat senyumannya.
Sekarang, hari-hariku kembali cerah. Nera sudah mempercayaiku bahwa Aku tak seperti yang ia pikirkan. Dan sekarang, hubungan persahabatanku dengan Nera sudah kembali membaik.
Aku sangaaaat bersyukur, masih bisa menjalani hari-hariku bersama sahabatku.
 ________
Dan intinya Awal cerita ini tuh hampir persis sama apa yang aku rasain saat ini...
BY:Annisa Fitriani.B

Dosaku Kepada Ayah(Cerbung)

Aku seakan tak bisa mengampuni diriku sendiri. Aku tega berbuat sekeji itu kepada orang tua, yang setengah mati berjuang demi kehidupanku, berjuang agar hidupku bisa selayak anak lain. Tapi, apa yang aku berikan kepada Ayah? Bentakan? Cemoohan? Kedurhakaan? Ayah, apakah di sana, Ayah bisa mendengarku? Apakah Ayah bisa memaafkanku?
Ayah, adalah seorang penjual air bersih yang diambilnya dari gunung. Aku tau, penghasilannya tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Aku selalu marah kepada Ayah, yang tidak pernah mampu memberiku uang saku, membayar tagihan sekolah, ataupun yang lainnya. Tapi, Ayah tak pernah sedikitpun marah, atau bahkan memukulku. Ayah hanya bisa terdiam dan selalu mengatakan, “Maaf, Nak. Esok akan Bapak carikan lebih banyak.” Apalagi, Ibu sudah meninggal sejak aku berumur 5 tahun. Ayah menanggung bebannya sendirian, dengan perih hatinya karena perkataanku tiap hari.
Kini, memang Ayah sudah renta. Aku sama sekali tak pernah membantu Ayah dalam bekerja. Aku hanya bisa meminta dan menuntut banyak kepada Ayah.
“Pak! Aku ingin tas baru! Tasku sudah rusak.” kataku.
“Sabarlah, Nak. Bapak semakin hari semakin tua, Bapak tak bisa memberimu banyak.” kata Ayah.
“Sudah pasti Ayah bilang begitu. Seharusnya aku tak pernah minta kepada Ayah! Aku benci!” kataku sambil pergi ke kamar dan mengunci pintu. Aku menangis dan Ayah tak tega mendengarku. Ayah menjual sepatu satu-satunya yang ia gunakan untuk menaiki gunung, hanya untuk membeli tas baru.
Kadang hatiku terluluh melihat Ayah, tapi perasaan kesalku juga tak kalah besarnya. Kadang, aku merasa malu memiliki Ayah seperti Ayahku ini. Tapi, jujur saja.. aku sangat menyayangi, dan mengagumi sosok Ayah seperti itu.
Hari lebaran pun tiba. Aku tak bisa merayakannya seperti anak-anak yang lain. Tidak ada baju baru, ketupat ataupun opor ayam, yang ada hanyalah setoples kue dari Ayah di meja tamu.
“Kapan Ayah bisa membeli ketupat? Aku malu kalau begini terus! Teman-temanku selalu mengejekku.” kataku kesal.
Ayah hanya diam, dan meneteslah air mata mulianya. Aku semakin kesal kepada Ayah, saat Ayah bilang, Ia terkena penyakit paru-paru. Ayah masuk rumah sakit, dan aku yang mencari uang. “Aku benci Ayah! Aku benci!” gerutuku setiap aku berjualan air bersih dari gunung. Pernah aku hampir terjatuh dari kaki gunung karena tak hati-hati. Terlintaslah pikiran mengenai perjuangan Ayah tua nan renta setiap harinya. “Ayah pasti sudah sering terjatuh dari sini.” pikirku sejenak.
Perjalanan ke gunung untuk mencari air sangatlah berbahaya. Ayah.. seperti selalu mencoba menyerahkan nyawanya setiap Ia bekerja.
Aku pun pergi menjenguk Ayah. Aku ingin meminta maaf kepada Ayah atas tingkah lakuku selama ini. Tapi, aku sudah terlambat. Ayah sudah menghembuskan nafas terakhirnya sepuluh menit yang lalu. Aku hanya bisa menangisi kepergian Ayah.
“Ayah.. jangan tinggalkan aku Yah.. Ayah.. Aku minta maaf… Ayaaaaah. Maafkan aku Ayah..”
Semenjak itu, aku hidup sendiri dan berjuang untuk hidup sendirian. Hingga pada suatu hari, aku tersandung kayu dan terjatuh ke jurang saat mencari air. Nyawaku hilang bersamaan dengan dosa besarku, dan aku pergi menyusul Ayah. Ayah, apakah Ayah mau menganggapku sebagai putrimu lagi atas dosaku? 
BY:Annisa Fitriani Burhan

Di balik Senyum tulusmu

Rintik hujan menetes dari luar kamarku. Aku menatap hampa ke atas langit kelabu yang sejak pagi tidak menampakkan sinarnya. Hari ini seolah ikut berduka dengan keadaanku. Demam. Ya, tepatnya aku demam. Dan ini menjadi alasanku untuk tidak mengikuti pelajaran di sekolah.
Kualihkan tatapanku pada handphone yang sedari tadi bergetar di sisi tempat tidur. Terlihat pesan dari Aninda, salah satu teman akrabku, namun aku tak ingin menyebutnya sebagai sahabat.
“Risya kenapa tadi pagi nggak sekolah?”
“Kurang enak badan, Nin.” balasku singkat.
Seorang wanita cantik masuk dari balik pintu. Senyum cerahnya membuatku tak kuasa untuk membalasnya.
“Bagaimana keadaanmu, sayang? Masih sakit kepalanya?” tanya bunda sambil mengusap lembut dahiku.
“Lumayan, bunda. Mungkin besok bisa sekolah.”
“Kalau belum kuat, izin dulu sehari lagi,” saran bunda.
“InsyaAllah kuat. Risya nggak mau ketinggalan pelajaran.”
“Ya sudah, tenangkan fikiran dulu. Kesehatan Risya itu segalanya buat bunda. Jaga diri baik-baik, nak.”
“Iya bunda.. Makasih ya,” ujarku seraya memeluk bunda. Kupendamkan wajahku di jilbab panjang yang selama ini menutupi kecantikannya.
“Jangan lupa berdoa ya, nak. Karena segala sesuatu, apapun itu, dapat terwujud karena Allah, termasuk kesembuhanmu juga.”
“Iya bunda sayang, lagian Risya cuma demam, besok juga sembuh.”
Ini yang kusuka dari bunda. Selalu mengingatkanku untuk berdoa, beribadah. Bunda memotivasiku untuk belajar, selalu memberi semangat disaatku lemah. Bunda segalanya bagiku.
“Risya sayang bunda,” bisikku pelan. Hangat dekapannya menghangatkan kalbuku, seolah tak ingin lepas darinya.
Pagi ini tak seperti kemarin. Semangat sang mentari mampu membuatku tersenyum dan menghilangkan kegundahan yang akhir-akhir ini menyelimuti hati. Mengundang burung-burung untuk menari-nari mengepakkan sayapnya di pohon-pohon yang rindang.
Aku berjalan keluar dengan tas abu-abu yang senantiasa menggelayuti punggungku. Jilbab putihku tertiup angin pagi disertai jatuhan embun dari pepohonan. Jalanan di kompleks ini terlihat sepi, hanya ada satu-dua orang yang pergi ke pasar untuk berjualan, memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Risya,” panggil suara jernih yang lumayan akrab di telingaku. Aku menoleh dan tersenyum kecil ke arah pemilik suara itu. Ia sedikit berlari dengan membiarkan rambutnya terurai bebas, sesekali ia membetulkan kacamatanya.
“Sendirian, sya?” sapa Ferlyn setelah berjalan sejajar denganku.
“Seperti biasa,” jawabku singkat.
Gadis cantik yang dibalut seragam putih biru itu tersenyum manis kearahku. Lalu menatap kosong ke jalan trotoar yang sedang kami lalui. Seketika hening…
“Kemarin nggak sekolah. Kenapa?” tanyanya mengupas kesunyian.
“Biasa, penyakit musiman kambuh,” jawabku polos.
“Ah, bisa saja kamu! Oh ya, kemarin Bu Fauziah memintamu untuk menemuinya di ruang guru.”
“Kapan aku bisa kesana?” tanyaku dengan diliputi sejuta rasa penasaran.
“Secepatnya. Kalau bisa jam istirahat.”
“Makasih ya, Fer. Ehm, kira-kira ada apa ya Bu Fauziah memanggilku?”
“Entahlah, mungkin nilai agamamu bagus. Oh, bukan mungkin, tapi itu pasti,” timpal Ferlyn. Aku hanya tersenyum tipis mendengar tanggapan Ferlyn yang mungkin mengada-ada itu.
Teettt.. Teeeettt..
Bel berbunyi dua kali, pertanda istirahat. Aku pun beranjak menuju ruang guru untuk menemui Bu Fauziah.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, Risya. Silahkan masuk,” jawab Bu Fauziah dan mempersilahkanku duduk di depannya.
“Kamu sudah bertemu temanmu itu, ya? Siapa itu namanya, yang cantik berkacamata itu?” tanya Bu Fauziah sambil memejamkan mata. Mungkin mencoba mengingat sesuatu.
“Ferlyn, bu,” sambarku cepat.
“Oh iya.. Sudah, langsung saja, ya.” Perkataan beliau semakin membuatku penasaran. “Dua minggu lagi akan diadakan Musabaqah Tilawatil Qur’an. Mungkin kamu bisa mewakili sekolah ini. Kami berharap kamu dapat memberikan yang terbaik. Kamu mau, kan?”
“Alhamdulillah,” ucapku pelan seraya mengatupkan kedua tangan di wajahku.
“Ini baru seleksi antar sekolah. Jika kamu terpilih, kamu dapat melanjutkan ke tingkat kabupaten dan seterusnya. Maka dari itu kami berharap banyak padamu.”
“InsyaAllah, bu. Saya akan terus berlatih dan juga saya meminta doa dari ibu dan guru-guru lainnya,” jawabku dengan wajah penuh senyum.
Aku segera keluar ruangan. Fikiranku melayang-layang di alam bawah sadar, mulai berkhayal tentang ini-itu. Aku mulai membayangkan wajah bunda diliputi kebanggaan, dan juga ayah yang telah mendukungku selama ini. Ah, mungkin terlalu berlebihan. Ini baru perwakilan sekolah, bukan tingkat yang lebih tinggi.
“Assalamu’alaikum,” ucapku memberi salam sambil membuka pintu. Krek. Dikunci. Ada apa ini? Ayah dan bunda kemana? Pergi? Jutaan tanda tanya mengambang di fikiranku.
“Risya, ini kunci rumah. Ayahmu mengantar bunda ke rumah sakit. Kamu telepon saja dan langsung menyusul mereka.” kata Mbak Mia, tetangga sebelah rumahku.
Aku hanya bingung, memasang muka datar. Antara bingung, heran, takut, penasaran, semua perasaan menyelimuti hatiku. Menimbulkan kegundahan yang selama ini tak pernah terbayangkan. “Bunda sakit apa?” Oh, mungkin hanya periksa kesehatan. Ya, aku coba berfikir se-positif mungkin.
Sesegera mungkin aku memasangkan kunci pada badannya, membuka pintu, dan segera berlari menuju kamar untuk mengambil handphone.
Tuuut.. Tuuut.. Lama, belum ada jawaban. Fikiranku semakin tak menentu. Aku panik, hatiku rasanya berkecamuk. Tapi kucoba berfikiran positif, berfikir sebaik mungkin agar tidak terjadi hal yang berarti dengan bunda.
“Ayah! Bunda mana? Ada apa?” tanyaku setelah mendapat jawaban.
“Assalamu’alaikum, Risya. Kamu segera ke Rumah Sakit Bhakti Husada. Ayah dan bunda disini,” suara ayah menggema dari seberang sana. Tuut. Telepon diputus.
“Wa’alaikumsalam, ayah.” lirihku.
Aku segera berlari menuju perempatan. Berharap ada angkutan ataupun tumpangan yang sukarela mau mengantarkanku. Lama aku menunggu.. Dua menit.. Lima menit.. Sepuluh menit.. Aku melihat handphone secara berkala, berharap ada suatu informasi yang dapat sedikit menenangkanku.
Sebuah angkutan umum melintas, dan berhenti tepat di depan tempatku berpijak. Aku segera naik, meskipun sesak. Kendaraan ini penuh dengan orang-orang yang memiliki tujuannya masing-masing.
“Rumah Sakit Bhakti Husada ya, pak.”
Ibu-ibu yang ada di agkutan itu sontak menoleh kearahku. Entah apa yang mereka fikirkan. Tapi aku tak menghiraukannya. Fikiranku masih tersita pada bunda.
Angkutan yang kutumpangi berhenti tepat pada tempat yang dituju. Aku langsung turun dan memberi ongkos pada pak supir, tanpa mengingat kembalian.
“Dek! Kembaliannya, dek!” teriak pak supir dari kejauhan. Aku terus berlari, tanpa menghiraukan sekitar.
Berlari tak tentu arah, itu tepatnya yang sedang kulakukan sekarang. Berhenti sejenak, untuk menanyakan ruangan ibu. Dan bodohnya, aku tak tahu ruangan ibu dimana dan nomer berapa. Aku berhenti sejenak dan mencoba menghubungi ayah. Tapi, seseorang yang ku kenal sedang duduk di depan ruang UGD sambil menundukkan kepalanya.
“Ayah!”
Ayah mengangkat wajahnya dan memastikan apakah ia yang dipanggil. Ia langsung berdiri dengan bekas air mata di pipinya. Aku memeluk tubuh besar yang senantiasa melindungiku dan bunda. Namun, ayah tak kuasa menahan tangis sehingga membuatku turut dalam kesedihan.
“Bunda kenapa yaah?” tanyaku disela air mata yang jatuh.
“Bunda kritis, nak. Sekarang sedang ditangani dokter. Kita berdoa saja untuk kesembuhannya.”
“Memangnya bunda sakit apa? Kenapa Risya tidak tahu?”
Ayah terdiam, tertunduk dan menenggalamkan wajahnya di kepalaku. Hening.
“Bundamu terkena kanker otak.” jawab ayah pelan.
“Kenapa selama ini Risya tidak diberi tahu, yah? Kenapa semuanya membohongi Risya?” Suaraku meninggi diiringi jeritan tangis yang tak kuasa kubendung lagi. Lagi-lagi ayah diam, membisu.
“Sekarang waktunya kita berdoa, menunggu kepastian. Tak ada lagi yang perlu diperdebatkan, Risya.”
Aku diam seribu bahasa, mataku tertuju pada ruang UGD yang tak pernah kubayangkan selama ini. Air mata terus mengalir deras di pipiku. Sesekalli, kuusap kedua belah mataku dengan jilbab putih yang sudah basah. “Bunda harus kuat. Harus! Aku tak pernah mengenal bunda yang lemah.” batinku bergejolak.
Lama aku dan ayah menunggu, belum ada kepastian dari dokter yang menangani bunda. Ayah masih bergelut dengan Al-Qur’an kecil yang senantiasa ia bawa. Sementara aku, hanya menangis dengan ketidakpastian. Mengingat dimana bunda menenangkanku kemarin, senyum bunda yang tulus, ketegaran bunda, ternyata dibalik itu semua bunda menyimpan kelemahan, kelemahan yang tidak pernah dibuka untukku.
“Keluarga Ibu Khanisa?” tanya dokter saat keluar ruangan.
“Ya, dok,” ujar ayah segera menghampiri lelaki berseragam putih itu.
“Mari ikut saya.”
Aku segera berlari menemui suster yang ada disana, menanyakan keadaan bunda. Aku menaruh harapan pada suster itu, agar memberikan jawaban terbaiknya.
“Adik bisa lihat di dalam,” ujarnya datar.
Langkahku pelan, namun pasti. Perlahan-lahan aku memasuki ruangan itu. Dingin, obat, itulah yang menyambutku. Kulihat beberapa perawat mengelilingi bunda.
“Bunda.” ujarku pelan. Tak ada jawaban. Bunda mematung. Tabung oksigen telah dilepas dari mulutnya. Bunda! Aku memegang tangan bunda yang dingin. BUNDAAA!!! Jeritan tak dapat ku hindari. Kudekap tubuh yang selama ini telah merawatku, namun kini telah kaku.
“Innalillahi Wainnailaihi Roji’un.” suara seorang ayah terdengar berat di belakangku. Kudekap tubuh ayah. Aku hanya bisa menangis dipeluknya.
“Ayah! Ini nggak mungkin, kan? Risya mimpi, kan, yah? Bunda cuma istirahat, kan?” tanyaku bertubi-tubi. Tak henti-henti mata ini mengeluarkan curahannya. Namun ayah tetap membisu, terpaku ditempatnya berpijak. “Ayah jawab Risya! Bangunkan bunda, yah!”
Tiga hari setelah kepergian bunda. Namun raga ini, fikiran ini selalu teringat akan bunda. Dimana bunda baru kemarin menenangkanku, mengusap kepalaku, memeluk tubuhku. Namun kini, bunda telah istirahat di pembaringan terakhirnya. Tidur lelap untuk selamanya, disisi Allah.
Dibalik kekalutan ini, aku rindu senyum bunda. Aku rindu ketegarannya. Aku rindu kasih sayangnya, ketulusannya, kelambutannya, sikap keibuannya. Kapan aku bisa melihat senyumnya lagi? Mungkin memang bunda sedang tersenyum di atas sana, menatapku dengan penuh kebahagiaan.
Ternyata dibalik senyumnya, bunda menyimpan sejuta kepedihan, sejuta kekalutan yang ditutup dari. Kekalutan yang bunda jaga sendiri, tanpa mau dibagi untukku.
Langit sore terlihat kemerahan, aku masih enggan beranjak dari tempat duduk ini. Sejenak membiarkan airmata ini mengalir, berharap bunda tahu isi hatiku, dimana aku sangat ingin mendekap tubuh bunda.
“Ikhlaskan bunda, Risya. Biarkan bunda tersenyum. Ini sudah takdir Allah,” sahut suara dari belakang. “Bunda hanya butuh doa, bukan tangisan.”
Ya, ikhlas! Itu yang kucoba saat ini. Mungkin ini yang dapat membuat bunda tersenyum, meski aku tak tahu itu.
“Risya, sudah siap? Sudah latihan di rumah, kan?” tanya Bu Fauziah sesampainya aku di tempat lomba.
“InsyaAllah, bu. Risya minta doanya.” Ku cium punggung tangan Bu Fauziah, mengulang memori saat-saat bersama bunda. Sudah lama aku tidak mencium tangan seorang bunda.
“Yang sabar, ya. Ikhlaskan bundamu,” ucap Bu Fauziah seolah-olah tahu isi fikiranku. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi empati itu.
“Bismillahirrohmanirrohim. Jakarta, saya datang dengan mengharumkan provinsi tempat saya tinggal. Mengharumkan nama sekolah, ayah dan bunda. InsyaAllah bisa!”
Sebelumnya aku telah melewati seleksi antar sekolah, dan juga tingkat kabupaten. Alhamdulillah, saat ini aku dapat sampai ke-tingkat provinsi dan InsyaAllah sampai tingkat nasional seperti yang telah aku tekadkan.
“Ini baru setengah dari perjalanan, Risya. Belum seutuhnya kamu tiba menjadi sang juara.” Hati kecilku memberontak dan terus memberi semangat untuk jadi sang juara. Dan pertarungan dimulai. Sedikit lagi giliranku untuk membaca surat yang telah ditentukan, Al-A’raf ayat 31.
“Farisya Azzahra,” panggil laki-laki berpeci yang telah duduk di kursi juri.
Aku segera maju dan memulai bacaanku. Hening. Tak kudengar suara sedikitpun. Aku semakin gugup, tapi segera kutepis jauh-jauh kegugupan itu. Dengan percaya diri, aku melanjutkan bacaan seperti yang telah ditentukan. Setelah selesai aku pun kembali ke tempat duduk, di samping Bu Fauziah.
“Lebih bagus dari kemarin,” bisik Bu Fauziah di telingaku.
“Alhamdulillah, makasih, Bu.”
Sekarang saatnya pengumuman. Fikiranku semakin tak karuan, jantungku tiba-tiba berdegub tak menentu. Telapak tanganku dingin dan basah oleh keringat.
“Saatnya pengumuman pemenang Musabaqah Tilawatil Qur’an tahun ini.
Juara harapan Ahsyar Al-Fiqh, Juara ke-tiga Asyifa Bachtiar,” satu persatu pemenang maju ke depan. Ah, dimana namaku? Hilang sudah harapanku membuat ayah dan almh. bunda bangga. Aku hanya bisa tertunduk lesu mendengarkan nama-nama yang dipanggil.
“Juara ke-dua Khoirunnisa Nurul Amanah, dan Juara pertama Musabaqah Tilawatil Qur’an jatuh pada Farisya Azzahra.”
Aku yang masih tertunduk langsung mengangkat wajahku untuk memastikan. Bu Fauziah sontak memelukku dan banyak yang memberi tepuk tangan.
“Itu nama Risya, bu?” tanyaku tak percaya.
“Iya, nak. Cepat kamu maju.”
Aku berdiri di samping Khoirunnisa. Kutatap wajah-wajah di depanku. Kulihat satu persatu peserta lomba. Ada yang tersenyum ikhlas, namun tak sedikit dari mereka yang memasang raut wajah kecewa. Tak terasa air mata menetes di sudut mataku, perlahan-lahan mengalir dan bermuara pada kerudung biru yang kukenakan.
“Selamat,” ujar Pak Gubernur seraya menyerahkan hadiah dan bingkisan. Aku tertunduk dan tersenyum haru tanpa berkata sepatah kata pun.
Ucapan selamat terus mengalir tiada henti dari keluarga dan teman-temanku, tak terkecuali Aninda. Puji syukur tak henti kuucapkan pada Allah Sang Pemilik Kuasa. Dua minggu yang akan datang, aku akan bertarung di Jakarta. Kali ini ayah akan menemaniku, meski tanpa bunda. Aku harus lebih baik, walau tak dapat dipastikan aku akan pulang sebagai juara. Tapi aku yakin, bunda pasti sudah tersenyum bangga di atas sana, dan aku akan terus mempertahankan senyum bunda.
BY:Annisa Fitriani Burhan

Hidup di Pesantren(Cerbung islami)

(Bel Berbunyi) Pagi menjelang subuh aku telah dibangunkan oleh suara bel yang sangat keras. Bergegas aku menuju kamar mandi untuk cuci muka dan wudhu, setelah itu aku dan kawan-kawanku mengambil peralatan sholat dari mulai sarung sampai peci.
Kemudian aku dan kawanku pergi ke masjid untuk sholat subuh berjama’ah, lalu setelah sholat berjama’ah aku langsung setoran hafalan qur’an kepada guruku..
“li, ustadnya kemana nih? tumben gak ada?” Tanya Radit
“Gak tau deh, coba kita cari bareng yuk. siapa tau ketemu..” Jawab Ali
“Eh eh tungguiin, biar carinya bareng, kita kan satu Halaqah” Ucap Randy
Terlihat ustad kami lagi berjalan menuju kelas Ibnu rusyd..
“Nah, tuh ketemu ustadnya lagi jalan ke kelas. yuk samperin biar kita bisa setoran lebih awal” Ucap ali Sambil semangat
“Ya udah ayo” Ucap Radit dan Randy
Setelah kami menyetorkan hafalan kami yang tadi malam telah kami hafalkan, kami langsung muraja’ah lagi hafalan kami biar tidak terlalu hilang/lupa.. Setelah itu jarum panjang menunjukkan keangka 5.45, langsung kami berpamitan dengan ustad kami agar hafalan kami berkah. tak panjang lebar aku dan kawan-kawan satu halaqah langsung lari ke asrama dan mengambil gayung untuk mengambil antrian paling pertama..
“Alhamdulillah dapet antrian pertama” Ucap Ali (sambil kelelahan)
“Alhamdulilah juga dapet antrian kedua” Ucap Radit
“Ali Cepet ya mandinya jangan lama-lama” Ledek Radit
“iya iya, sendirinya juga lama” Ucap Ali
Lalu aku pergi ke kamar untuk melepas peralatan sholatku dan aku segera bergegas ke kamar mandi. setelah selesai mandi, aku langsung mengambil piring untuk mengambil makanan.. Setelah mengambil makanan aku langsung duduk di samping asrama, tiba-tiba ada yang datang
“Ali, tumben makannya sendirian aja nih?” Tanya Radit
“Eh radit, engga kok biasa aja. lagi pengen makan sendiri disini” Jawab Ali.
“Iya nih, makan sendiri aja gak ngajak-ngajak kayak ada sesuatu yang dipikirkan nih?” Ledek Randy
“Apaan sih ran? pikirin apa coba? kita kan sebagai santri seharusnya kita pikirin tuh hafalan dan belajar itu doang” Jawab Ali
“Yang bener?” Tanya Radit
“Iya bener, orang gak pikir apa apa kok” Jawab ali
Setelah selesai makan aku langsung cuci piring dan siap pergi ke sekolah.
“li, tungguiin aku dong.” Ucap Radit
“Iya iya cepet” Ucap Ali
Sepanjang perjalanan untuk ke kelas Ali kelupaan sesuatu yang untuk dibawanya ke kelas.
“Astagfirullah, ada yang kelupaan?” Ucap ali
“Apaan yang kelupaan?” Tanya Randy
“Buku ku” Jawab Ali
“Ya udah kalian duluan saja ke kelasnya nanti aku akan menyusul” Ucap Ali
Lalu ada temanku yang menyamperiku dan di tangannya ada kelihatan sebuah buku.
“li ini bukumu bukan?” Tanya Alvin
“Iya iya ini bukuku.” Jawab ali
“lain kali jangan ditinggalkan di kasur ya li.” Ucap Alvin
“iya, syukron ya vin” ucap ali
“Afwan” jawab alvin
Lalu aku berlali ke kelas, setelah itu di kelasaku belajar dan mendapatkan berbagai ilmu yang besar dan lumayan banyak dan ustad disana yang mengajarnya juga enak-enak, seru-seru dan happy…
Setelah itu bel pun berbunyi untuk menandai untuk istirahat
“Li, solat dhuha dulu yuk. mau gak?” Tanya Alvin
“Ok, ajak teman-teman yang lain juga ya” Jawab ALi
Setelah aku mengajak teman-teman yang lain, aku langsung berangkat ke masjid untuk solat dhuha. Setelah selesai solat dhuha, kami jajan ke kantin tetapi salah satu sepatu teman kami ada yang hilang.
“Astagfirullah, Dimana ya sepatuku yang sebelah lagi?” Tanya Alvin
“Mungkin kesenggol orang, terus jatuh dan mungkin ketendang kali.” Jawab Randy
“Akh gak mungkin pasti ada yang jail nih” Ucap Alvin
Kebetulan salah satu dari kami ada yang menemukan sepatu milik teman kami..
“Vin nih sepatumu” Ucap Radit
“Dimana?” Tanya alvin
“Nih, disini”jawab radit
“Wah makasih ya sudah ditemukan sepatuku” Ucap Alvin sambil terseyum
“ya sama-sama, kita kan Sahabat, kalau sahabat ada yang susah harus kita bantuin.. Ya gak teman-teman?” Tanya radit saking semangat
“Betul” Jawab serentak
Beberapa saat kemudian bel pun berbunyi
“Ya udah sekarang kita masuk kelas yuk” Ucap Ali
Akhirnya bel istirahat pun kelar aku dan kawan-kawanku masuk ke kelas mereka masing-masing. kami pun di kelas ini belajar dengan sungguh-sungguh supaya kami bisa membanggakan orang tua kami, Belajar adalah usaha kita untuk bisa bersaing mendapatkan nilai tertinggi.
“Alhamdulillah Dikit lagi Bel pulang dan sholat dzuhur” Ucap Ali didalam hatinya
(Bel pulang berbunyi)
Setelah kami belajar, kami langsung menuju ke masjid untuk solat dzuhur berjama’ah. Setelah kami sholat mengambil tas kami, dan temanku punya ide untuk HAL ini.
“Eh temen-temen, gimana kita balapan lari dari masjid hingga asrama. kalau di antara kita yang larinya terakhir dan nyampenya terakhir dia harus mengambilkan makanan. gimana setuju?” Tanya Radit
“Setuju” Jawan serentak.
“hah aku gak mau lari.” Ucap ali
“Kenapa?” Tanya randy
“Lagi kesemutan” jawab ali
“oh, gakpapa” ucap radit
Ada-ada saja ide temanku ini, dia gak pernah luput dari ide, banyak ide yang bisa dikeluarkan dari otaknya dia juga pintar dalam hal strategi. Dan aku sangat bahagia punya sahabat seperti mereka semua..
Setelah itu si randy yang lebih cepat duluan, di susul oleh radit dan yang terakhir adalah alvin.
“Vin kamu kan yang terakhir sampai, kamu ambilkan makanan ya hehe. sesuai dengan peraturan” Ucap Randy
“iya ran, sini tak ambilin makanannya” Ucap Alvin sambil buka baju sekolah
Setelah si alvin ngambil makanan, dia mengantarkannya ke kasur mereka masing-masing. biasalah kalau si alvin gak ada orangnya biasanya taruh di kasurnya..
“Vin makanannya mana?”Tanya Randy
“Ada di kasur semua, ran tolong bilangin yang lain ya” jawab alvin
“Sep” Ucap Randy
Setelah itu aku langsung mengambil makananku, ternyata temen-temenku gak bilang kalau makanannya yaitu nasi goreng. ya kebetulan nasi gorengnya sudah pada abis semua yang dari kelas 7 – 9. ya sudah terpaksa ngambil di dapur. Setelah itu aku langsung ke asrama untuk makan siang…
Setelah habis makan aku, aku langsung duduk sebentar di samping asrama sambil merasakan keadaan disini.. Tak lama kemudian teman-temanku datang.
“Eh li, sendirian aja?” Tanya Alvin
“Iya nih, dari tadi diem mulu disini”Tanya radit
“gakpapa kok, aku cuman pengen santai aja kok.” Jawab ali dengan santainya.
“Oh ya udah, gak mau main bola?” Tanya Randy
“gak akh, kalian aja.” Jawab ali sambil tersenyum
Setelah itu teman-temanku langsung bermain bola dengan kawan-kawanku yang lainnya, beberapa menit kemudian aku memikirkan sesuatu
“Akh dari pada diem disini mendingan tidur aja deh” Ucap Ali dari hatinya
Lalu ali menuju ke kamarnya untuk beristirahat sebentar, biar nanti gak kelelahan saat muraja’ah.
Bel menandakan sholat ashar pun dibunyikan aku pun terbangun dari tidurku, lumayanlah tidurnya gak lama dan gak sebentar. Lalu aku bergegas menuju ke kamar mandir untuk cuci muka dan wudhu, setelah itu aku langsung mengambil peralatan sholatku dan memakainya setelah aku pakai aku langsung berangkat ke masjid.. Sesampai di masjid aku langsung solat tahiyatal masjid dan muraja’ah hafalan tak berapa lama kemudian azanpun dikumandangkan di sini, Setelah azan aku pun langsung sholat sunnah dan tak setelah selesai kemudian iqomahpun dikumandangkan.
Lalu temanku datang.
“Li, ayo kita setoran muraja’ah kita coba tes aku ya” ucap randy
“Sebentar, panggil kawan-kawan biar kita muraja’ah bareng-bareng.”
Lalu ali memanggil kawan-kawan untuk saling setor menyetor, lalu kami semua langsung muraja’ah nanti kami saling setor menyetor terhadap teman baru nanti dites oleh ustad kami, beberapa kemudian ada dari teman kami yang menyetor duluan dan kami juga gak akan mau kalah dengan dia setelah beberapa menit semuanya langsung menyetor ke ustadnya..
“ust, saya setorah dong “ucap ali
“iya sabar satu persatu” Ucap ustad
Akhirnya dari beberapa kami ada yang sudah menyeselesaikan setorannya, dan terakhir tinggal si randy sehabis selesai randy kami langsung izin ke asrama untuk mengantri di kamar mandi, lalu kami langsung salim dan tanpa panjang lebar kami seperti biasa langsung berlari kencang untuk mengantri kamar mandi..
“Alhamdulillah, aku ngantri pertama seperti biasa” ucap ali sambil kelelahan
“Alhamdulillah, ngantri kedua lagi” ucap radit
“Dit, kamu mau mandi duluan gak?” Tanya ali
“Yang bener li? biasanya kamu duluan?” ucap radit
“Ya beneran kamu mandi duluan gih, abis itu aku” Ucap ali
Selagi radit mandi, aku ingin baca buku cerita sebentar sekalian nunggu si radit. Karena kata ustdku buku adalah sebuah ilmu dan cahaya ketika kamu tidak membacanya cahaya itu akan mati terhampa, ketika kamu membacanya kamu akan terang secerah mentari, coba lihat presiden habibie dia pas sd sampai menjadi presiden. Dia tak henti dari yang namanya belajar, palingan dia cuman tidur 2 jam atau 1 jam langsung dia berkerja & belajar lagi, apa lagi membaca al-qur’an itu adalah suatu nikmat yang besar kalau kita membacanya Aliflammim itu bukan satu kata tapi satu huruf Alif, lam, dan mim dan kalau kita membacanya 1 huruf itu 10 kebaikan.. beberapa saat kemudian radit memanggilku..
“ali, mandi li aku dah selesai” Ucap teriakannya radit
“Oh iya” Ucap ali
Setelah itu aku langsung masuk ke kamar mandi. Setelah aku selesai mandi aku langsung bersiap-siap untuk persiapan al-mat’surat, setelah al-mat’surat aku dan teman-temanku muraja’ah hafalan biar hafalan kita gak lupa setelah beberapa lama kemudian azan maghrib pun dikumandangkan setelah selesai aku langsung sholat sunnah, doa, dan tunggu iqomah berkumandang. Selelah itu sholat magrib pun dilaksanakan setelah sholat magrib dan kami semua keluar ada ustad yang memanggil kami semua.
“Ali, rady, radi dan Alvin. Kalian semua adalah sahabat yang baik dan kalian juga setia kawan, janganlah kalian putus hubungan sampai tua nanti, kalian pasti akan menjadi sahabat yang baik dan ustad selalu ingatkan kalian harus belajar lebih giat banggakanlah orang tua kalian janganlah tangisi orang tua kalian dengan keburukan kalian tapi tangisilah orang tua kalian dengan kebanggaan kalian, dan jangan lupa selalu baca qur’an karena kalian adalah penghafal qur’an, semoga semoga kalian semua menjadi hafidz qur’an” Ucap semangat ustad rival
“ya ustad kami pasti akan menjaga hubungan kami dengan erat, insya allah motivasi ustad membuat kami semua lebih semangat lagi untuk menghafal qur’an dan meeratkan persahabatan kami” Ucap Alvin saking semangatnya
“Tenang ust kami akan selalu semangat dan selalu menjalin tali persahabatan kita bersama. Ya gak kawan-kawan.?” Tanya ali
“Betul” Jawab serentak
BY:Annisa Fitriani.B