Hari-hari yang kujalani semakin lama semakin suram. Aku dan sahabatku
sedang bertengkar akibat kesalah pahaman. Ia mengira Aku sudah tidak
memerhatikannya lagi dan Aku sudah tidak menganggapnya sebagai sahabat.
Padahal… Aku sama sekali tidak seperti yang dia tuduhkan kepadaku.
Hampir setiap hari… Aku mengirim E-Mail kepadanya. Menjelaskan bahwa Aku
benar-benar tidak seperti yang dia pikirkan. Namun, semua E-Mail yang
ku kirim padanya, tak ada satu pun yang ia balas. Sungguh, Aku merasa
sangat tidak nyaman. Sahabatku… menganggapku sebagai pengkhianat. Entah
apa yang ada di pikirannya, tapi Aku sama sekali tidak seperti yang ia
bayangkan! Sungguh!
Di saat kegundahan hatiku lantaran sahabatku, Aku mendapat kabar
bahwa sahabatku telah mengalami kecelakaan dan sekarang sedang di rawat
di rumah sakit. Aku pun meminta Pak Ben (supir pribadiku) untuk
mengantarkanku ke tempat Nera di rawat. Sesampainya di rumah sakit, Aku
segera berlari menuju kamar rawat Nera.
Sesampainya di depan kamar Nera, Aku melihat Bunda Nera dan seorang
Dokter tengah berbicara serius. Selepas Bunda Nera dan sang Dokter
berbicara, Aku melihat raut wajah Bunda Nera begitu sedih. Aku pun
memeberanikan diri untuk bertanya.
“Tante…” Aku menghampiri Bunda Nera yang sedang menangis di sebuah kursi yang ada di depan kamar rawat Nera.
“Rhita?” Bunda Nera menghapus air matanya, lalu melanjutkan kata-katanya.
“Rhita… sekarang kondisi Nera sedang kritis. Tolong doakan Nera agar tetap kuat ya?” ujar Tante Nera sambil menahan tangisnya. Aku tersentak kaget, Nera yang selama ini kukenal sangat kuat, sekarang terbaring lemah dengan kondisi yang kritis.
“Ma…ma..maksud Tante apa?” tanyaku pura-pura bingung. Sungguh, Aku belum siap menerima ini. Biarlah Nera membenciku asal Aku masih bisa melihatnya bahagia. Biarlah Nera tak menganggapku asal Aku masih bisa melihatnya tersenyum.
“Nera membutuhkan donor darah yang cocok untuknya. Ia kehilangan banyak darah saat mengalami kecelakaan tadi pagi,” ujar Bunda Nera. Sekarang, ia sudah sedikit lebih tenang.
“Donor darah?”
“Ya, Nera membutuhkan donor darah yang cocok dengan darahnya. Sedangkan pasokan darah yang ada di rumah sakit tidak ada yang cocok dengan darah Nera,” jelas Bunda Nera.
“Baiklah kalau begitu. Tante boleh periksa darahku terlebih dahulu. Jika sama, Aku bersedia mendonorkan darah untuk Nera.
“B…benar Ritha?” tanya Bunda Nera tidak percaya. Aku mengangguk pasti.
“Tante…” Aku menghampiri Bunda Nera yang sedang menangis di sebuah kursi yang ada di depan kamar rawat Nera.
“Rhita?” Bunda Nera menghapus air matanya, lalu melanjutkan kata-katanya.
“Rhita… sekarang kondisi Nera sedang kritis. Tolong doakan Nera agar tetap kuat ya?” ujar Tante Nera sambil menahan tangisnya. Aku tersentak kaget, Nera yang selama ini kukenal sangat kuat, sekarang terbaring lemah dengan kondisi yang kritis.
“Ma…ma..maksud Tante apa?” tanyaku pura-pura bingung. Sungguh, Aku belum siap menerima ini. Biarlah Nera membenciku asal Aku masih bisa melihatnya bahagia. Biarlah Nera tak menganggapku asal Aku masih bisa melihatnya tersenyum.
“Nera membutuhkan donor darah yang cocok untuknya. Ia kehilangan banyak darah saat mengalami kecelakaan tadi pagi,” ujar Bunda Nera. Sekarang, ia sudah sedikit lebih tenang.
“Donor darah?”
“Ya, Nera membutuhkan donor darah yang cocok dengan darahnya. Sedangkan pasokan darah yang ada di rumah sakit tidak ada yang cocok dengan darah Nera,” jelas Bunda Nera.
“Baiklah kalau begitu. Tante boleh periksa darahku terlebih dahulu. Jika sama, Aku bersedia mendonorkan darah untuk Nera.
“B…benar Ritha?” tanya Bunda Nera tidak percaya. Aku mengangguk pasti.
Akhirnya, Dokter pun memeriksa golongan darahku. Apakah sama atau tidak dengan Nera.
“Ibu Hana… Alhamdulillah… darah yang ada dalam diri Ritha rupanya cocok dengan darah Nera. Sekarang, kita bisa melakukan operasi kepada Nera…”
Aku mendengar ucapan sang Dokter. Alhamdulillah… Aku sangat senang, ternyata, golongan darahku sama dengan golongan darah Nera. Nera… Aku harap kamu akan baik-baik saja, batinku seraya melihat wajah Nera dari luar kamar.
“Ibu Hana… Alhamdulillah… darah yang ada dalam diri Ritha rupanya cocok dengan darah Nera. Sekarang, kita bisa melakukan operasi kepada Nera…”
Aku mendengar ucapan sang Dokter. Alhamdulillah… Aku sangat senang, ternyata, golongan darahku sama dengan golongan darah Nera. Nera… Aku harap kamu akan baik-baik saja, batinku seraya melihat wajah Nera dari luar kamar.
Akhirnya, operasi dilakukan. Aku dan Bunda Nera menunggu dengan
cemas. Berharap, agar operasi berjalan dengan lancar dan dapat
menyelamatkan nyawa Nera.
Setelah berjam-jam Aku dan Bunda Nera menunggu, akhirnya, operasi selesai. Dokter keluar dengan wajah berseri, kuharap itu adalah suatu pertanda yang baik.
“Bu… Operasi yang dilakukan berhasil. Dan Nera… dapat sembuh kembali dalam beberapa minggu ke depan,” ujar sang Dokter. Aku dan Bunda Nera mengucapkan syukur kepada sang Illahi. Kami semua bahagia, karena nyawa orang yang kami sayangi, dapat terselamatkan.
Setelah berjam-jam Aku dan Bunda Nera menunggu, akhirnya, operasi selesai. Dokter keluar dengan wajah berseri, kuharap itu adalah suatu pertanda yang baik.
“Bu… Operasi yang dilakukan berhasil. Dan Nera… dapat sembuh kembali dalam beberapa minggu ke depan,” ujar sang Dokter. Aku dan Bunda Nera mengucapkan syukur kepada sang Illahi. Kami semua bahagia, karena nyawa orang yang kami sayangi, dapat terselamatkan.
Sekarang sudah pukul 21.00. Aku menemani Nera dalam tidurnya. Sampai
sekarang, Nera belum juag sadar pasca operasinya tadi siang. Sekarang,
hatiku kembali gundah. Ada apa dengan Nera, kenapa ia tak kunjung
sadar?, batinku.
Namun, di saat Aku merasa khawatir, tiba-tiba jari tangan Nera bergerak. Aku memastikan lagi dengan mengucek-ngucek mataku. Ternyata benar, sekarang Nera telah membuka matanya. Ia melihatku, sangat dalam. Aku pun ikut menatap matanya yang masih terlihat lemah.
“Rhita?” ucap Nera lemah. Aku tak kuasa melihatnya dalam kondisi seperti ini.
“Nera… sudah dulu ya? Kamu istirahat saja dulu… kalau sudah cukup istirahatnya, barulah kita ngobrol. Oke?” ujarku sembari mengelus tangan Nera. Nera hanya mengangguk kecil lalu kembali beristirahat. Aku lega, dapat melihat sahabatku terbangun. Dan Aku juga senang karena Aku masih bisa melihat senyumannya.
Namun, di saat Aku merasa khawatir, tiba-tiba jari tangan Nera bergerak. Aku memastikan lagi dengan mengucek-ngucek mataku. Ternyata benar, sekarang Nera telah membuka matanya. Ia melihatku, sangat dalam. Aku pun ikut menatap matanya yang masih terlihat lemah.
“Rhita?” ucap Nera lemah. Aku tak kuasa melihatnya dalam kondisi seperti ini.
“Nera… sudah dulu ya? Kamu istirahat saja dulu… kalau sudah cukup istirahatnya, barulah kita ngobrol. Oke?” ujarku sembari mengelus tangan Nera. Nera hanya mengangguk kecil lalu kembali beristirahat. Aku lega, dapat melihat sahabatku terbangun. Dan Aku juga senang karena Aku masih bisa melihat senyumannya.
Sekarang, hari-hariku kembali cerah. Nera sudah mempercayaiku bahwa
Aku tak seperti yang ia pikirkan. Dan sekarang, hubungan persahabatanku
dengan Nera sudah kembali membaik.
Aku sangaaaat bersyukur, masih bisa menjalani hari-hariku bersama sahabatku.
Aku sangaaaat bersyukur, masih bisa menjalani hari-hariku bersama sahabatku.
________
Dan intinya Awal cerita ini tuh hampir persis sama apa yang aku rasain saat ini...
BY:Annisa Fitriani.B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar