Senin, 23 September 2013

Di balik Senyum tulusmu

Rintik hujan menetes dari luar kamarku. Aku menatap hampa ke atas langit kelabu yang sejak pagi tidak menampakkan sinarnya. Hari ini seolah ikut berduka dengan keadaanku. Demam. Ya, tepatnya aku demam. Dan ini menjadi alasanku untuk tidak mengikuti pelajaran di sekolah.
Kualihkan tatapanku pada handphone yang sedari tadi bergetar di sisi tempat tidur. Terlihat pesan dari Aninda, salah satu teman akrabku, namun aku tak ingin menyebutnya sebagai sahabat.
“Risya kenapa tadi pagi nggak sekolah?”
“Kurang enak badan, Nin.” balasku singkat.
Seorang wanita cantik masuk dari balik pintu. Senyum cerahnya membuatku tak kuasa untuk membalasnya.
“Bagaimana keadaanmu, sayang? Masih sakit kepalanya?” tanya bunda sambil mengusap lembut dahiku.
“Lumayan, bunda. Mungkin besok bisa sekolah.”
“Kalau belum kuat, izin dulu sehari lagi,” saran bunda.
“InsyaAllah kuat. Risya nggak mau ketinggalan pelajaran.”
“Ya sudah, tenangkan fikiran dulu. Kesehatan Risya itu segalanya buat bunda. Jaga diri baik-baik, nak.”
“Iya bunda.. Makasih ya,” ujarku seraya memeluk bunda. Kupendamkan wajahku di jilbab panjang yang selama ini menutupi kecantikannya.
“Jangan lupa berdoa ya, nak. Karena segala sesuatu, apapun itu, dapat terwujud karena Allah, termasuk kesembuhanmu juga.”
“Iya bunda sayang, lagian Risya cuma demam, besok juga sembuh.”
Ini yang kusuka dari bunda. Selalu mengingatkanku untuk berdoa, beribadah. Bunda memotivasiku untuk belajar, selalu memberi semangat disaatku lemah. Bunda segalanya bagiku.
“Risya sayang bunda,” bisikku pelan. Hangat dekapannya menghangatkan kalbuku, seolah tak ingin lepas darinya.
Pagi ini tak seperti kemarin. Semangat sang mentari mampu membuatku tersenyum dan menghilangkan kegundahan yang akhir-akhir ini menyelimuti hati. Mengundang burung-burung untuk menari-nari mengepakkan sayapnya di pohon-pohon yang rindang.
Aku berjalan keluar dengan tas abu-abu yang senantiasa menggelayuti punggungku. Jilbab putihku tertiup angin pagi disertai jatuhan embun dari pepohonan. Jalanan di kompleks ini terlihat sepi, hanya ada satu-dua orang yang pergi ke pasar untuk berjualan, memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Risya,” panggil suara jernih yang lumayan akrab di telingaku. Aku menoleh dan tersenyum kecil ke arah pemilik suara itu. Ia sedikit berlari dengan membiarkan rambutnya terurai bebas, sesekali ia membetulkan kacamatanya.
“Sendirian, sya?” sapa Ferlyn setelah berjalan sejajar denganku.
“Seperti biasa,” jawabku singkat.
Gadis cantik yang dibalut seragam putih biru itu tersenyum manis kearahku. Lalu menatap kosong ke jalan trotoar yang sedang kami lalui. Seketika hening…
“Kemarin nggak sekolah. Kenapa?” tanyanya mengupas kesunyian.
“Biasa, penyakit musiman kambuh,” jawabku polos.
“Ah, bisa saja kamu! Oh ya, kemarin Bu Fauziah memintamu untuk menemuinya di ruang guru.”
“Kapan aku bisa kesana?” tanyaku dengan diliputi sejuta rasa penasaran.
“Secepatnya. Kalau bisa jam istirahat.”
“Makasih ya, Fer. Ehm, kira-kira ada apa ya Bu Fauziah memanggilku?”
“Entahlah, mungkin nilai agamamu bagus. Oh, bukan mungkin, tapi itu pasti,” timpal Ferlyn. Aku hanya tersenyum tipis mendengar tanggapan Ferlyn yang mungkin mengada-ada itu.
Teettt.. Teeeettt..
Bel berbunyi dua kali, pertanda istirahat. Aku pun beranjak menuju ruang guru untuk menemui Bu Fauziah.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, Risya. Silahkan masuk,” jawab Bu Fauziah dan mempersilahkanku duduk di depannya.
“Kamu sudah bertemu temanmu itu, ya? Siapa itu namanya, yang cantik berkacamata itu?” tanya Bu Fauziah sambil memejamkan mata. Mungkin mencoba mengingat sesuatu.
“Ferlyn, bu,” sambarku cepat.
“Oh iya.. Sudah, langsung saja, ya.” Perkataan beliau semakin membuatku penasaran. “Dua minggu lagi akan diadakan Musabaqah Tilawatil Qur’an. Mungkin kamu bisa mewakili sekolah ini. Kami berharap kamu dapat memberikan yang terbaik. Kamu mau, kan?”
“Alhamdulillah,” ucapku pelan seraya mengatupkan kedua tangan di wajahku.
“Ini baru seleksi antar sekolah. Jika kamu terpilih, kamu dapat melanjutkan ke tingkat kabupaten dan seterusnya. Maka dari itu kami berharap banyak padamu.”
“InsyaAllah, bu. Saya akan terus berlatih dan juga saya meminta doa dari ibu dan guru-guru lainnya,” jawabku dengan wajah penuh senyum.
Aku segera keluar ruangan. Fikiranku melayang-layang di alam bawah sadar, mulai berkhayal tentang ini-itu. Aku mulai membayangkan wajah bunda diliputi kebanggaan, dan juga ayah yang telah mendukungku selama ini. Ah, mungkin terlalu berlebihan. Ini baru perwakilan sekolah, bukan tingkat yang lebih tinggi.
“Assalamu’alaikum,” ucapku memberi salam sambil membuka pintu. Krek. Dikunci. Ada apa ini? Ayah dan bunda kemana? Pergi? Jutaan tanda tanya mengambang di fikiranku.
“Risya, ini kunci rumah. Ayahmu mengantar bunda ke rumah sakit. Kamu telepon saja dan langsung menyusul mereka.” kata Mbak Mia, tetangga sebelah rumahku.
Aku hanya bingung, memasang muka datar. Antara bingung, heran, takut, penasaran, semua perasaan menyelimuti hatiku. Menimbulkan kegundahan yang selama ini tak pernah terbayangkan. “Bunda sakit apa?” Oh, mungkin hanya periksa kesehatan. Ya, aku coba berfikir se-positif mungkin.
Sesegera mungkin aku memasangkan kunci pada badannya, membuka pintu, dan segera berlari menuju kamar untuk mengambil handphone.
Tuuut.. Tuuut.. Lama, belum ada jawaban. Fikiranku semakin tak menentu. Aku panik, hatiku rasanya berkecamuk. Tapi kucoba berfikiran positif, berfikir sebaik mungkin agar tidak terjadi hal yang berarti dengan bunda.
“Ayah! Bunda mana? Ada apa?” tanyaku setelah mendapat jawaban.
“Assalamu’alaikum, Risya. Kamu segera ke Rumah Sakit Bhakti Husada. Ayah dan bunda disini,” suara ayah menggema dari seberang sana. Tuut. Telepon diputus.
“Wa’alaikumsalam, ayah.” lirihku.
Aku segera berlari menuju perempatan. Berharap ada angkutan ataupun tumpangan yang sukarela mau mengantarkanku. Lama aku menunggu.. Dua menit.. Lima menit.. Sepuluh menit.. Aku melihat handphone secara berkala, berharap ada suatu informasi yang dapat sedikit menenangkanku.
Sebuah angkutan umum melintas, dan berhenti tepat di depan tempatku berpijak. Aku segera naik, meskipun sesak. Kendaraan ini penuh dengan orang-orang yang memiliki tujuannya masing-masing.
“Rumah Sakit Bhakti Husada ya, pak.”
Ibu-ibu yang ada di agkutan itu sontak menoleh kearahku. Entah apa yang mereka fikirkan. Tapi aku tak menghiraukannya. Fikiranku masih tersita pada bunda.
Angkutan yang kutumpangi berhenti tepat pada tempat yang dituju. Aku langsung turun dan memberi ongkos pada pak supir, tanpa mengingat kembalian.
“Dek! Kembaliannya, dek!” teriak pak supir dari kejauhan. Aku terus berlari, tanpa menghiraukan sekitar.
Berlari tak tentu arah, itu tepatnya yang sedang kulakukan sekarang. Berhenti sejenak, untuk menanyakan ruangan ibu. Dan bodohnya, aku tak tahu ruangan ibu dimana dan nomer berapa. Aku berhenti sejenak dan mencoba menghubungi ayah. Tapi, seseorang yang ku kenal sedang duduk di depan ruang UGD sambil menundukkan kepalanya.
“Ayah!”
Ayah mengangkat wajahnya dan memastikan apakah ia yang dipanggil. Ia langsung berdiri dengan bekas air mata di pipinya. Aku memeluk tubuh besar yang senantiasa melindungiku dan bunda. Namun, ayah tak kuasa menahan tangis sehingga membuatku turut dalam kesedihan.
“Bunda kenapa yaah?” tanyaku disela air mata yang jatuh.
“Bunda kritis, nak. Sekarang sedang ditangani dokter. Kita berdoa saja untuk kesembuhannya.”
“Memangnya bunda sakit apa? Kenapa Risya tidak tahu?”
Ayah terdiam, tertunduk dan menenggalamkan wajahnya di kepalaku. Hening.
“Bundamu terkena kanker otak.” jawab ayah pelan.
“Kenapa selama ini Risya tidak diberi tahu, yah? Kenapa semuanya membohongi Risya?” Suaraku meninggi diiringi jeritan tangis yang tak kuasa kubendung lagi. Lagi-lagi ayah diam, membisu.
“Sekarang waktunya kita berdoa, menunggu kepastian. Tak ada lagi yang perlu diperdebatkan, Risya.”
Aku diam seribu bahasa, mataku tertuju pada ruang UGD yang tak pernah kubayangkan selama ini. Air mata terus mengalir deras di pipiku. Sesekalli, kuusap kedua belah mataku dengan jilbab putih yang sudah basah. “Bunda harus kuat. Harus! Aku tak pernah mengenal bunda yang lemah.” batinku bergejolak.
Lama aku dan ayah menunggu, belum ada kepastian dari dokter yang menangani bunda. Ayah masih bergelut dengan Al-Qur’an kecil yang senantiasa ia bawa. Sementara aku, hanya menangis dengan ketidakpastian. Mengingat dimana bunda menenangkanku kemarin, senyum bunda yang tulus, ketegaran bunda, ternyata dibalik itu semua bunda menyimpan kelemahan, kelemahan yang tidak pernah dibuka untukku.
“Keluarga Ibu Khanisa?” tanya dokter saat keluar ruangan.
“Ya, dok,” ujar ayah segera menghampiri lelaki berseragam putih itu.
“Mari ikut saya.”
Aku segera berlari menemui suster yang ada disana, menanyakan keadaan bunda. Aku menaruh harapan pada suster itu, agar memberikan jawaban terbaiknya.
“Adik bisa lihat di dalam,” ujarnya datar.
Langkahku pelan, namun pasti. Perlahan-lahan aku memasuki ruangan itu. Dingin, obat, itulah yang menyambutku. Kulihat beberapa perawat mengelilingi bunda.
“Bunda.” ujarku pelan. Tak ada jawaban. Bunda mematung. Tabung oksigen telah dilepas dari mulutnya. Bunda! Aku memegang tangan bunda yang dingin. BUNDAAA!!! Jeritan tak dapat ku hindari. Kudekap tubuh yang selama ini telah merawatku, namun kini telah kaku.
“Innalillahi Wainnailaihi Roji’un.” suara seorang ayah terdengar berat di belakangku. Kudekap tubuh ayah. Aku hanya bisa menangis dipeluknya.
“Ayah! Ini nggak mungkin, kan? Risya mimpi, kan, yah? Bunda cuma istirahat, kan?” tanyaku bertubi-tubi. Tak henti-henti mata ini mengeluarkan curahannya. Namun ayah tetap membisu, terpaku ditempatnya berpijak. “Ayah jawab Risya! Bangunkan bunda, yah!”
Tiga hari setelah kepergian bunda. Namun raga ini, fikiran ini selalu teringat akan bunda. Dimana bunda baru kemarin menenangkanku, mengusap kepalaku, memeluk tubuhku. Namun kini, bunda telah istirahat di pembaringan terakhirnya. Tidur lelap untuk selamanya, disisi Allah.
Dibalik kekalutan ini, aku rindu senyum bunda. Aku rindu ketegarannya. Aku rindu kasih sayangnya, ketulusannya, kelambutannya, sikap keibuannya. Kapan aku bisa melihat senyumnya lagi? Mungkin memang bunda sedang tersenyum di atas sana, menatapku dengan penuh kebahagiaan.
Ternyata dibalik senyumnya, bunda menyimpan sejuta kepedihan, sejuta kekalutan yang ditutup dari. Kekalutan yang bunda jaga sendiri, tanpa mau dibagi untukku.
Langit sore terlihat kemerahan, aku masih enggan beranjak dari tempat duduk ini. Sejenak membiarkan airmata ini mengalir, berharap bunda tahu isi hatiku, dimana aku sangat ingin mendekap tubuh bunda.
“Ikhlaskan bunda, Risya. Biarkan bunda tersenyum. Ini sudah takdir Allah,” sahut suara dari belakang. “Bunda hanya butuh doa, bukan tangisan.”
Ya, ikhlas! Itu yang kucoba saat ini. Mungkin ini yang dapat membuat bunda tersenyum, meski aku tak tahu itu.
“Risya, sudah siap? Sudah latihan di rumah, kan?” tanya Bu Fauziah sesampainya aku di tempat lomba.
“InsyaAllah, bu. Risya minta doanya.” Ku cium punggung tangan Bu Fauziah, mengulang memori saat-saat bersama bunda. Sudah lama aku tidak mencium tangan seorang bunda.
“Yang sabar, ya. Ikhlaskan bundamu,” ucap Bu Fauziah seolah-olah tahu isi fikiranku. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi empati itu.
“Bismillahirrohmanirrohim. Jakarta, saya datang dengan mengharumkan provinsi tempat saya tinggal. Mengharumkan nama sekolah, ayah dan bunda. InsyaAllah bisa!”
Sebelumnya aku telah melewati seleksi antar sekolah, dan juga tingkat kabupaten. Alhamdulillah, saat ini aku dapat sampai ke-tingkat provinsi dan InsyaAllah sampai tingkat nasional seperti yang telah aku tekadkan.
“Ini baru setengah dari perjalanan, Risya. Belum seutuhnya kamu tiba menjadi sang juara.” Hati kecilku memberontak dan terus memberi semangat untuk jadi sang juara. Dan pertarungan dimulai. Sedikit lagi giliranku untuk membaca surat yang telah ditentukan, Al-A’raf ayat 31.
“Farisya Azzahra,” panggil laki-laki berpeci yang telah duduk di kursi juri.
Aku segera maju dan memulai bacaanku. Hening. Tak kudengar suara sedikitpun. Aku semakin gugup, tapi segera kutepis jauh-jauh kegugupan itu. Dengan percaya diri, aku melanjutkan bacaan seperti yang telah ditentukan. Setelah selesai aku pun kembali ke tempat duduk, di samping Bu Fauziah.
“Lebih bagus dari kemarin,” bisik Bu Fauziah di telingaku.
“Alhamdulillah, makasih, Bu.”
Sekarang saatnya pengumuman. Fikiranku semakin tak karuan, jantungku tiba-tiba berdegub tak menentu. Telapak tanganku dingin dan basah oleh keringat.
“Saatnya pengumuman pemenang Musabaqah Tilawatil Qur’an tahun ini.
Juara harapan Ahsyar Al-Fiqh, Juara ke-tiga Asyifa Bachtiar,” satu persatu pemenang maju ke depan. Ah, dimana namaku? Hilang sudah harapanku membuat ayah dan almh. bunda bangga. Aku hanya bisa tertunduk lesu mendengarkan nama-nama yang dipanggil.
“Juara ke-dua Khoirunnisa Nurul Amanah, dan Juara pertama Musabaqah Tilawatil Qur’an jatuh pada Farisya Azzahra.”
Aku yang masih tertunduk langsung mengangkat wajahku untuk memastikan. Bu Fauziah sontak memelukku dan banyak yang memberi tepuk tangan.
“Itu nama Risya, bu?” tanyaku tak percaya.
“Iya, nak. Cepat kamu maju.”
Aku berdiri di samping Khoirunnisa. Kutatap wajah-wajah di depanku. Kulihat satu persatu peserta lomba. Ada yang tersenyum ikhlas, namun tak sedikit dari mereka yang memasang raut wajah kecewa. Tak terasa air mata menetes di sudut mataku, perlahan-lahan mengalir dan bermuara pada kerudung biru yang kukenakan.
“Selamat,” ujar Pak Gubernur seraya menyerahkan hadiah dan bingkisan. Aku tertunduk dan tersenyum haru tanpa berkata sepatah kata pun.
Ucapan selamat terus mengalir tiada henti dari keluarga dan teman-temanku, tak terkecuali Aninda. Puji syukur tak henti kuucapkan pada Allah Sang Pemilik Kuasa. Dua minggu yang akan datang, aku akan bertarung di Jakarta. Kali ini ayah akan menemaniku, meski tanpa bunda. Aku harus lebih baik, walau tak dapat dipastikan aku akan pulang sebagai juara. Tapi aku yakin, bunda pasti sudah tersenyum bangga di atas sana, dan aku akan terus mempertahankan senyum bunda.
BY:Annisa Fitriani Burhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar