Senin, 23 September 2013

SAHABATKU BERUBAH DRASTIS :''(

“hai zid” panggilku kepada sahabatku yang bernama zidny
“hai juga lala” jawabnya kepadaku
“zidny nggak kerasa ya dikit lagi kita berpisah” aku yang tampak sedih karena tidak bisa ketemu dia setiap hari aku hampir meneteskan air mata namun aku menahannya.
“iya aku juga la” jawabnya padaku

Akhirnya hari perpisahan itu datang, para kelas 6 maju untuk menyanyikan lagu terakhir untuk guru-guru aku dan teman sangat terharu dan akhirnya meneteskan air mata. Akhirnya selesai acara perpisahan kita berfoto-foto lama kelamaan satu persatu teman-temanku pergi tinggal aku dengan sahabatku. Ia berkata kepada “la jangan lupakan aku ya” katanya kepadaku
“iya sama kamu jangan lupakan aku ya” jawabku kepada ia hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Dan itulah senyumannya yang terakhir aku lihat

Pada suatu saat teman-teman mengajaknya untuk reonian sambil berbuka puasa bareng namun dia lebih memilih untuk berbuka bersama teman smpnya, aku sudah membujuknya namun apadaya aku malah dimarahinya habis-habisan oleh aku hanya bisa terdiam dan terdiam, tapi aku masih beruntung mempunyai teman yang baik yaitu opi hanya dia yang bisa menenangkan hatiku.

Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajaknya main akhirnya aku menyampar dia aku tunggu dia di lapangan namun apa aku liat dia lagi bermain bersama teman-teman dan pacarnya aku memanggil dia namun apa dia tidak mau menganggapku aku mencoba memanggilnya namun dia tetap asik bermain akhirnya aku pulang. Aku mengurung diriku di kamar aku tidak mau makan, minum, dan keluar dari kamar mamaku sangat bingung akhirnya mamaku memanggil opi untuk menyuruhku untuk keluar, dan dia berkata
“lala ayo keluar”dia memanggilku namun aku hanya terdiam tanpa menjawab.
“lala ayo keluar ngapain sih kamu memikirkan zidny yang memang tidak pernah menganggapmu ada” deg… Hatiku sakit sekali ketika opi mengatakan bahwa zidny tidak pernah menganggapku ada.
Aku berfikir mungkin benar kata opi buat apa aku memikirkan dia sedangkan dia pun tidak pernah manganggapku ada, akhirnya aku pun keluar kamar untuk menemui opi untuk bilang terima kasih atas nasihatnya.

Aku pun berhubungan baik dengan opi kita sering jalan-jalan, bermain, dan bercanda. Dan aku bisa melupakan zidny dari fikiran aku anggap zidny sebagai masa laluku yang pahit

Walaupun aku sangat sakit hati dengan sikap dia tapi kau selalu berdoa supaya dia tidak melukai sahabat dia yang baru. 
________
Emang yak aku tuh pas nyiptain cerpen ini berkat dukungan perasaan yang lagi dijalani terutama buat sahabat yang udah mulai BERUBAH ..INGAT ITUU!!! hal yang membedakan yaitu pencantuman nama

SAHABAT :)

Hari-hari yang kujalani semakin lama semakin suram. Aku dan sahabatku sedang bertengkar akibat kesalah pahaman. Ia mengira Aku sudah tidak memerhatikannya lagi dan Aku sudah tidak menganggapnya sebagai sahabat. Padahal… Aku sama sekali tidak seperti yang dia tuduhkan kepadaku. Hampir setiap hari… Aku mengirim E-Mail kepadanya. Menjelaskan bahwa Aku benar-benar tidak seperti yang dia pikirkan. Namun, semua E-Mail yang ku kirim padanya, tak ada satu pun yang ia balas. Sungguh, Aku merasa sangat tidak nyaman. Sahabatku… menganggapku sebagai pengkhianat. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi Aku sama sekali tidak seperti yang ia bayangkan! Sungguh!
Di saat kegundahan hatiku lantaran sahabatku, Aku mendapat kabar bahwa sahabatku telah mengalami kecelakaan dan sekarang sedang di rawat di rumah sakit. Aku pun meminta Pak Ben (supir pribadiku) untuk mengantarkanku ke tempat Nera di rawat. Sesampainya di rumah sakit, Aku segera berlari menuju kamar rawat Nera.
Sesampainya di depan kamar Nera, Aku melihat Bunda Nera dan seorang Dokter tengah berbicara serius. Selepas Bunda Nera dan sang Dokter berbicara, Aku melihat raut wajah Bunda Nera begitu sedih. Aku pun memeberanikan diri untuk bertanya.
“Tante…” Aku menghampiri Bunda Nera yang sedang menangis di sebuah kursi yang ada di depan kamar rawat Nera.
“Rhita?” Bunda Nera menghapus air matanya, lalu melanjutkan kata-katanya.
“Rhita… sekarang kondisi Nera sedang kritis. Tolong doakan Nera agar tetap kuat ya?” ujar Tante Nera sambil menahan tangisnya. Aku tersentak kaget, Nera yang selama ini kukenal sangat kuat, sekarang terbaring lemah dengan kondisi yang kritis.
“Ma…ma..maksud Tante apa?” tanyaku pura-pura bingung. Sungguh, Aku belum siap menerima ini. Biarlah Nera membenciku asal Aku masih bisa melihatnya bahagia. Biarlah Nera tak menganggapku asal Aku masih bisa melihatnya tersenyum.
“Nera membutuhkan donor darah yang cocok untuknya. Ia kehilangan banyak darah saat mengalami kecelakaan tadi pagi,” ujar Bunda Nera. Sekarang, ia sudah sedikit lebih tenang.
“Donor darah?”
“Ya, Nera membutuhkan donor darah yang cocok dengan darahnya. Sedangkan pasokan darah yang ada di rumah sakit tidak ada yang cocok dengan darah Nera,” jelas Bunda Nera.
“Baiklah kalau begitu. Tante boleh periksa darahku terlebih dahulu. Jika sama, Aku bersedia mendonorkan darah untuk Nera.
“B…benar Ritha?” tanya Bunda Nera tidak percaya. Aku mengangguk pasti.
Akhirnya, Dokter pun memeriksa golongan darahku. Apakah sama atau tidak dengan Nera.
“Ibu Hana… Alhamdulillah… darah yang ada dalam diri Ritha rupanya cocok dengan darah Nera. Sekarang, kita bisa melakukan operasi kepada Nera…”
Aku mendengar ucapan sang Dokter. Alhamdulillah… Aku sangat senang, ternyata, golongan darahku sama dengan golongan darah Nera. Nera… Aku harap kamu akan baik-baik saja, batinku seraya melihat wajah Nera dari luar kamar.
Akhirnya, operasi dilakukan. Aku dan Bunda Nera menunggu dengan cemas. Berharap, agar operasi berjalan dengan lancar dan dapat menyelamatkan nyawa Nera.
Setelah berjam-jam Aku dan Bunda Nera menunggu, akhirnya, operasi selesai. Dokter keluar dengan wajah berseri, kuharap itu adalah suatu pertanda yang baik.
“Bu… Operasi yang dilakukan berhasil. Dan Nera… dapat sembuh kembali dalam beberapa minggu ke depan,” ujar sang Dokter. Aku dan Bunda Nera mengucapkan syukur kepada sang Illahi. Kami semua bahagia, karena nyawa orang yang kami sayangi, dapat terselamatkan.
Sekarang sudah pukul 21.00. Aku menemani Nera dalam tidurnya. Sampai sekarang, Nera belum juag sadar pasca operasinya tadi siang. Sekarang, hatiku kembali gundah. Ada apa dengan Nera, kenapa ia tak kunjung sadar?, batinku.
Namun, di saat Aku merasa khawatir, tiba-tiba jari tangan Nera bergerak. Aku memastikan lagi dengan mengucek-ngucek mataku. Ternyata benar, sekarang Nera telah membuka matanya. Ia melihatku, sangat dalam. Aku pun ikut menatap matanya yang masih terlihat lemah.
“Rhita?” ucap Nera lemah. Aku tak kuasa melihatnya dalam kondisi seperti ini.
“Nera… sudah dulu ya? Kamu istirahat saja dulu… kalau sudah cukup istirahatnya, barulah kita ngobrol. Oke?” ujarku sembari mengelus tangan Nera. Nera hanya mengangguk kecil lalu kembali beristirahat. Aku lega, dapat melihat sahabatku terbangun. Dan Aku juga senang karena Aku masih bisa melihat senyumannya.
Sekarang, hari-hariku kembali cerah. Nera sudah mempercayaiku bahwa Aku tak seperti yang ia pikirkan. Dan sekarang, hubungan persahabatanku dengan Nera sudah kembali membaik.
Aku sangaaaat bersyukur, masih bisa menjalani hari-hariku bersama sahabatku.
 ________
Dan intinya Awal cerita ini tuh hampir persis sama apa yang aku rasain saat ini...
BY:Annisa Fitriani.B

Dosaku Kepada Ayah(Cerbung)

Aku seakan tak bisa mengampuni diriku sendiri. Aku tega berbuat sekeji itu kepada orang tua, yang setengah mati berjuang demi kehidupanku, berjuang agar hidupku bisa selayak anak lain. Tapi, apa yang aku berikan kepada Ayah? Bentakan? Cemoohan? Kedurhakaan? Ayah, apakah di sana, Ayah bisa mendengarku? Apakah Ayah bisa memaafkanku?
Ayah, adalah seorang penjual air bersih yang diambilnya dari gunung. Aku tau, penghasilannya tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Aku selalu marah kepada Ayah, yang tidak pernah mampu memberiku uang saku, membayar tagihan sekolah, ataupun yang lainnya. Tapi, Ayah tak pernah sedikitpun marah, atau bahkan memukulku. Ayah hanya bisa terdiam dan selalu mengatakan, “Maaf, Nak. Esok akan Bapak carikan lebih banyak.” Apalagi, Ibu sudah meninggal sejak aku berumur 5 tahun. Ayah menanggung bebannya sendirian, dengan perih hatinya karena perkataanku tiap hari.
Kini, memang Ayah sudah renta. Aku sama sekali tak pernah membantu Ayah dalam bekerja. Aku hanya bisa meminta dan menuntut banyak kepada Ayah.
“Pak! Aku ingin tas baru! Tasku sudah rusak.” kataku.
“Sabarlah, Nak. Bapak semakin hari semakin tua, Bapak tak bisa memberimu banyak.” kata Ayah.
“Sudah pasti Ayah bilang begitu. Seharusnya aku tak pernah minta kepada Ayah! Aku benci!” kataku sambil pergi ke kamar dan mengunci pintu. Aku menangis dan Ayah tak tega mendengarku. Ayah menjual sepatu satu-satunya yang ia gunakan untuk menaiki gunung, hanya untuk membeli tas baru.
Kadang hatiku terluluh melihat Ayah, tapi perasaan kesalku juga tak kalah besarnya. Kadang, aku merasa malu memiliki Ayah seperti Ayahku ini. Tapi, jujur saja.. aku sangat menyayangi, dan mengagumi sosok Ayah seperti itu.
Hari lebaran pun tiba. Aku tak bisa merayakannya seperti anak-anak yang lain. Tidak ada baju baru, ketupat ataupun opor ayam, yang ada hanyalah setoples kue dari Ayah di meja tamu.
“Kapan Ayah bisa membeli ketupat? Aku malu kalau begini terus! Teman-temanku selalu mengejekku.” kataku kesal.
Ayah hanya diam, dan meneteslah air mata mulianya. Aku semakin kesal kepada Ayah, saat Ayah bilang, Ia terkena penyakit paru-paru. Ayah masuk rumah sakit, dan aku yang mencari uang. “Aku benci Ayah! Aku benci!” gerutuku setiap aku berjualan air bersih dari gunung. Pernah aku hampir terjatuh dari kaki gunung karena tak hati-hati. Terlintaslah pikiran mengenai perjuangan Ayah tua nan renta setiap harinya. “Ayah pasti sudah sering terjatuh dari sini.” pikirku sejenak.
Perjalanan ke gunung untuk mencari air sangatlah berbahaya. Ayah.. seperti selalu mencoba menyerahkan nyawanya setiap Ia bekerja.
Aku pun pergi menjenguk Ayah. Aku ingin meminta maaf kepada Ayah atas tingkah lakuku selama ini. Tapi, aku sudah terlambat. Ayah sudah menghembuskan nafas terakhirnya sepuluh menit yang lalu. Aku hanya bisa menangisi kepergian Ayah.
“Ayah.. jangan tinggalkan aku Yah.. Ayah.. Aku minta maaf… Ayaaaaah. Maafkan aku Ayah..”
Semenjak itu, aku hidup sendiri dan berjuang untuk hidup sendirian. Hingga pada suatu hari, aku tersandung kayu dan terjatuh ke jurang saat mencari air. Nyawaku hilang bersamaan dengan dosa besarku, dan aku pergi menyusul Ayah. Ayah, apakah Ayah mau menganggapku sebagai putrimu lagi atas dosaku? 
BY:Annisa Fitriani Burhan

Di balik Senyum tulusmu

Rintik hujan menetes dari luar kamarku. Aku menatap hampa ke atas langit kelabu yang sejak pagi tidak menampakkan sinarnya. Hari ini seolah ikut berduka dengan keadaanku. Demam. Ya, tepatnya aku demam. Dan ini menjadi alasanku untuk tidak mengikuti pelajaran di sekolah.
Kualihkan tatapanku pada handphone yang sedari tadi bergetar di sisi tempat tidur. Terlihat pesan dari Aninda, salah satu teman akrabku, namun aku tak ingin menyebutnya sebagai sahabat.
“Risya kenapa tadi pagi nggak sekolah?”
“Kurang enak badan, Nin.” balasku singkat.
Seorang wanita cantik masuk dari balik pintu. Senyum cerahnya membuatku tak kuasa untuk membalasnya.
“Bagaimana keadaanmu, sayang? Masih sakit kepalanya?” tanya bunda sambil mengusap lembut dahiku.
“Lumayan, bunda. Mungkin besok bisa sekolah.”
“Kalau belum kuat, izin dulu sehari lagi,” saran bunda.
“InsyaAllah kuat. Risya nggak mau ketinggalan pelajaran.”
“Ya sudah, tenangkan fikiran dulu. Kesehatan Risya itu segalanya buat bunda. Jaga diri baik-baik, nak.”
“Iya bunda.. Makasih ya,” ujarku seraya memeluk bunda. Kupendamkan wajahku di jilbab panjang yang selama ini menutupi kecantikannya.
“Jangan lupa berdoa ya, nak. Karena segala sesuatu, apapun itu, dapat terwujud karena Allah, termasuk kesembuhanmu juga.”
“Iya bunda sayang, lagian Risya cuma demam, besok juga sembuh.”
Ini yang kusuka dari bunda. Selalu mengingatkanku untuk berdoa, beribadah. Bunda memotivasiku untuk belajar, selalu memberi semangat disaatku lemah. Bunda segalanya bagiku.
“Risya sayang bunda,” bisikku pelan. Hangat dekapannya menghangatkan kalbuku, seolah tak ingin lepas darinya.
Pagi ini tak seperti kemarin. Semangat sang mentari mampu membuatku tersenyum dan menghilangkan kegundahan yang akhir-akhir ini menyelimuti hati. Mengundang burung-burung untuk menari-nari mengepakkan sayapnya di pohon-pohon yang rindang.
Aku berjalan keluar dengan tas abu-abu yang senantiasa menggelayuti punggungku. Jilbab putihku tertiup angin pagi disertai jatuhan embun dari pepohonan. Jalanan di kompleks ini terlihat sepi, hanya ada satu-dua orang yang pergi ke pasar untuk berjualan, memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Risya,” panggil suara jernih yang lumayan akrab di telingaku. Aku menoleh dan tersenyum kecil ke arah pemilik suara itu. Ia sedikit berlari dengan membiarkan rambutnya terurai bebas, sesekali ia membetulkan kacamatanya.
“Sendirian, sya?” sapa Ferlyn setelah berjalan sejajar denganku.
“Seperti biasa,” jawabku singkat.
Gadis cantik yang dibalut seragam putih biru itu tersenyum manis kearahku. Lalu menatap kosong ke jalan trotoar yang sedang kami lalui. Seketika hening…
“Kemarin nggak sekolah. Kenapa?” tanyanya mengupas kesunyian.
“Biasa, penyakit musiman kambuh,” jawabku polos.
“Ah, bisa saja kamu! Oh ya, kemarin Bu Fauziah memintamu untuk menemuinya di ruang guru.”
“Kapan aku bisa kesana?” tanyaku dengan diliputi sejuta rasa penasaran.
“Secepatnya. Kalau bisa jam istirahat.”
“Makasih ya, Fer. Ehm, kira-kira ada apa ya Bu Fauziah memanggilku?”
“Entahlah, mungkin nilai agamamu bagus. Oh, bukan mungkin, tapi itu pasti,” timpal Ferlyn. Aku hanya tersenyum tipis mendengar tanggapan Ferlyn yang mungkin mengada-ada itu.
Teettt.. Teeeettt..
Bel berbunyi dua kali, pertanda istirahat. Aku pun beranjak menuju ruang guru untuk menemui Bu Fauziah.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, Risya. Silahkan masuk,” jawab Bu Fauziah dan mempersilahkanku duduk di depannya.
“Kamu sudah bertemu temanmu itu, ya? Siapa itu namanya, yang cantik berkacamata itu?” tanya Bu Fauziah sambil memejamkan mata. Mungkin mencoba mengingat sesuatu.
“Ferlyn, bu,” sambarku cepat.
“Oh iya.. Sudah, langsung saja, ya.” Perkataan beliau semakin membuatku penasaran. “Dua minggu lagi akan diadakan Musabaqah Tilawatil Qur’an. Mungkin kamu bisa mewakili sekolah ini. Kami berharap kamu dapat memberikan yang terbaik. Kamu mau, kan?”
“Alhamdulillah,” ucapku pelan seraya mengatupkan kedua tangan di wajahku.
“Ini baru seleksi antar sekolah. Jika kamu terpilih, kamu dapat melanjutkan ke tingkat kabupaten dan seterusnya. Maka dari itu kami berharap banyak padamu.”
“InsyaAllah, bu. Saya akan terus berlatih dan juga saya meminta doa dari ibu dan guru-guru lainnya,” jawabku dengan wajah penuh senyum.
Aku segera keluar ruangan. Fikiranku melayang-layang di alam bawah sadar, mulai berkhayal tentang ini-itu. Aku mulai membayangkan wajah bunda diliputi kebanggaan, dan juga ayah yang telah mendukungku selama ini. Ah, mungkin terlalu berlebihan. Ini baru perwakilan sekolah, bukan tingkat yang lebih tinggi.
“Assalamu’alaikum,” ucapku memberi salam sambil membuka pintu. Krek. Dikunci. Ada apa ini? Ayah dan bunda kemana? Pergi? Jutaan tanda tanya mengambang di fikiranku.
“Risya, ini kunci rumah. Ayahmu mengantar bunda ke rumah sakit. Kamu telepon saja dan langsung menyusul mereka.” kata Mbak Mia, tetangga sebelah rumahku.
Aku hanya bingung, memasang muka datar. Antara bingung, heran, takut, penasaran, semua perasaan menyelimuti hatiku. Menimbulkan kegundahan yang selama ini tak pernah terbayangkan. “Bunda sakit apa?” Oh, mungkin hanya periksa kesehatan. Ya, aku coba berfikir se-positif mungkin.
Sesegera mungkin aku memasangkan kunci pada badannya, membuka pintu, dan segera berlari menuju kamar untuk mengambil handphone.
Tuuut.. Tuuut.. Lama, belum ada jawaban. Fikiranku semakin tak menentu. Aku panik, hatiku rasanya berkecamuk. Tapi kucoba berfikiran positif, berfikir sebaik mungkin agar tidak terjadi hal yang berarti dengan bunda.
“Ayah! Bunda mana? Ada apa?” tanyaku setelah mendapat jawaban.
“Assalamu’alaikum, Risya. Kamu segera ke Rumah Sakit Bhakti Husada. Ayah dan bunda disini,” suara ayah menggema dari seberang sana. Tuut. Telepon diputus.
“Wa’alaikumsalam, ayah.” lirihku.
Aku segera berlari menuju perempatan. Berharap ada angkutan ataupun tumpangan yang sukarela mau mengantarkanku. Lama aku menunggu.. Dua menit.. Lima menit.. Sepuluh menit.. Aku melihat handphone secara berkala, berharap ada suatu informasi yang dapat sedikit menenangkanku.
Sebuah angkutan umum melintas, dan berhenti tepat di depan tempatku berpijak. Aku segera naik, meskipun sesak. Kendaraan ini penuh dengan orang-orang yang memiliki tujuannya masing-masing.
“Rumah Sakit Bhakti Husada ya, pak.”
Ibu-ibu yang ada di agkutan itu sontak menoleh kearahku. Entah apa yang mereka fikirkan. Tapi aku tak menghiraukannya. Fikiranku masih tersita pada bunda.
Angkutan yang kutumpangi berhenti tepat pada tempat yang dituju. Aku langsung turun dan memberi ongkos pada pak supir, tanpa mengingat kembalian.
“Dek! Kembaliannya, dek!” teriak pak supir dari kejauhan. Aku terus berlari, tanpa menghiraukan sekitar.
Berlari tak tentu arah, itu tepatnya yang sedang kulakukan sekarang. Berhenti sejenak, untuk menanyakan ruangan ibu. Dan bodohnya, aku tak tahu ruangan ibu dimana dan nomer berapa. Aku berhenti sejenak dan mencoba menghubungi ayah. Tapi, seseorang yang ku kenal sedang duduk di depan ruang UGD sambil menundukkan kepalanya.
“Ayah!”
Ayah mengangkat wajahnya dan memastikan apakah ia yang dipanggil. Ia langsung berdiri dengan bekas air mata di pipinya. Aku memeluk tubuh besar yang senantiasa melindungiku dan bunda. Namun, ayah tak kuasa menahan tangis sehingga membuatku turut dalam kesedihan.
“Bunda kenapa yaah?” tanyaku disela air mata yang jatuh.
“Bunda kritis, nak. Sekarang sedang ditangani dokter. Kita berdoa saja untuk kesembuhannya.”
“Memangnya bunda sakit apa? Kenapa Risya tidak tahu?”
Ayah terdiam, tertunduk dan menenggalamkan wajahnya di kepalaku. Hening.
“Bundamu terkena kanker otak.” jawab ayah pelan.
“Kenapa selama ini Risya tidak diberi tahu, yah? Kenapa semuanya membohongi Risya?” Suaraku meninggi diiringi jeritan tangis yang tak kuasa kubendung lagi. Lagi-lagi ayah diam, membisu.
“Sekarang waktunya kita berdoa, menunggu kepastian. Tak ada lagi yang perlu diperdebatkan, Risya.”
Aku diam seribu bahasa, mataku tertuju pada ruang UGD yang tak pernah kubayangkan selama ini. Air mata terus mengalir deras di pipiku. Sesekalli, kuusap kedua belah mataku dengan jilbab putih yang sudah basah. “Bunda harus kuat. Harus! Aku tak pernah mengenal bunda yang lemah.” batinku bergejolak.
Lama aku dan ayah menunggu, belum ada kepastian dari dokter yang menangani bunda. Ayah masih bergelut dengan Al-Qur’an kecil yang senantiasa ia bawa. Sementara aku, hanya menangis dengan ketidakpastian. Mengingat dimana bunda menenangkanku kemarin, senyum bunda yang tulus, ketegaran bunda, ternyata dibalik itu semua bunda menyimpan kelemahan, kelemahan yang tidak pernah dibuka untukku.
“Keluarga Ibu Khanisa?” tanya dokter saat keluar ruangan.
“Ya, dok,” ujar ayah segera menghampiri lelaki berseragam putih itu.
“Mari ikut saya.”
Aku segera berlari menemui suster yang ada disana, menanyakan keadaan bunda. Aku menaruh harapan pada suster itu, agar memberikan jawaban terbaiknya.
“Adik bisa lihat di dalam,” ujarnya datar.
Langkahku pelan, namun pasti. Perlahan-lahan aku memasuki ruangan itu. Dingin, obat, itulah yang menyambutku. Kulihat beberapa perawat mengelilingi bunda.
“Bunda.” ujarku pelan. Tak ada jawaban. Bunda mematung. Tabung oksigen telah dilepas dari mulutnya. Bunda! Aku memegang tangan bunda yang dingin. BUNDAAA!!! Jeritan tak dapat ku hindari. Kudekap tubuh yang selama ini telah merawatku, namun kini telah kaku.
“Innalillahi Wainnailaihi Roji’un.” suara seorang ayah terdengar berat di belakangku. Kudekap tubuh ayah. Aku hanya bisa menangis dipeluknya.
“Ayah! Ini nggak mungkin, kan? Risya mimpi, kan, yah? Bunda cuma istirahat, kan?” tanyaku bertubi-tubi. Tak henti-henti mata ini mengeluarkan curahannya. Namun ayah tetap membisu, terpaku ditempatnya berpijak. “Ayah jawab Risya! Bangunkan bunda, yah!”
Tiga hari setelah kepergian bunda. Namun raga ini, fikiran ini selalu teringat akan bunda. Dimana bunda baru kemarin menenangkanku, mengusap kepalaku, memeluk tubuhku. Namun kini, bunda telah istirahat di pembaringan terakhirnya. Tidur lelap untuk selamanya, disisi Allah.
Dibalik kekalutan ini, aku rindu senyum bunda. Aku rindu ketegarannya. Aku rindu kasih sayangnya, ketulusannya, kelambutannya, sikap keibuannya. Kapan aku bisa melihat senyumnya lagi? Mungkin memang bunda sedang tersenyum di atas sana, menatapku dengan penuh kebahagiaan.
Ternyata dibalik senyumnya, bunda menyimpan sejuta kepedihan, sejuta kekalutan yang ditutup dari. Kekalutan yang bunda jaga sendiri, tanpa mau dibagi untukku.
Langit sore terlihat kemerahan, aku masih enggan beranjak dari tempat duduk ini. Sejenak membiarkan airmata ini mengalir, berharap bunda tahu isi hatiku, dimana aku sangat ingin mendekap tubuh bunda.
“Ikhlaskan bunda, Risya. Biarkan bunda tersenyum. Ini sudah takdir Allah,” sahut suara dari belakang. “Bunda hanya butuh doa, bukan tangisan.”
Ya, ikhlas! Itu yang kucoba saat ini. Mungkin ini yang dapat membuat bunda tersenyum, meski aku tak tahu itu.
“Risya, sudah siap? Sudah latihan di rumah, kan?” tanya Bu Fauziah sesampainya aku di tempat lomba.
“InsyaAllah, bu. Risya minta doanya.” Ku cium punggung tangan Bu Fauziah, mengulang memori saat-saat bersama bunda. Sudah lama aku tidak mencium tangan seorang bunda.
“Yang sabar, ya. Ikhlaskan bundamu,” ucap Bu Fauziah seolah-olah tahu isi fikiranku. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi empati itu.
“Bismillahirrohmanirrohim. Jakarta, saya datang dengan mengharumkan provinsi tempat saya tinggal. Mengharumkan nama sekolah, ayah dan bunda. InsyaAllah bisa!”
Sebelumnya aku telah melewati seleksi antar sekolah, dan juga tingkat kabupaten. Alhamdulillah, saat ini aku dapat sampai ke-tingkat provinsi dan InsyaAllah sampai tingkat nasional seperti yang telah aku tekadkan.
“Ini baru setengah dari perjalanan, Risya. Belum seutuhnya kamu tiba menjadi sang juara.” Hati kecilku memberontak dan terus memberi semangat untuk jadi sang juara. Dan pertarungan dimulai. Sedikit lagi giliranku untuk membaca surat yang telah ditentukan, Al-A’raf ayat 31.
“Farisya Azzahra,” panggil laki-laki berpeci yang telah duduk di kursi juri.
Aku segera maju dan memulai bacaanku. Hening. Tak kudengar suara sedikitpun. Aku semakin gugup, tapi segera kutepis jauh-jauh kegugupan itu. Dengan percaya diri, aku melanjutkan bacaan seperti yang telah ditentukan. Setelah selesai aku pun kembali ke tempat duduk, di samping Bu Fauziah.
“Lebih bagus dari kemarin,” bisik Bu Fauziah di telingaku.
“Alhamdulillah, makasih, Bu.”
Sekarang saatnya pengumuman. Fikiranku semakin tak karuan, jantungku tiba-tiba berdegub tak menentu. Telapak tanganku dingin dan basah oleh keringat.
“Saatnya pengumuman pemenang Musabaqah Tilawatil Qur’an tahun ini.
Juara harapan Ahsyar Al-Fiqh, Juara ke-tiga Asyifa Bachtiar,” satu persatu pemenang maju ke depan. Ah, dimana namaku? Hilang sudah harapanku membuat ayah dan almh. bunda bangga. Aku hanya bisa tertunduk lesu mendengarkan nama-nama yang dipanggil.
“Juara ke-dua Khoirunnisa Nurul Amanah, dan Juara pertama Musabaqah Tilawatil Qur’an jatuh pada Farisya Azzahra.”
Aku yang masih tertunduk langsung mengangkat wajahku untuk memastikan. Bu Fauziah sontak memelukku dan banyak yang memberi tepuk tangan.
“Itu nama Risya, bu?” tanyaku tak percaya.
“Iya, nak. Cepat kamu maju.”
Aku berdiri di samping Khoirunnisa. Kutatap wajah-wajah di depanku. Kulihat satu persatu peserta lomba. Ada yang tersenyum ikhlas, namun tak sedikit dari mereka yang memasang raut wajah kecewa. Tak terasa air mata menetes di sudut mataku, perlahan-lahan mengalir dan bermuara pada kerudung biru yang kukenakan.
“Selamat,” ujar Pak Gubernur seraya menyerahkan hadiah dan bingkisan. Aku tertunduk dan tersenyum haru tanpa berkata sepatah kata pun.
Ucapan selamat terus mengalir tiada henti dari keluarga dan teman-temanku, tak terkecuali Aninda. Puji syukur tak henti kuucapkan pada Allah Sang Pemilik Kuasa. Dua minggu yang akan datang, aku akan bertarung di Jakarta. Kali ini ayah akan menemaniku, meski tanpa bunda. Aku harus lebih baik, walau tak dapat dipastikan aku akan pulang sebagai juara. Tapi aku yakin, bunda pasti sudah tersenyum bangga di atas sana, dan aku akan terus mempertahankan senyum bunda.
BY:Annisa Fitriani Burhan

Hidup di Pesantren(Cerbung islami)

(Bel Berbunyi) Pagi menjelang subuh aku telah dibangunkan oleh suara bel yang sangat keras. Bergegas aku menuju kamar mandi untuk cuci muka dan wudhu, setelah itu aku dan kawan-kawanku mengambil peralatan sholat dari mulai sarung sampai peci.
Kemudian aku dan kawanku pergi ke masjid untuk sholat subuh berjama’ah, lalu setelah sholat berjama’ah aku langsung setoran hafalan qur’an kepada guruku..
“li, ustadnya kemana nih? tumben gak ada?” Tanya Radit
“Gak tau deh, coba kita cari bareng yuk. siapa tau ketemu..” Jawab Ali
“Eh eh tungguiin, biar carinya bareng, kita kan satu Halaqah” Ucap Randy
Terlihat ustad kami lagi berjalan menuju kelas Ibnu rusyd..
“Nah, tuh ketemu ustadnya lagi jalan ke kelas. yuk samperin biar kita bisa setoran lebih awal” Ucap ali Sambil semangat
“Ya udah ayo” Ucap Radit dan Randy
Setelah kami menyetorkan hafalan kami yang tadi malam telah kami hafalkan, kami langsung muraja’ah lagi hafalan kami biar tidak terlalu hilang/lupa.. Setelah itu jarum panjang menunjukkan keangka 5.45, langsung kami berpamitan dengan ustad kami agar hafalan kami berkah. tak panjang lebar aku dan kawan-kawan satu halaqah langsung lari ke asrama dan mengambil gayung untuk mengambil antrian paling pertama..
“Alhamdulillah dapet antrian pertama” Ucap Ali (sambil kelelahan)
“Alhamdulilah juga dapet antrian kedua” Ucap Radit
“Ali Cepet ya mandinya jangan lama-lama” Ledek Radit
“iya iya, sendirinya juga lama” Ucap Ali
Lalu aku pergi ke kamar untuk melepas peralatan sholatku dan aku segera bergegas ke kamar mandi. setelah selesai mandi, aku langsung mengambil piring untuk mengambil makanan.. Setelah mengambil makanan aku langsung duduk di samping asrama, tiba-tiba ada yang datang
“Ali, tumben makannya sendirian aja nih?” Tanya Radit
“Eh radit, engga kok biasa aja. lagi pengen makan sendiri disini” Jawab Ali.
“Iya nih, makan sendiri aja gak ngajak-ngajak kayak ada sesuatu yang dipikirkan nih?” Ledek Randy
“Apaan sih ran? pikirin apa coba? kita kan sebagai santri seharusnya kita pikirin tuh hafalan dan belajar itu doang” Jawab Ali
“Yang bener?” Tanya Radit
“Iya bener, orang gak pikir apa apa kok” Jawab ali
Setelah selesai makan aku langsung cuci piring dan siap pergi ke sekolah.
“li, tungguiin aku dong.” Ucap Radit
“Iya iya cepet” Ucap Ali
Sepanjang perjalanan untuk ke kelas Ali kelupaan sesuatu yang untuk dibawanya ke kelas.
“Astagfirullah, ada yang kelupaan?” Ucap ali
“Apaan yang kelupaan?” Tanya Randy
“Buku ku” Jawab Ali
“Ya udah kalian duluan saja ke kelasnya nanti aku akan menyusul” Ucap Ali
Lalu ada temanku yang menyamperiku dan di tangannya ada kelihatan sebuah buku.
“li ini bukumu bukan?” Tanya Alvin
“Iya iya ini bukuku.” Jawab ali
“lain kali jangan ditinggalkan di kasur ya li.” Ucap Alvin
“iya, syukron ya vin” ucap ali
“Afwan” jawab alvin
Lalu aku berlali ke kelas, setelah itu di kelasaku belajar dan mendapatkan berbagai ilmu yang besar dan lumayan banyak dan ustad disana yang mengajarnya juga enak-enak, seru-seru dan happy…
Setelah itu bel pun berbunyi untuk menandai untuk istirahat
“Li, solat dhuha dulu yuk. mau gak?” Tanya Alvin
“Ok, ajak teman-teman yang lain juga ya” Jawab ALi
Setelah aku mengajak teman-teman yang lain, aku langsung berangkat ke masjid untuk solat dhuha. Setelah selesai solat dhuha, kami jajan ke kantin tetapi salah satu sepatu teman kami ada yang hilang.
“Astagfirullah, Dimana ya sepatuku yang sebelah lagi?” Tanya Alvin
“Mungkin kesenggol orang, terus jatuh dan mungkin ketendang kali.” Jawab Randy
“Akh gak mungkin pasti ada yang jail nih” Ucap Alvin
Kebetulan salah satu dari kami ada yang menemukan sepatu milik teman kami..
“Vin nih sepatumu” Ucap Radit
“Dimana?” Tanya alvin
“Nih, disini”jawab radit
“Wah makasih ya sudah ditemukan sepatuku” Ucap Alvin sambil terseyum
“ya sama-sama, kita kan Sahabat, kalau sahabat ada yang susah harus kita bantuin.. Ya gak teman-teman?” Tanya radit saking semangat
“Betul” Jawab serentak
Beberapa saat kemudian bel pun berbunyi
“Ya udah sekarang kita masuk kelas yuk” Ucap Ali
Akhirnya bel istirahat pun kelar aku dan kawan-kawanku masuk ke kelas mereka masing-masing. kami pun di kelas ini belajar dengan sungguh-sungguh supaya kami bisa membanggakan orang tua kami, Belajar adalah usaha kita untuk bisa bersaing mendapatkan nilai tertinggi.
“Alhamdulillah Dikit lagi Bel pulang dan sholat dzuhur” Ucap Ali didalam hatinya
(Bel pulang berbunyi)
Setelah kami belajar, kami langsung menuju ke masjid untuk solat dzuhur berjama’ah. Setelah kami sholat mengambil tas kami, dan temanku punya ide untuk HAL ini.
“Eh temen-temen, gimana kita balapan lari dari masjid hingga asrama. kalau di antara kita yang larinya terakhir dan nyampenya terakhir dia harus mengambilkan makanan. gimana setuju?” Tanya Radit
“Setuju” Jawan serentak.
“hah aku gak mau lari.” Ucap ali
“Kenapa?” Tanya randy
“Lagi kesemutan” jawab ali
“oh, gakpapa” ucap radit
Ada-ada saja ide temanku ini, dia gak pernah luput dari ide, banyak ide yang bisa dikeluarkan dari otaknya dia juga pintar dalam hal strategi. Dan aku sangat bahagia punya sahabat seperti mereka semua..
Setelah itu si randy yang lebih cepat duluan, di susul oleh radit dan yang terakhir adalah alvin.
“Vin kamu kan yang terakhir sampai, kamu ambilkan makanan ya hehe. sesuai dengan peraturan” Ucap Randy
“iya ran, sini tak ambilin makanannya” Ucap Alvin sambil buka baju sekolah
Setelah si alvin ngambil makanan, dia mengantarkannya ke kasur mereka masing-masing. biasalah kalau si alvin gak ada orangnya biasanya taruh di kasurnya..
“Vin makanannya mana?”Tanya Randy
“Ada di kasur semua, ran tolong bilangin yang lain ya” jawab alvin
“Sep” Ucap Randy
Setelah itu aku langsung mengambil makananku, ternyata temen-temenku gak bilang kalau makanannya yaitu nasi goreng. ya kebetulan nasi gorengnya sudah pada abis semua yang dari kelas 7 – 9. ya sudah terpaksa ngambil di dapur. Setelah itu aku langsung ke asrama untuk makan siang…
Setelah habis makan aku, aku langsung duduk sebentar di samping asrama sambil merasakan keadaan disini.. Tak lama kemudian teman-temanku datang.
“Eh li, sendirian aja?” Tanya Alvin
“Iya nih, dari tadi diem mulu disini”Tanya radit
“gakpapa kok, aku cuman pengen santai aja kok.” Jawab ali dengan santainya.
“Oh ya udah, gak mau main bola?” Tanya Randy
“gak akh, kalian aja.” Jawab ali sambil tersenyum
Setelah itu teman-temanku langsung bermain bola dengan kawan-kawanku yang lainnya, beberapa menit kemudian aku memikirkan sesuatu
“Akh dari pada diem disini mendingan tidur aja deh” Ucap Ali dari hatinya
Lalu ali menuju ke kamarnya untuk beristirahat sebentar, biar nanti gak kelelahan saat muraja’ah.
Bel menandakan sholat ashar pun dibunyikan aku pun terbangun dari tidurku, lumayanlah tidurnya gak lama dan gak sebentar. Lalu aku bergegas menuju ke kamar mandir untuk cuci muka dan wudhu, setelah itu aku langsung mengambil peralatan sholatku dan memakainya setelah aku pakai aku langsung berangkat ke masjid.. Sesampai di masjid aku langsung solat tahiyatal masjid dan muraja’ah hafalan tak berapa lama kemudian azanpun dikumandangkan di sini, Setelah azan aku pun langsung sholat sunnah dan tak setelah selesai kemudian iqomahpun dikumandangkan.
Lalu temanku datang.
“Li, ayo kita setoran muraja’ah kita coba tes aku ya” ucap randy
“Sebentar, panggil kawan-kawan biar kita muraja’ah bareng-bareng.”
Lalu ali memanggil kawan-kawan untuk saling setor menyetor, lalu kami semua langsung muraja’ah nanti kami saling setor menyetor terhadap teman baru nanti dites oleh ustad kami, beberapa kemudian ada dari teman kami yang menyetor duluan dan kami juga gak akan mau kalah dengan dia setelah beberapa menit semuanya langsung menyetor ke ustadnya..
“ust, saya setorah dong “ucap ali
“iya sabar satu persatu” Ucap ustad
Akhirnya dari beberapa kami ada yang sudah menyeselesaikan setorannya, dan terakhir tinggal si randy sehabis selesai randy kami langsung izin ke asrama untuk mengantri di kamar mandi, lalu kami langsung salim dan tanpa panjang lebar kami seperti biasa langsung berlari kencang untuk mengantri kamar mandi..
“Alhamdulillah, aku ngantri pertama seperti biasa” ucap ali sambil kelelahan
“Alhamdulillah, ngantri kedua lagi” ucap radit
“Dit, kamu mau mandi duluan gak?” Tanya ali
“Yang bener li? biasanya kamu duluan?” ucap radit
“Ya beneran kamu mandi duluan gih, abis itu aku” Ucap ali
Selagi radit mandi, aku ingin baca buku cerita sebentar sekalian nunggu si radit. Karena kata ustdku buku adalah sebuah ilmu dan cahaya ketika kamu tidak membacanya cahaya itu akan mati terhampa, ketika kamu membacanya kamu akan terang secerah mentari, coba lihat presiden habibie dia pas sd sampai menjadi presiden. Dia tak henti dari yang namanya belajar, palingan dia cuman tidur 2 jam atau 1 jam langsung dia berkerja & belajar lagi, apa lagi membaca al-qur’an itu adalah suatu nikmat yang besar kalau kita membacanya Aliflammim itu bukan satu kata tapi satu huruf Alif, lam, dan mim dan kalau kita membacanya 1 huruf itu 10 kebaikan.. beberapa saat kemudian radit memanggilku..
“ali, mandi li aku dah selesai” Ucap teriakannya radit
“Oh iya” Ucap ali
Setelah itu aku langsung masuk ke kamar mandi. Setelah aku selesai mandi aku langsung bersiap-siap untuk persiapan al-mat’surat, setelah al-mat’surat aku dan teman-temanku muraja’ah hafalan biar hafalan kita gak lupa setelah beberapa lama kemudian azan maghrib pun dikumandangkan setelah selesai aku langsung sholat sunnah, doa, dan tunggu iqomah berkumandang. Selelah itu sholat magrib pun dilaksanakan setelah sholat magrib dan kami semua keluar ada ustad yang memanggil kami semua.
“Ali, rady, radi dan Alvin. Kalian semua adalah sahabat yang baik dan kalian juga setia kawan, janganlah kalian putus hubungan sampai tua nanti, kalian pasti akan menjadi sahabat yang baik dan ustad selalu ingatkan kalian harus belajar lebih giat banggakanlah orang tua kalian janganlah tangisi orang tua kalian dengan keburukan kalian tapi tangisilah orang tua kalian dengan kebanggaan kalian, dan jangan lupa selalu baca qur’an karena kalian adalah penghafal qur’an, semoga semoga kalian semua menjadi hafidz qur’an” Ucap semangat ustad rival
“ya ustad kami pasti akan menjaga hubungan kami dengan erat, insya allah motivasi ustad membuat kami semua lebih semangat lagi untuk menghafal qur’an dan meeratkan persahabatan kami” Ucap Alvin saking semangatnya
“Tenang ust kami akan selalu semangat dan selalu menjalin tali persahabatan kita bersama. Ya gak kawan-kawan.?” Tanya ali
“Betul” Jawab serentak
BY:Annisa Fitriani.B

Seribu Untaian kata :*

Sampul indah yang tak berisi pikiran ku mengenai derita yang sedang kujalani, melangkahkan kaki sedikit demi sedikit membayangkan segala hal yang akan kulalui nantinya dengan sepasang sendal kecil yang masih terpasang erat di kakiku. Aku masih mengingat saat terakhir aku melepaskannya untuk orang itu, melepaskan segala hal yang telah kokoh dan membiarkan dia menghancurkan meski tanpa dosa sedikitpun.
Lelah memang lelah saat melihat kembali ke atas, bodoh tak ubahnya kata hina yang selalu menamparku. Tak ku rasakan sakit itu lagi, bahkan tak ada kata sakit karena akan sangat pedih jika mengingat dulu sakit yang kualami membuatku peka dan hambar dengan rasa sakit di hati.
Awal untain dengan seribu kata menggambarkan diriku yang sangat menghargai cinta namun tak dihargai oleh cintanya.
Sesosok gadis yang tengah menyapu segala isi ruang di tempat itu adalah aku. Diriku yang terbiasa memperhatikan setiap orang dari jauh, hingga kejauhan membuat sepasang tangan mendekatiku.
“berbalik.. tidak.. berbalik.. tidak.. berbalik”
Sontak mataku membelalak saat melihat wajahnya berbalik kehadapanku. Sebuah mantra kecil yang ku ucapkan terus menerus membuatku tersenyum melihatnya. Tingkahnya dari jauh saat itu kuanggap sama saja, hingga saat mata indah itu terus menatapku dalam, dia mulai terlihat beda meski yang dia lakukan sama dengan orang disekitarku.
Dia.. dia datang mengucapkan salam di message akun sosial ku, dengan ucapan salam biasa aku menjawabnya.
Dia.. dia orang yang telah lama berada didekatku namun tak pernah sedekat ini.
Dia.. dia yang menjadi sosok yang tak pernah putus dari pandanganku walau dulu dia hanyalah secercah cahaya yang terus berada disekitarku.
Hingga secerah cahaya itu menyilaukan mataku. Sangat indah saat menatapnya dan membalas messagenya.
“hai”
Kata tak bermakna namun berati untuk diriku. Mengucapkan satu kata untuk memulai segala percakapan. Hingga kami terus-menerus membalas messange satu sama lain. Tak tau kenapa setiap kata yang tebaca di layar yang berada dihadapanku selalu membuat ku tersenyum. Tersenyum sendiri melihat segala kata-kata itu. Dan yang ku inginkan saat itu keadaan yang sama dengan dia yang berada jauh dengan ku saat itu. Kami sudah saling mengenal satu sama lain namun dia tetap menganggapku seorang adik baginya. Hanya seorang adik tak lebih saat itu. Dan bodohnya diri ku tetap merasa bahagia meski hanya menjadi sesosok adik baginya.
Kakak. Apa kamu melihat adikmu?, yang tak pernah menganggapmu kakak ku. Aku selalu menganggapmu seorang lelaki dewasa dihadapanku. Serasa air mata ini bercucuran saat mengucapkan semua kata itu di depan layar yang hanya bisa bungkam melihat diriku. Boneka yang hanya bisa diam dengan kata-kata adalah diriku. diriku yang terlalu takut berkata jujur meski yang kurasa saat itu sangat mengiris perasaan sayang ini.
“kakak?”
Ku mulai mengatakan segalanya.
“iya.”
“ada yang mau aku beritahu ke kakak”
Dengan tangan yang gemetaran dan nafas yang mulai ku atur perlahan. Ingin ku beritahukan segalanya. Tapi tak tau mengapa segala hal mulai berputar di otak ku. Dimulai dari hal apakah kamu bisa tetap seperti ini setelah kuungkapkan segalanya ataukah malah akan berbalik mencaciku sendiri. Membuat hubungan ini hancur meski ini adalah hubungan tanpa status yang jelas sedikit pun.
“iya. apa?”
“tidak ada kak. Aku hanya bercanda?”
Aku menghancurkan segalanya dengan satu kalimat itu. Membuat diriku yang selalu mempertimbangkan segalanya menjadi orang yang putus asa.
“ya udah”
Satu kata yang sangat membuat ku sangat frustasi. Apakah dia tak pernah menganggapku. Atau hanya aku yang merasakan segalanya.
Hampir sebulan kami terus seperti itu. terus bertemu namun dia tetap menganggap ku biasa saja, bahkan untuk memalingkan wajahnya kepada ku saja serasa ada yang menahannya. Sesulit itu kah senyum untuk ku. Aku mulai berpikir apa aku memang hanyalah mainan untuknya atau apalah yang disebut orang.
Dia menjadi sesosok yang berbeda saat bertemu dengan ku dan pada saat mengirimkan message kepada ku.
Hingga malam itu tiba, malam dimana semuanya serasa berbeda, hawa serasa membuat semua bulu kuduk ku merinding bukan karena sesuatu yang tak nampak namun karena dirinya, yang mulai berani mengungkapkan segalanya.
Meskipun senang saat dia mulai bertanya tentang diriku dan perasaan ku tentangnya. Namun aku tak mengerti mengapa tangan dan kakiku sangat dingin. Saat membaca satu kalimat di layar hadapan ku.
“MAU KAH KAU BERSAMA KU?”
Satu kalimat yang mulai kucerna namun belum berani ku pastikan. Yang ku inginkan saat itu segala hal yang berada di benak ku adalah yang terbaik saat itu. Tapii…!!
“aku tak mengerti”
Ku keluarkan kata-kata untuk mengecohnya kalimat yang sulit itu dan membuatnya pasti saat itu juga. Agar tiada lagi panggilan kakak adik yang dapat membohongi perasaan ku hingga detik ini.
“jujur aku sayang kamu, kamu?”
Kubuka lebar-lebar mataku, kuusap mata ku dengan jelas agar aku tak salah saat membaca kalimat itu. Yang kulihat telah tersampaikan di otak ku di cerna dengan batin ku dan kurasakan dengan perasaan ku saat ini. Ku harap semunya akan berjalan dengan bahagia, pikir ku saat itu.
“aku juga seperti itu”
Akhirnya segalanya menyatu. Dan segala hubungan ini telah memiliki status namun kalimat selanjutnya pun berjalan.
“tapi yang kuharapkan hanya kita berdua yang tau. Tak lebih dari itu”
Kenapa?, kenapa hanya kita berdua?, apa alasan kamu? namun bodohnya tangan ini menerima segalanya. Meski pertanyaan masih bergulir di kepala ku namun tetap kulalui, meski menyayat namun tetap ku terima.
Kami pacaran namun tak seperti pasangan lain. Dia hanya bisa berbicara dengan ku melalui perantara. Dia tak pernah menginginkan untuk berbicara langsung bahkan untuk senyum dengan ku tak pernah. Hubungan backstreet?, bukan ini yang ku mau.
Seminggu dia menghidariku, namun aku tetap mengangapnyaa. Tetap mengangap dirinya yang kusayang. Meski sangat pedih namun aku tetap bertahan. Bertahan untuknya dan perasaan ini.
Dia terus menjauh, sangat jauh. Hingga diri ini terus berusaha mendekat dengannya namun ia terus saja menjauh, menjauh dari ku yang masih terus saja mengejarnya, menganggapnya dan merindukannya yang telah berubah menjadi orang lain yang tak pernah ku kenali lagi.
Meski telah jauh namun aku tetap disini, menunggunya kembali melihatku, menunggunya menganggapku kembali meski yang kuharapkan tak ubahnya serpihan harapan yang tak berujung.
Dia datang kembali untuk mengatakan sesuatu, namun yang dia katakan sangat berbanding terbalik dengan yang kuharapkan.
Dia menginginkan untuk mengakhiri segala hal ini, mengakhiri segala hal yang tak seorang pun ketahui. Dapatkah dia ketahui aku sakit, sangat sakit jika ingin memastikan hal yang telah ku lepaskan menjadi tak berarti untuk yang lalu bahkan untuk yang sekarang.
Orang yang sering kuperhatikan sembunyi-sembunyi sekarang menjadi orang lain. Meski dulu tetap menjadi orang lain dan menjadi pacar ku secara sembunyi-sembunyi namun aku yakin ini lah yang terbaik. Ditinggalkan olehnya tanpa kata dari pada bersamanya tanpa senyuman sedikit pun. Dulu aku tak ubahnya sebuah udara yang berharap di genggam namun tak akan pernah bisa. Sesuatu yang sangat mustahil selalu ku inginkan namun sekarang aku mulai berpikir ulang jika dia bukanlah orang yang pantas untuk ku dan mengambil perasaan sayang yang tulus dari diri ini.
Lama kami tak bersama lagi, lama kami tak berbincang lagi baik itu secara langsung secara langsung maupun melalui pesan singkat sekali pun. Aku mulai terbiasa dengan semua itu walau hampir setiap hari aku melihatnya namun aku mulai berusaha untuk membuat itu biasa saja. Meski sulit namun aku terus berusaha. berusaha membuatnya menjadi hal yang biasa saja untuk diri yang juga biasa-biasa saja yang terus mencintai hal-hal yang biasa saja seperti dirinya yang telah menjadi orang biasa untuk hidupku saat ini.
Di saat aku berusaha menjadikannya biasa saja, dia datang kembali. Kembali datang mengungkit hal-hal yang telah lalu. Dan tak tau mengapa aku tak pernah tahan mendengar setiap kata-katanya, aku selalu termakan semua kata-kata yang dia keluarkan, aku dengan mudahnya terpedaya olehnya, terpedaya oleh setiap kata-kata nya. Apa aku bodoh atau mungkin aku terlalu menyayanginya. Aku sendiri tak mengerti diriku. Tak mengerti mana sayang itu mana benci itu.
Semakin dia bicara semakin aku tak berhenti mendengarnya, mendengar segala kata-kata yang tak ku tau apakah itulah hal yang paling jujur atau kah hanya kebohongan untuk mempermainkan diriku untuk kedua kalinya.
Hingga diri ini menyetujui segalanya, menyetujui untuk kembali bersamanya. Walaupun kembali tanpa diketahui orang lain lagi, namun aku tetap menginginkannya. Meski kembali menjadi orang bodoh namun aku terus merasa inilah aku. Diriku yang tak akan pernah lepas dengannya meski sudah berusaha untuk membuatnya biasa saja.
“terima kasih kau bisa bersama ku lagi”
Terima kasih untuk kata-kata itu lagi, meski bodoh namun aku akan terus bersama mu.
Perkataan seseorang mungkin akan lebih berharga jika itu kau ucapkan dengan cara yang tulus dan tanpa kebohongan sedikit pun.
Kebersamaan kami bersama untuk kedua kalinya mungkin lebih lama dari kebersamaan kami yang pertama kalinya, kebersamaan kedua yang kuharapakan tanpa kebohongan sedikitpun ternyata membuatnya kembali menjadi dirinya yang kubenci.
Sudah cukup untuk segala penghinaan yang dia berikan, menjadi dirinya mungkin sangatlah menyenangkan, menyenangkan mempermainkan perasaan tulus ini. hingga segala hal terbuka. Bagaimana tidak aku baru sadar dia seperti ini semua karena aku, karena sesuatu yang dulu ku anggap biasa ternyata sangat melukainya.
“itu semua hanyalah lelucon namun bisakah kamu mengerti perasaan ku”
Ucapku saat pertengkaran itu dimulai
“kamu katakan itu lelucon, sejak awal aku sangat menyayangi mu namun kamu menganggap semuanya lelucon apa itu lucu untuk dirimu. Dan hanya ini yang membuat mu mengerti bahwa aku bukan orang yang kamu kenal dari awal”
Seperti hujaman tajam menghatamku. Sangat sakit, maafkan aku. maaf untuk segalanya.
“maafkan aku”
Hanya itu yang dapat aku katakan. baru bisa menyadari semuanya. maafkan aku. Maafkan aku. Maaf dalam tetesan air mata yang tak berarti. Tak berarti dia mengetahuinya karena akan lebih menyakitkan jika dia tahu namun tak menganggapinya sedikitpun. Tak akan pernah berarti dan akan menjadi sia-sia. Setidaknya air mata itu dapat menghapus kebodohan dan kesalahan ku untuk kisahku dengannya.
Meski kata maaf tak berarti, meski beribu tetesan air mata tak akan berhenti. Aku akan terus mengingatmu, meski sakit namun seribu untaian kata akan selalu mengambarkan dirimu yang telah menjadi pelajaran berharga untuk ku
BY:Annisa Fitriani.B

Bad days :( lulus moderasi cerpen aku

Lembar putih berisi angka-angka ini menatapku dengan sinis dan mengejek. Sementara diriku terpaku tak berkutik di depan lembar yang sudah menanti untuk aku isi. Entah mengapa semua rumus dan hafalan yang telah aku pelajari mati-matian semalam suntuk dengan sekejap menghilang tidak bertanggung jawab. Hal yang ditinggalkan adalah bola mata bengkak nan merah dan kepala nyut-nyutan seakan mesin kekurangan pelumas.
Aku mencoba mengerjakan soal ketiga yang tampaknya lebih bersahabat daripada soal yang lain. Setelah beberapa menit aku mencorat-coret dan memutar otakku 360 derajat. (sebenarnya tidak berputar) akhirnya mulai tampak titik cerah. Walaupun aku tidak yakin 100 %. Mungkin hanya 80 %. Tetapi hal tersebut sudah memberikan harapan cerah dalam otakku.
Kesabaranku tetap aku jaga saat mengerjakan soal terakhir. Tampaknya jawaban soal ini paling dibuktikan dengan beberapa baris longgar untuk mengigi jawaban. Beberapa menit berlalu sia-sia hanya dengan berusaha memahami kalimat soalnya. Akhirnya ku putuskan untuk menggunakan rumus sederhana yang sangat… sangat meragukan. Kemungkinan untuk benar hanya 20 %. Paling nggak mendapat nilai untuk upah menulis daripada kosong tanpa noda.
Otakku kembali kembali berpaut pada soal nomor 1 dan 2 yang tadi aku tinggalkan. Aku heran mengapa 2 soal ini sungguh sulit. Aku mencoba melirik jam tangan kulitku yang terus berdetak terus mengusikku. Masih 15 menit lagi. “Chayooo Risa” ucapku dalam hati. Teman-teman disekelilingku sibuk sekali menulis jawaban yang terlihat berlarik-larik. Tampaknya mereka bisa mengerjakannya. Aku mencoba sekali lagi memahami maksud soal nomor 1 & 2 yang hampir mirip.
Sepertinya seberkas sinar cerah terbesit menyilaukan otakku. Waktu tinggal 5 menit lagi. Jarum yang terus berdetak membuat perasaanku grogi. Entah darimana aku mendapat wahyu. Aku goreskan ujung penaku tepat di kotak kosong untuk mengisi jawaban. Aku mencoba menghitungnya dengan teliti pelan-pelan. Akhirnya goresan terakhir selesai juga tepat saat guru memerintahkan untuk mengumpulkannya. Wajahku lumayan cerah karena nafasku dapat berhembus lega. Paling nggak aku benar 3 soal ucapku pelan.
“Ris gimana ulangannya” tanya Ela teman sebangkuku. Ela anaknya pandai. Ia sering menganggapku sebagai saingannya karena nilai-nilai ulanganku lumayan bagus akhir-akhir ini. Tak jarang ia menatapku dengan sinis.
“Lumayan” jawabku singkat.
Riuh gaduh suasana kelas setelah ulangan apalagi pelajaran Fisika memang biasa terjadi. Banyak anak yang dengan histeris membahasnya untuk sekedar mencocokan jawaban.
“Ris jawaban soal nomor 5 25 Hz kan” tanya Tito cowok endut berkacamata di belakangku dengan nada datar.
Seakan ada batu besar yang dilemparkan tepat mengenai wajahku. Nafasku menjadi berat seakan di sumbat.
“jawaban no. 5” apa maksudnya
“Ehmm so… soal nomor 5” tanyaku ragu-ragu balik bertanya.
“Iya yang tentang frekuensi. Aku sudah mencocokannya ternyata banyak jawaban teman-teman yang sama kayak aku” jawabnya dengan yakin kemudian ia menoleh saat ada yang memanggilnya. Aku masih terpaku memangnya soalnya ada berapa? atau jangan-jangan Tito bohong. Aku memberanikan diri menanyakan pada Ela.
“La… soalnya ada berapa sih?” tanyaku dengan raut bingung.
Mendengar pertanyaanku Ela malah menjadi lebih bingung.
“Lho bukannya soalnya ada 8” Ela memandangi ekspresiku yang tampak begitu terkejut mendengarnya.
Uggghh bodohnya aku!!! berarti ada 4 soal yang telah aku lewatkan. Bagaimana ini… aku sungguh tak berpikir tentang itu. Soal nomor 4 kan berhenti di tengah halaman masak masih ada lanjutanya disebaliknya… aneh sekali.
“Ris jangan jangan kamu nggak dengar pesan Ibu Narti sebelum ulangan kalau masih ada soal lagi yang ketinggalan disebaliknya” tanyanya dengan tatapan menyelidik dan nada yang menggebu-nggebu. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku yang menganga. Ela memandangku dengan wajah menyiratkan syukurin kau!!! Aku mencoba tabah dan membalasnya dengan cengiran kecil yang sungguh sangat dipaksakan.
Keringat dingin mengucur saat membayangkan nilaiku nanti yang tidak lebih dari 5. “Bodoh banget sih aku” umpatku pelan. Aku merasa sungguh menyesal. Andaikan waktu di ulang lagi. Apalagi aku punya prinsip atau lebih tepatnya sugesti. kalau ada 1 saja kesialan yang menghampirku maka kroni-kroni kesialan yang lain akan bertubi-tubi menyerangku. Kau baru ingat kalau sekarang tanggal 7 yang merupakan angka sialku.
Aku membeli 2 buah bengbeng dan 1 teh botol. Kata orang coklat dan teh akan mengurangi rasa stres dan mungkin dengan ini aku dapat menolak kesialan. Aku menyodorkan 1 lembar uang 50 ribuan untuk membayarnya dan bergegas menuju ke arah anak-anak kelasku yang sedang asyik mengobrol di pojok. Suasana kantin begitu ramai hingga berdesak-desakan saat jam istirahat. Maklum saja jam istirahat hanya 10 menit. Aku berjalan hendak menggapai bangku tempat aku menaruh tas.
“GUBRAAAAK” aku jatuh terjembab ke lantai dan semua mata di kantin tampaknya memandang pada 1 arah yaitu ke arahku. Aku tertunduk malu tetapi seketika itu aku terkejut kalau teh botol yang tadinya masih ada dalam genggamanku memnumpahi tas selempang coklat Quicksilverku.
Aku bangkit dengan cepat walaupun lututku teras perih. Dengan panik aku menggapai tasku dan mengeluarkan seluruh barang yang ada didalamnya agar tidak basah. Aku mengabaikan seluruh mata yang masih memandangku dengan tawa yang meledak dan beng-beng peanut manisku yang jatuh ke lantai.
Tawa mereka kemudian mereda beberapa saat dan kembali normal. Tetapi masih aku dengar 1 anak yang masih saja dengan keras menertawaiku membuat wajahku merah padam. Aku sungguh penasaran siapa yang tega menertawaiku di saat kritis seperti ini. Lihat saja suatu saat nanti aku pasti berbalik menertawainya. Aku menoleh mencoba mencari sumber tawa lantang yang masih saja bergaung. Oh tidak apakah aku salah melihat. Aku mencoba megedipkan mataku memastikan si pemilik suara yang tampaknya seorang cowok. Aku memang tidak salah melihat Dika yang menertawaiku. Bahkan ia terus memandangiku layaknya boneka bodoh yang pantas dikasihani.
Dika adalah anak kelas 2.3. ia satu-satunya orang yang aku taksir di sekolah yang mempunyai ratusan murid cowok sampai detik ini. Wajahnya manis, senyumnya lepas tanpa dosa tapi juga menusuk. Wajahku merah padam saat aku berjalan melewatinya. Ia sudah berhenti tertawa dan mengganti topengnya dengan raut simpati. Ia masih memandangiku saat aku berjalan menjauh seakan-akan aku ini alien yang barusan mendarat dari planet mars.
“KRIIING…KRIIINNNG…” Akhirnya bel pulang sekolah yang sejak tadi aku tunggu-tunggu berdering juga seakan penyelamat. Bagaimana tidak aku sudah bertahan selama 2 jam pelajaran dengan lutut perih, beberapa jemuran buku tanpa tali yang berderet di mejaku, dan tas basah berwarna kecoklatan berbau teh yang lengket. Beberap teman yang melewati mejaku bertanya tentang apa yang terjadi padaku. Padahal mungkin sebenarnya mereka sudah tahu. Paling –paling mereka bermaksud mengejekku atau mengingatkanku akan kejadian bodoh tadi. Aku dapat melihat beberapa di antara mereka mati-matian menahan tawa didepanku hingga wajah mereka tampak seperti roti panggang. “Oh this is my bad days or it’s just nightmare”
Aku segera membereskan buku-bukuku yang basah. Setelah meyelempangkan tasku yang lumayan kering aku beranjak keluar kelas. Aku melangkahkan kaki dengan tegas dan dagu ke atas. “aku pasti akan cepat sampai di rumah. Kesialan enyahlah kau” ucapku dengan yakin.
Aku berjalan setengah berlari karena begitu ingin lepas daei jerat kesialan ini. Tetapi ternyata aku juga harus larut dalam desak-desakan dari para siswa yang juga ingin cepat sampai di rumah. Aku berhasil melewati 2 anak berbadan besar yang jalanya lambat membuatku tidak sabaran. Koridor 1,5 m ini memang terasa sempit bila jam pulang sekolah. Di depanku ada beberapa cowok yang berjalan dengan santai. Mereka sungguh menjalani jalanku. Aku tahu dari cara jalan mereka kalau mereka hanya ingin tebar pesona sambil mendrible bola basket orange. ingin ku terlarut dalam tubuh mereka yang tinggi dan atletis tapi aku sadar kalau aku harus cepatcepat pulang. Aku mencoba mencari cara melewati mereka tanpa harus menubruk dan bilang permisi. Ada jalan kosong yang panjangnya 15 cm di tepi koridor yang sampingnya ada selokan lebar dan cukup dalam. “Biasanya aku paling ahli dalam hal seperti ini” kataku dalam hati menyombongkan diri.
“ARRGhhhhh” teriaku cukup keras membuat beberapa orang disekelilingku memandangiku. Kaki kananku jatuh terjembab dalam selokan yang ternyata basah. Apalagi rok abu-abuku nyaris saja tersibak. Aku dapat merasakan denyutan rasa perih dilututku yang tadi juga barusan jatuh. “HUAHAHAHAHA” lagi-lagi ada beberapa anak yang menertawai kebodohanku. Tampaknya ku jadi “Miss jatuh” untuk hari ini. Rona merah masih menghiasi pipiku tetapi aku tidak perduli. Aku mencoba mengangkat kakiku tapi rasanya sungguh perih sampai akhirnya ada seseorang yang mengulurkan tangannya membantuku naik. Dengan senang hati aku menggengamnya dan akhirnya kaki kananku bisa naik ke atas. Aku meringis saat melihat lututku yang berwarna seperti ubi, berdarah walau tidak terlalu banyak.
“Terimakasih” ucapku pada seseorang yang menolongku tadi. Mataku terpaku sesat keempat mata kami bertemu dan dengan erat dia masih memegang tanganku. Bola matanya indah berbingkai alis tebal yang tampaknya sangat aku kenal. Lagi-lagi Dika dialah yang menolongku. Kali ini dia tidak tertawa tapi tersenyum padaku. Mungkin senyuman itu ikhlas atau ada siratan mengejek. “Tentu, sebaiknya kamu segera ke UKS” ucapnya saat memandangi luka di lututku. Ia melambaikan tangan kanannya saat berjalan menyusul teman-temannya yang sudah berjalan jauh di depan.
Cause you had a bad day
You’re taking one down
You sing a sad song just to turn it around
You say you don’t know
You tell me don’t lie
You work at a smile and you go for a ride
You had a bad day
You see what you like
And how does it feel, one more time
You had a bad day
Nyanyian lagu Daniel Powter itu mengalun indah seakan menyindirku. Aku terpaku mendengarnya saat lagu itu mengalun mengingatkanku, tepat saat aku meyalakan radio silverku. Tanpa disadari aku telah melakukan perjuangan berat dan panjang seharian ini setelah kroni-kroni kesialan bergerilya menyerangku. Paling sekarang aku sudah di rumah dan mereka sudah tidak mengejarku.
Seperti biasa ku hendak melepas seragam sekolahku, berganti pakaian. Aku hendak mengambil uang 45.000 rupiah sisa aku jajan dan memasukannya ke dompet. Seakan ada ombak yang mengempas saat ingatanku tersadar. Aku belum meminta uang kembalian.
BY:Annisa Fitriani.B

Cerbung Part 4 Sekeping Cerita Alya

Pagi ini mentari tidak mencerahkan langit dengan kilaunya yang menyilaukan mata. Sudah tiga hari ini cuaca di kawasan Jakarta Selatan ini di rundung mendung. Mendung biasanya mempengaruhi mood seseorang. Namun tidak dengan gadis yang satu ini. Ia tetap bersenandung sambil membereskan tempat tidurnya. Sesekali ia menari mengikuti irama musik yang sedang diperdengarkannya. Kemudian ia berhenti melakukan aktivitasnya, lalu tersenyum. Karena seseorang yang begitu sempurna dimatanya menelepon.
“Hai, Alya. Udah bangun kan?” sapa seseorang di ujung telepon.
“Ah, Biyan garing deh! Kalau teleponnya aku angkat ya berarti udah bangun dong!” jawab si gadis dengan cemberut membuat wajahnya terlihat semakin imut saja.
“Hehe namanya juga basa basi doang, dear. Udah mandi belum? Kayanya belum nih. Soalnya masih bau naga gitu deh hehe..”
“Biyan! Rese ah! Aku tutup ya teleponnyaaa..” ancam si gadis. Padahal dirinya masih ingin sekali mendengar suara pujaan hatinya. Sudah satu minggu Biyan tidak menghubunginya karena sedang sibuk mengurus pesta pernikahan yang kedua bagi ayahnya dengan seorang wanita cantik.
“Jadi ngga kangen nih sama aku? Kalau ngga kangen sih ya udah, tutup aja, dear.” di seberang sana Biyan mencoba menahan tawanya.
“Aku ngga kangen sama kamu, Biyan Nugraha. Karena aku kangeeen bangeet sama kamu..” jawab Alya dengan manjanya.
Biyan yang mendengar perkataan gadisnya membuat ia tersenyum kecut. Terasa ada lubang hitam yang menghatam hatinya. Di ujung matanya terlihat sebutir air bening yang hendak menuruni pipinya. Entah mengapa perkataan Alya membuatnya merasa sedih. Kemudian Biyan hanya terdiam.
“Mmm, babe, are you okay? Kok ngga ada suaranya?” tanya Alya yang langsung menyadarkan Biyan.
“Eh uhm eeeng i-iya aku b-baik kok. Ini ada suaranya kan hehe”
“Kamu ada masalah ya? Cerita dong sayang…”
“Kalau ada masalah, pasti aku langsung ceritanya dong, dear.”
Bagaimana mungkin aku bercerita padamu, Alya. Kalau ternyata kau-lah masalahnya. Kata-kata tersebut tidak berhasil keluar dari mulut Biyan dan hanya bersemeyam dalam benaknya. Obrolan pun berlanjut hingga dua jam lebih. Selama dua jam Biyan mencoba menyembunyikan perasaannya. Selama itu pula Alya merasa ada yang tak wajar dengan kekasihnya.
“Biyan, kamu udah cerita sama Alya kalau ayahmu mau nikah?” tanya seorang wanita cantik kepada ‘calon’ anaknya.
“Uhm, udah sih. Tapi dia kan ngga tau calonnya siapa.” jawab Biyan dengan enggan. Topik inilah yang sedang ia hindari akhir-akhir ini.
“Kenapa? Nanti kalau dia marah gimana?” tanya si wanita dengan penuh kebingungan.
“Paling aku sama dia putus, Tan. Yang penting ayah bahagia kan, Tan? Udah ah, ngga usah dibahas lagi.” Biyan pun pergi meninggalkan si wanita yang masih merasa kebingungan akan keadaan ini.
“Kak, bunda pulang kapan sih?” tanya gadis berambut ikal kepada kakaknya yang sedang termenung.
“Biyan kok aneh ya…” jawaban yang keluar dari bibir mungil si gadis tidak membuat gadis ikal puas.
“Kak Alya! Andara nanya bunda pulang kapan malah ngomongin Kak Biyan. Bunda pulang kapan sih kaaak?”
“Eh, maaf. Kakak ngga dengar suara kamu, Dara. Ngga tau nih, udah seminggu bunda ngga pulang juga. Nanti kakak coba telepon bunda deh ya..”
“Coba ayah masih sama bunda.. Pasti kita ngga tinggal berdua kalau bunda lagi pergi.”
Perkataan adiknya membuat Alya tersentak. Orang tuanya sudah bercerai sejak Andara masih berumur empat bulan dalam kandungan. Hakim memutuskan Alya yang berumur dua tahun dan Andara diharuskan tinggal bersama bunda dan dua orang kakaknya harus tinggal bersama ayah. Tidak adil. Karena Alya sangat dekat dengan ayahnya sedangkan kedua orang kakaknya dekat dengan bunda. Kata-kata adiknya tadi membuat serangkaian kisah di masa kecil yang sudah memudar hadir kembali. Lalu yang ada hanya rasa marah.
“Kamu itu ngga pernah kenal ayah! Jangan sok merasa paling tahu tentang ayah! Ada atau ngga ada ayah hidup kita pasti selalu sepi!” Alya membentak adiknya dengan keras. Ayahnya yang berprofesi sebagai koki di kapal pesiar ternama membuat ia tidak memiliki waktu yang cukup banyak untuk keluarganya.
Andara terdiam. Ia memang tidak pernah tahu ayahnya seperti apa. Yang ia ketahui hanya foto usang yang tersimpan di gudang yang mengabadikan potret ayah, bunda, Alya, dan kedua kakaknya yang lain. Tak lama ada suara isakan. Andara menangis. Alya yang mendengar isakan adiknya, merasa bersalah. Tanpa ucapan apa-apa, ia memeluk gadis yang berada di sampingnya.
“Maafin kakak. Kakak juga sebenarnya tidak terlalu tahu tentang ayah. Cuma dua tahun kakak bisa mengenal seorang ayah. Maaf ya, Dara. Kakak salah udah ngebentak kamu.” Dara menjawabnya dengan anggukan kepala. Di luar sana hujan turun dengan derasnya. Hujan juga sedang turun di kedua hati kakak beradik yang terduduk di sofa ruang keluarga.
“Hendra, kamu siap menerima akibatnya?” bisik wanita paruh baya ke telinga lelaki yang bernama Hendra.
“Kalau aku tidak siap, tidak mungkin aku mempersiapkan pernikahan ini dengan sebaik mungkin, Tantri.” jawab Hendra dengan penuh keyakinan.
“Tapi kau lupa bagaimana perasaan anak-anak. Maksudku, anakku. Anakmu tentu sudah tahu tentang segalanya. Tapi Alya? Aku tak sanggup menyakitinya…”
Hendra terdiam. Keyakinannya langsung luntur seketika saat mengingat sosok Alya. Kanya Alyaria, gadis cantik berbibir mungil yang merupakan kekasih anaknya, Biyan. Biyan sengaja ia percayai sebagai penanggung acara pernikahannya dengan wanita cantik akhir bulan ini. Biyan yang awalnya tidak mengetahui calon ayahnya, biasa-biasa saja. Karena yang terpenting baginya adalah kebahagiaan ayahnya. Namun, ia begitu tak menyangka bahwa harus wanita ini yang menjadi ibunya kelak.
“Akan aku pikirkan lagi.” jawaban singkat yang terlontar dari Hendra tidak membuat Tantri puas.
“Aku ingin kau bahagia, tapi aku tak ingin menyakiti perasaan anakku sendiri, Hendra! Kau tak tahu seberapa dalam perasaan Alya terhadap Biyan! Lalu tiba-tiba saja kita menghancurkannya..” Tantri pun terisak. Ia tak sanggup lagi mengatakan apa-apa.
Hendra memeluk Tantri dengan erat. Ia amat menyayangi wanita ini. Namun tak ingin pula menyakiti Alya. Disaat Hendra merasakan dilema yang begitu hebat, seseorang mengintip mereka yang sedang berpelukan.
“Ayah, kok ngintip ke ruangan itu?” tanya Tania kepada ayahnya.
“Eh, ngga kok. Cuma ngga sengaja aja ngeliat ke ruangan itu.”
“Ah, ayah ngeles aja. Oya, ayah. Menurut ayah, bagaimana cara menyampaikan pernikahan ini kepada Alya?”
Ayahnya terdiam. Pikirannya buntu.
Hampir seminggu Alya tidak keluar kamar. Semenjak ia pulang dari pesta pernikahan calon mertuanya ia menangis habis-habisan. Betapa terkejutnya ia saat Biyan memberi tahu mempelai wanitanya siapa. Tania Sugandi. Kakak kandungnya yang tinggal bersama ayahnya. Pantas saja bunda menghilang selama seminggu. Ternyata bunda mempersiapkan pernikahan sahabatnya ini. Ya, bunda dan ayah Biyan sudah bersahabat sejak kecil. Lalu, status ia dengan Biyan apa? Kakaknya menikah dengan ayahnya Biyan. Berarti, calon mertuanya sekarang menjadi kakak iparnya. Dan Biyan… keponakannya? Hancur sudah segala asa harapan yang dirakit bertahun-tahun bersama Biyan. Lalu terasa seperti ada lubang hitam yang menyedot Alya masuk ke dalamnya. Ini adalah kepingan hidup Alya yang terkelam yang pernah ia lalui.
BY:Annisa Fitriani .B

Cerbung part 3 ONLY HOPE

Ini bukan hanya tentang cinta, tapi harapan yang berpilin sebagai doa di langit-Nya.
“Terima kasih Ya Alloh karena masih memberiku kesempatan melihat sang bintang harapan di tiap pagiku. Dan untukmu penjajah hatiku, selamat pagi.”
Begitu biasa Dinara memulai harinya di tiap pagi sebelum beraktifitas. Dua kalimat di awal rutinitas harinya itu telah menjadi suatu hal yang hampir tak pernah dia lupakan semenjak lima tahun terakhir. Seperti itu pula dengan hari ini.
Baginya, tiap hari terasa indah. Penuh dengan harapan dan optimisme. Kenapa? Karena ada dia. Karena ada cinta dihatinya. Gana, sang penjajah hatinya. Lelaki itu telah menjadi pangeran dalam hatinya selama hampir lima tahun ini. Sosoknya seperti telah begitu menyatu dalam jiwanya hingga dia tak bisa lagi berpaling pada lelaki lain. Bagi Dinara, Gana adalah seorang lelaki yang luar biasa. Gana adalah instrumen terpenting dalam hidupnya.
Konyol sekali kedengarannya. Tapi begitulah dia mencintainya, mencintai Gana. Ah bukan, menggilainya tepatnya. Dinara tak peduli jikapun orang menganggapnya bodoh karena cinta itu. Dia hanya senang seperti itu. Dan selama hampir empat tahun terakhir, Aivi lah yang tahu kegilaan Dinara itu. Aivi adalah sahabatnya sejak dia masuk kuliah hingga mereka baru saja lulus kuliah saat ini. Meski begitu, Aivi tak pernah tahu lelaki mana yang sebenarnya dicintai sahabatnya selama ini. Ia hanya tahu kalau Dinara mencintai seorang lelaki bernama Gana. Itu pun entah pasti atau tidak.
“Kau melamun? Dia lagi?” tiba-tiba Aivi menepuk pundak Dinara, membangunkan ia dari lamunannya yang sedang berpetualang ke negeri antah berantah, mencari sesosok pangeran yang ia rindukan. Aivi lalu duduk di samping Dinara sambil memperhatikan orang lalu-lalang di taman kota. Hari minggu pagi memang jadwal rutin mereka pergi ke taman kota.
“Hah, kau tanya apa Vi?” Dinara melongo.
“Emm benar tebakanku! Sampai kapan Gana akan membuatmu seperti ini?!” ujarnya.
“Seperti ini? Memangnya aku kenapa? Aku baik-baik saja.”
“Yah, mudah-mudahan memang benar kau tak apa-apa. Jangan sampai gara-gara dia, kau menutup mata dari kenyataan.”
“Maksudnya?” Tanya Dinara heran.
“Iya, bukankah kenyataannya kalian memang tidak pernah ada hubungan apa-apa? Dan entah perasaan seperti apa yang membuatmu begitu menggilainya. Cinta, penasaran, atau hanya obsesi?”
Jleb. Hati Dinara bergetar mendengar perkataan Aivi itu. Ia tidak tau kenapa, ada rasa sakit yang mengiris hatinya. Ia ingin menangis mendengarnya. Tapi, sebisa mungkin ia mencoba untuk tidak meneteskan air mata. Pilu rasanya.
“Di, kau baik-baik saja?” Aivi menatap Dinara dengan raut khawatir.
“Mmh. Iya.” Dinara mengangguk. Tapi ia bohong. Hatinya sama sekali tidak baik. Baginya perkataan Aivi itu adalah suatu pukulan maha dahsyat yang langsung menyadarkannya akan suatu ketidakpastian.
Batinnya menangis. Menyedihkan sekali rasanya. Benar kali ini ia terluka. Ini kenyataan. Aivi telah membangunkannya dari mimpi-mimpi itu. Tapi, Dinara tidak bisa jujur pada dirinya sendiri. Dinara tidak ingin mengiyakan apa yang telah Aivi katakan.
Lima tahun mencintai Gana dengan caranya sendiri rasanya cukup membuat ia hampir gila. Tapi, Dinara sangat menyenangi kegilaannya itu. Ia tak bisa dengan mudah kembali sadar dan melepaskan cintanya.
Dinara hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari bibirnya yang kelu itu. Ia hanya sedang berpikir saat ini. Berpikir tentang kata-kata Aivi tadi. Berpikir tentang dirinya, Gana dan perasaannya. Dan juga berpikir tentang sahabatnya itu, Aivi.
- Kenapa Aivi bisa berkata dan berpikir seperti itu? Kenapa baru sekarang dia berkomentar seperti itu setelah beberapa lama kami bersama? Apa dia telah begitu jengah dengan kegilaanku itu hingga dia bepikir seperti itu? Atau apakah memang cintaku pada Gana begitu salah di matanya? Kenapa? -
Dinara merasa heran pada sahabatnya itu. Batinnya terus bertanya-tanya. Dinara merasa tak ada yang salah dengan perasaannya pada Gana. Ia hanya ingin mencintai seseorang seperti itu. Ia hanya ingin jadi seorang Dinara yang dengan segenap cinta dan doanya berhasil menjaga hatinya hanya untuk seorang Gana saja.
- Lalu kenapa Aivi membuatku terlihat begitu menyedihkan? Hei, aku tak pernah merugikan siapapun dengan perasaanku itu. Pun aku tak pernah merasa dirugikan sedikitpun oleh cintaku itu. Lagipula, aku yakin Gana tak pernah keberatan dengan keberadaan hatiku yang tak pernah menjamahnya sedikitpun. Tak pernah pula aku berusaha menyentuh hati Gana. Aku hanya mencintainya dari sudut terindah yang bisa kurasa, dengan tetap membiarkan Gana aman dan nyaman dalam dunianya sendiri. Lalu, apa yang salah? -
Aah, Dinara tidak bisa berpikir terlalu banyak lagi. Hatinya masih ngilu. Mungkin Aivi hanya terlalu sayang padanya. Iya mungkin begitu.
Satu hari, dua hari, tiga hari, beberapa hari berlalu. Hari-hari Dinara berlalu seperti biasa. Tapi, hari-harinya jadi terasa menjemukan sekarang. Entah kenapa. Ia merasa kehilangan sedikit kebebasan untuk merasakan dalam-dalam getaran cintanya pada Gana. Yah, semenjak Aivi melontarkan ‘unek-uneknya’ tentang kegilaannya itu, Dinara merasa sedikitnya ada yang membatasi kebebasannya. Tapi, mungkin saja Aivi benar.
Ia sama sekali tak marah pada sahabatnya itu. Tidak. Sungguh. Ia hanya merasa perlu waktu yang lama – entah seberapa lama – untuk mencerna perkataan Aivi lalu kemudian memahaminya. Dinara merasa apa yang dikatakan Aivi memang benar, yakni antara dia dan Gana tak sedikitpun ada hubungan apa-apa, tapi apakah salah jika ia mencintai Gana dengan caranya sendiri? Hanya itu.
To be only yours, I pray, To be only yours… I know now you’re my only hope
Suara merdu Mandy Moore melengking indah dari ponsel Dinara. Nada dering untuk panggilan masuk. Dinara membuka flap ponselnya.
“Di.. hallo.. kau baik-baik saja?”
“Hallo.. assalamualaikum Aivi. Tak biasanya kau menelpon. Ada apa?”
“Eh, waalaikumsalam. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tanya, apa kau sudah melupakannya?”
Deg. Apa? Apa yang baru saja Aivi tanyakan? Dinara benar-benar kaget mendengarnya. Sungguh. Tak semudah itu melupakannya, Aivi. Dinara berkata-kata dalam hatinya. Belum sempat ia menjawab, Aivi sudah nyerocos di ujung sana.
“Kau harus melupakannya. Sudah cukup Di. Cinta itu bisa merusakmu, melenakanmu. Kau harus melupakannya. Ah, Ya Alloh. Bagaimana caranya menghentikanmu? Apa sesulit itu? Sungguh. Kumohon lupakan dia. Kau harus memulai semuanya dari awal. Bukalah mata dan hatimu Di. Lupakan dia.”
- Ya Alloh. Kenapa Aivi bersikap seperti itu? Kenapa? Apa dia tak tahu kalau yang ia katakan membuatku sakit. Benar-benar membuatku sakit. Sungguh. Tak semudah itu. -
“Hallo.. Di? Kau masih di sana? Kau baik-baik saja?”
“Mmh. Aku akan mencobanya.” Dinara menjawab sekenanya.
“Bagus. Aku selalu ada untukmu. Sudah ya. Assalamualaikum.”
Tut. Sambungan terputus. Waalaikumsalam. Dinara mendesah pelan. Ia masih memegang ponselnya. Lagi-lagi dia merasa sulit untuk mencerna dan kemudian memahami apa yang sudah Aivi katakan barusan. Selalu begitu. Logikanya selalu berfungsi lebih lambat dibandingkan perasaannya. Ia hanya bisa meneteskan air mata. Rasa sakit – tentu saja rasa sakit yang diakibatkan oleh perkataan Aivi tempo lalu – yang sudah hampir bisa ia lupakan, kini kembali hinggap di hatinya.
- Ya Alloh.. apa selama ini aku terlihat seperti orang tak waras? Kenapa Aivi bersikeras bersikap seperti itu? Apa dia sudah benar-benar jengah melihat kegilaanku itu? Ya Alloh.. apa yang salah dari semua yang aku rasakan selama ini? Dan apa? Aivi berkata kalau cinta ini bisa merusakku, melenakanku? Tidak. Sama sekali tidak. Cinta ini justru menguatkanku. Mengubahku menjadi lebih baik. Memberiku harapan di setiap hariku. Memberiku nafas untuk tetap bertahan dalam kesendirian. Memberiku semangat dalam menghadapi berbagai masalah hidup. Dan yang terpenting, cinta ini selalu mendekatkanku pada-Mu. Ya Alloh.. apa Aivi tak tahu semua itu? Melupakan Gana bukanlah hal yang mudah dan memang bukan hal yang aku inginkan. Tidak sama sekali. -
Pandangan Dinara kabur. Ia bukan hanya meneteskan air mata, tapi menangis sesenggukan. Ia memegang dadanya. Ada yang sakit di sana. Benar-benar sakit. Ia melangkah menuju meja belajarnya. Ia lalu membuka tas yang tergeletak di sana. Direngkuhnya sebuah sapu tangan kotak-kotak biru muda. Ada tulisan kecil di salah satu sudutnya. Gana.
- Apakah aku benar-benar harus melepaskan semua perasaanku padamu? Apakah aku tak boleh lagi mencintaimu – meski pastinya kau tak pernah tahu hal itu? Apakah aku harus mengubur dalam-dalam semua harapanku tentangmu? Tapi, aku benar-benar ingin bertemu denganmu. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Meski hanya untuk satu kali lagi. Meski hanya untuk beberapa detik saja. Itu tak apa. Sungguh. Aku hanya ingin berterima kasih padamu, Gana. Berterima kasih untuk semuanya. Ya. Aku belum sempat melakukan itu. -
Dinara bergumam lirih sendirian. Didekapnya sapu tangan itu erat-erat. Lalu, pikirannya beralih ke suatu malam, lima tahun silam. Saat ia masih berusia tujuh belas tahun. Saat ketika ia belum seperti sekarang. Saat dimana satu hal berhasil mengubah hidupnya.
Saat itu, Dinara tengah berjalan sendirian ketika seorang om-om mencoba merayunya untuk ikut bersamanya. Bagaimanalah om-om itu tidak bersikap demikian, penampilan Dinara saat itu lebih mirip dengan wanita malam. Ditambah pula ia berjalan sendirian di kala malam telah sepenuhnya pekat. Mana ada wanita baik-baik keluyuran tengah malam dengan penampilan seperti itu coba?
Dinara mati-matian menolak – karena memang dia toh bukan wanita malam yang dikira om-om itu -, sementara si om-om mati-matian memaksanya. Dinara berteriak meminta tolong. Dan di saat itu, seorang pemuda – yang entah kebetulan lewat atau memang telah sengaja dikirim Tuhan – mendekati Dinara yang sedang berusaha melepaskan diri dari si om-om.
“Tolong lepaskan dia Pak. Dia ini adik saya. Dia wanita baik-baik dan bukan wanita seperti yang Bapak kira. Sungguh Pak, dia wanita baik-baik. Hanya saja, dia belum cukup dewasa. Tolong jangan ganggu dia Pak. Bapak akan menyesal jika melakukannya.” Pemuda itu berkata dengan nada memohon pada si om-om. Si om-om yang entah kenapa merasa percaya dengan yang dikatakan pemuda itu langsung melepaskan Dinara. Ia bergegas meninggalkan tempat itu sambil bersungut-sungut, “Urus adikmu itu. Mungkin lain kali ia tak akan selamat jika masih seperti itu.” Pemuda itu hanya mengangguk.
Suasana malam itu begitu sunyi dan lengang. Dinara yang merasa shock dengan kejadian itu menangis sesenggukan di tepi jalan. Pemuda itu menghampirinya dan mengeluarkan sehelai sapu tangan dari dalam saku celananya dan mencoba menenangkan. Dia kemudian membawa Dinara ke dalam mobilnya dan mengantarkan Dinara pulang. Ia lalu menanyakan alamat gadis itu. Tak berapa lama, mobil pemuda itu sampai di depan sebuah rumah mewah. Rumah Dinara. Mereka berdua lalu turun dari mobil itu.
“Aku bukan wanita seperti itu.” Ujar Dinara yang masih menangis.
“Om-om tadi atau pria manapun pasti tidak akan berani mengganggumu jika kau tak keluyuran tengah malam begini dan penampilanmu tak seperti itu. Tapi, aku percaya kau wanita baik-baik. Sungguh.” Pemuda itu kembali ke mobilnya. Meninggalkan Dinara yang masih terpaku. Mobilnya melesat menjauh dari hadapan Dinara.
Dinara tersadar. Dia melihat sekeliling dan mendapati ia sendirian disana. Lalu, dia melihat sapu tangan di genggaman tangannya. Sapu tangan kotak-kotak biru muda. Pandangannya tertuju pada tulisan yang dijahit dengan benang hitam di salah satu sudut sapu tangan itu. Gana. Hatinya berdesir halus ketika mengingat pemuda yang baru saja menolongnya itu. Pemuda baik hati yang sama sekali tak dikenalnya.
Sejak saat itu, Dinara berubah. Gaya hidupnya, penampilannya, tingkah lakunya, tutur katanya, pemikirannya. Semuanya berubah menjadi lebih baik. Sungguh, kekuatan cinta yang begitu indah. Bertahun-tahun ia selalu berharap suatu saat bisa bertemu kembali dengan pemuda yang telah menyelamatkan hidupnya itu. Ia selalu ingat kalau ia belum sempat berterima kasih pada pemuda itu, hingga saat ini.
To be only yours, I pray, To be only yours… I know now you’re my only hope
Panggilan masuk. Bayangan masa lalu itu kemudian memudar. Dinara menyeka air matanya. Lalu ia membuka flap ponselnya.
“Assalamualaikum Aivi. Kenapa lagi?”
“Waalaikumsalam. Aku lupa memberitahumu Di. Minggu depan, datanglah ke rumahku. Ada syukuran. Oya, aku akan mengenalkanmu pada seseorang. Seseorang yang sangat aku sayangi. Emm kau pasti menyukainya. Ah hati-hati, kau bisa mencintainya. hehe”
“Kenapa?”
“Ya, karena dia memang pantas disukai, dicintai. Sudah ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Dinara menghela nafas. Akhir-akhir ini ia lebih sering menghela nafas. Entah kenapa. Tiba-tiba ia teringat percakapannya dengan Aivi barusan.
- Mengenalkanku pada seseorang yang sangat ia sayangi? Menyukainya? Mencintainya? Siapa? Syukuran? Ah, iya. Jangan-jangan Aivi akan dilamar. Seseorang yang ia maksud adalah calonnya barangkali. Iya. Begitu sepertinya. Tapi, kenapa dia tak pernah bercerita sebelumnya padaku? Ah, sahabat macam apa aku ini? Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan Aivi selama ini. Mungkin, karena aku terlalu sibuk dengan kegilaanku itu. Ya Alloh.. Aivi, maafkan aku. -
Seminggu berlalu begitu cepat. Tapi, bagi Dinara waktu jadi terasa begitu lambat. Itu karena perasaannya sedang begitu tak menentu. Yah, begitulah.
Dinara sudah sampai di depan rumah Aivi. Banyak mobil berjejer di sana. Sepertinya, semua keluarga besar Aivi sedang berkumpul untuk acara syukuran itu.
Dinara melangkah masuk ke rumah besar itu. Pandangannya langsung tertuju ke dalam rumah. Banyak orang di dalam sana. Dan, Ya Alloh.. jantung Dinara hampir berhenti berdetak. Nafasnya tiba-tiba sesak. Ia melihat Aivi di sofa ruang tamu. Tapi, perhatiannya bukan tertuju pada sahabatnya itu, melainkan pemuda tampan di samping Aivi. Pemuda itu, Dinara yakin pernah melihatnya. Ya, bagaimana mungkin ia lupa? Tapi, kenapa pemuda itu ada di sini? Dan.. dan.. pemuda itu terlihat begitu dekat dengan Aivi. Apa mungkin? Dinara tiba-tiba langsung memegang dadanya. Ada yang menggerogoti hatinya lagi. Dan kali ini lebih sakit dari sebelumnya.
- Bagaimana mungkin seperti ini Ya Alloh? Kenapa harus Aivi? Kenapa Aivi harus bersama Gana? Dan, mereka terlihat benar-benar akrab. Mereka sedang bercanda. Aivi tersenyum, tertawa. Itu sempurna ekspresi bahagia dari Aivi. Bagaimana mungkin? Ya Alloh. -
Dinara masih mematung di depan pintu. Kakinya lumpuh seketika. Matanya perih. Sungguh perih. Tapi, bagaimanalah ia akan menangis di saat seperti itu? Beribu pertanyaan menyesaki benaknya satu per satu.
- Apakah ada yang pernah merasakan ketika senyuman orang lain nyatanya justru membawa luka di hati kita? Aku pernah. Apakah ada yang pernah merasakan ketika tawa orang lain tak sadar justru membuat air mata kita terjatuh? Aku pernah. Apakah ada yang pernah merasakan ketika kebahagiaan orang lain sebenarnya tidak – sama sekali tidak-membuat hati kita bahagia juga? Aku pernah. Ya. Aku pernah merasakan itu semua. Di sini. Saat ini. Entah perasaan macam apa namanya. Yang jelas, ini sungguh menyakitkan. -
“Dinara.. kau sudah datang? Ayo sini.” Suara Aivi tiba-tiba menyadarkan Dinara yang sedang terpaku. Aivi menghampiri Dinara dan membawanya masuk. Entah kenapa, Dinara merasa sulit untuk melangkahkan kakinya. Dengan enggan akhirnya ia menapakkan kakinya selangkah demi selangkah. Mereka lalu duduk tepat di hadapan pemuda itu. Pemuda itu tersenyum manis pada Dinara. Hati Dinara semakin ngilu.
“Bagaimana, kau menyukainya bukan?” ujar Aivi sambil menepuk pundak Dinara. Dinara tak berani menjawabnya. Andai saja Aivi tahu, pemuda itu adalah pangeran hati Dinara selama lima tahun ini.
“Bagaimana, kau menyukainya bukan?” Aivi melontarkan kembali pertanyaan yang sama. Namun, kali ini bukan pada Dinara. Melainkan pada pemuda di hadapannya. Pemuda itu hanya tersenyum. Wajahnya memerah. Dinara masih tak mengerti.
“Namanya Rida Lenggana. Dia saudara sepupuku. Ah, kau pasti tak ingat? Ya, mana mungkin. Selama ini kau sibuk dengan Gana mu itu. Bukankah aku pernah menceritakannya padamu beberapa kali? Rida, saudara sepupuku yang sejak lima tahun lalu kuliah di Turki dan sudah punya pekerjaan tetap di sana. Ya ampun Di, kau benar-benar tak pernah mendengarkan ceritaku sepertinya.”
Seperti biasa, Aivi nyerocos tanpa memperhatikan respon si pendengar. Sementara itu, Dinara merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia masih juga tak bersuara.
- Sepupu? Bukan calon suami? Ya ampun, kenapa aku begitu cepat menyimpulkan? -
“Kau tahu Di? Aku sangat menyayanginya. Dia lelaki baik dan pantas mendapatkan yang baik pula. Dulu dia pernah menyukai seorang wanita yang ditemuinya suatu malam di jalan kota. Dia bilang dia tak bisa melupakan gadis itu. Tapi, untunglah Rida tak sepertimu yang sulit sekali melupakan Gana. Dia langsung menyukaimu ketika pertama kali aku menunjukkan fotomu empat tahun lalu. Dia semakin menyukaimu sewaktu aku bercerita banyak tentang kau. Setiap kami berkomunikasi, dia selalu menanyakan kabarmu dan memintaku bercerita tentangmu, semua hal tentangmu. Tapi, dia melarangku memberitahumu. Dia ingin agar kau tetap seperti itu, menggilai Gana. Dia tak ingin mengusik kegilaanmu itu katanya. Tapi sewaktu dia pulang dari Turki minggu lalu, dia akhirnya memintaku untuk mengenalkanmu langsung padanya. Karena itu aku bersikeras menginginkankau melupakan Gana. Aku pikir, kau pasti akan menyukai sepupuku ini. Kalian sangat cocok.”
Dinara masih diam. Tapi, kali ini rasa sakitnya berangsur hilang. Tergantikan oleh perasaan yang entah apa namanya. Bahagia, terharu dan apalah itu. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mungkin ini terjadi? Sementara itu, pemuda di hadapannya bersemu merah.
“Aku suka nama Gana. Aku ingin dipanggil begitu. Sungguh. Ah, tapi tak ada yang tahu hal itu. Semua orang malah memanggilku Rida.” Pemuda itu terdiam sesaat. Lalu dengan terbata ia melanjutkan. “Emm.. Apa.. apa kau mau ikut bersamaku ke Turki? Tentunya, setelah kita menikah di sini.” Pemuda bernama Rida Lenggana itu baru saja mengucapkan kata-kata yang sudah lama ingin ia sampaikan pada gadis dihadapannya. Gadis yang sudah ia sukai sejak pertama kali bertemu lima tahun lalu di suatu malam ketika ia menikmati malam terakhir di kota kelahirannya sebelum ia berangkat ke Turki. Perasaan lega, cemas dan bahagia bercampur aduk di hatinya.
Dinara tak kuasa menahan air matanya terjatuh kali ini. Biarlah semua orang melihat ia menangis saat ini. Karena toh selama ini tak ada yang tahu bagaimana ia menangis dalam kesendiriannya, bagaimana ia menangis menahan semua perasaannya, bagaimana ia menangis di setiap harapan yang ia panjatkan dalam doa-doanya. Biarlah.
Dinara mengeluarkan sapu tangan kotak-kotak biru muda bertuliskan nama Gana – yang selalu ia bawa kemanapun – dari tas tangannya. Sambil mengangguk ia berikan sapu tangan itu pada pemiliknya. “Terima kasih, untuk semuanya.” Ujarnya lirih sambil berurai air mata. Pemuda itu tersenyum saat menerima kembali sapu tangan miliknya.
Aivi melongo melihat pemandangan di hadapannya. “Ya ampun, jadi selama ini?”
Dan ketika harapan yang kita panjatkan dalam setiap doa-doa kita tak langsung dijawab-Nya dengan kata Ya atau Tidak, maka sesungguhnya Ia menjawab, “Tunggu, Aku akan berikan yang terbaik untukmu pada waktunya.”
Clarified BY:Annisa Fitriani.B