Aku seakan tak bisa mengampuni diriku sendiri. Aku tega berbuat
sekeji itu kepada orang tua, yang setengah mati berjuang demi
kehidupanku, berjuang agar hidupku bisa selayak anak lain. Tapi, apa
yang aku berikan kepada Ayah? Bentakan? Cemoohan? Kedurhakaan? Ayah,
apakah di sana, Ayah bisa mendengarku? Apakah Ayah bisa memaafkanku?
Ayah, adalah seorang penjual air bersih yang diambilnya dari gunung.
Aku tau, penghasilannya tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Aku
selalu marah kepada Ayah, yang tidak pernah mampu memberiku uang saku,
membayar tagihan sekolah, ataupun yang lainnya. Tapi, Ayah tak pernah
sedikitpun marah, atau bahkan memukulku. Ayah hanya bisa terdiam dan
selalu mengatakan, “Maaf, Nak. Esok akan Bapak carikan lebih banyak.”
Apalagi, Ibu sudah meninggal sejak aku berumur 5 tahun. Ayah menanggung
bebannya sendirian, dengan perih hatinya karena perkataanku tiap hari.
Kini, memang Ayah sudah renta. Aku sama sekali tak pernah membantu
Ayah dalam bekerja. Aku hanya bisa meminta dan menuntut banyak kepada
Ayah.
“Pak! Aku ingin tas baru! Tasku sudah rusak.” kataku.
“Sabarlah, Nak. Bapak semakin hari semakin tua, Bapak tak bisa memberimu banyak.” kata Ayah.
“Sudah pasti Ayah bilang begitu. Seharusnya aku tak pernah minta kepada Ayah! Aku benci!” kataku sambil pergi ke kamar dan mengunci pintu. Aku menangis dan Ayah tak tega mendengarku. Ayah menjual sepatu satu-satunya yang ia gunakan untuk menaiki gunung, hanya untuk membeli tas baru.
Kadang hatiku terluluh melihat Ayah, tapi perasaan kesalku juga tak kalah besarnya. Kadang, aku merasa malu memiliki Ayah seperti Ayahku ini. Tapi, jujur saja.. aku sangat menyayangi, dan mengagumi sosok Ayah seperti itu.
“Pak! Aku ingin tas baru! Tasku sudah rusak.” kataku.
“Sabarlah, Nak. Bapak semakin hari semakin tua, Bapak tak bisa memberimu banyak.” kata Ayah.
“Sudah pasti Ayah bilang begitu. Seharusnya aku tak pernah minta kepada Ayah! Aku benci!” kataku sambil pergi ke kamar dan mengunci pintu. Aku menangis dan Ayah tak tega mendengarku. Ayah menjual sepatu satu-satunya yang ia gunakan untuk menaiki gunung, hanya untuk membeli tas baru.
Kadang hatiku terluluh melihat Ayah, tapi perasaan kesalku juga tak kalah besarnya. Kadang, aku merasa malu memiliki Ayah seperti Ayahku ini. Tapi, jujur saja.. aku sangat menyayangi, dan mengagumi sosok Ayah seperti itu.
–
Hari lebaran pun tiba. Aku tak bisa merayakannya seperti anak-anak
yang lain. Tidak ada baju baru, ketupat ataupun opor ayam, yang ada
hanyalah setoples kue dari Ayah di meja tamu.
“Kapan Ayah bisa membeli ketupat? Aku malu kalau begini terus! Teman-temanku selalu mengejekku.” kataku kesal.
Ayah hanya diam, dan meneteslah air mata mulianya. Aku semakin kesal kepada Ayah, saat Ayah bilang, Ia terkena penyakit paru-paru. Ayah masuk rumah sakit, dan aku yang mencari uang. “Aku benci Ayah! Aku benci!” gerutuku setiap aku berjualan air bersih dari gunung. Pernah aku hampir terjatuh dari kaki gunung karena tak hati-hati. Terlintaslah pikiran mengenai perjuangan Ayah tua nan renta setiap harinya. “Ayah pasti sudah sering terjatuh dari sini.” pikirku sejenak.
“Kapan Ayah bisa membeli ketupat? Aku malu kalau begini terus! Teman-temanku selalu mengejekku.” kataku kesal.
Ayah hanya diam, dan meneteslah air mata mulianya. Aku semakin kesal kepada Ayah, saat Ayah bilang, Ia terkena penyakit paru-paru. Ayah masuk rumah sakit, dan aku yang mencari uang. “Aku benci Ayah! Aku benci!” gerutuku setiap aku berjualan air bersih dari gunung. Pernah aku hampir terjatuh dari kaki gunung karena tak hati-hati. Terlintaslah pikiran mengenai perjuangan Ayah tua nan renta setiap harinya. “Ayah pasti sudah sering terjatuh dari sini.” pikirku sejenak.
Perjalanan ke gunung untuk mencari air sangatlah berbahaya. Ayah..
seperti selalu mencoba menyerahkan nyawanya setiap Ia bekerja.
Aku pun pergi menjenguk Ayah. Aku ingin meminta maaf kepada Ayah atas tingkah lakuku selama ini. Tapi, aku sudah terlambat. Ayah sudah menghembuskan nafas terakhirnya sepuluh menit yang lalu. Aku hanya bisa menangisi kepergian Ayah.
“Ayah.. jangan tinggalkan aku Yah.. Ayah.. Aku minta maaf… Ayaaaaah. Maafkan aku Ayah..”
Aku pun pergi menjenguk Ayah. Aku ingin meminta maaf kepada Ayah atas tingkah lakuku selama ini. Tapi, aku sudah terlambat. Ayah sudah menghembuskan nafas terakhirnya sepuluh menit yang lalu. Aku hanya bisa menangisi kepergian Ayah.
“Ayah.. jangan tinggalkan aku Yah.. Ayah.. Aku minta maaf… Ayaaaaah. Maafkan aku Ayah..”
Semenjak itu, aku hidup sendiri dan berjuang untuk hidup sendirian.
Hingga pada suatu hari, aku tersandung kayu dan terjatuh ke jurang saat
mencari air. Nyawaku hilang bersamaan dengan dosa besarku, dan aku pergi
menyusul Ayah. Ayah, apakah Ayah mau menganggapku sebagai putrimu lagi
atas dosaku?
BY:Annisa Fitriani Burhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar