Remang-remang malam masih mengusik tidurku. Mataku yang tadi
mengantuk menjadi terang dan tak mau lagi tidur. Aku sungguh lelah hari
ini. Aneh juga perasaanku. Aku yang selalu huru hara dengan
teman-temanku seakan mengingat dunia ini akan berlangsung lama. Aku
sungguh bodoh. Tapi, aku selalu keras kepala dan tak mengerti apa yang
disampaikan Bunda Aisyah kepadaku. Dia selalu ku bilang sok tahu.
Huh! Kelelahanku mengundang ingatan aneh. Aku ingin sekali
kaya seperti teman-teman sebayaku. Masa SMA ini sangatlah menyenangkan.
Tak salah juga orang bilang kalau masa SMA itu adalah masa yang paling
indah. Aku pun bersyukur kalau masa ini ku miliki. Mengapa tidak?
Teman-temanku banyak dan juga sehobi denganku. Aku suka sekali pergi
jalan-jalan keluar dan huru hara dengan teman-temanku. Tak peduli mau
jam berapa saja pulang ke rumah, yang penting hepi.
“Nina…! Nina…! Bangun, Nak! Sholat subuh dulu. Nanti keburu habis jam sholatnya,” panggil Bunda dari luar kamarku.
“Iya, Bun! Bentar ya. Aku masih ngantuk,”jawabku.
“Bangun dulu. Nanti sambung lagi tidurnya. Kita sholat ya,”balas Bunda.
“Iya… Iya…,”jawabku malas.
Rasanya aku baru tidur 2 jam. Padahal, malamnya aku tidur
tidaklah larut. Kira-kira pukul 22.00 WIB. Tapi, masih juga ngantuk.
Dengan malas aku bangun dari tempat tidurku dan menuju kamar mandi untuk
berwudhu.
“Seger juga air pagi ini. Bikin mataku nggak ngantuk lagi,”bisikku dalam hati.
Aku pun sholat subuh. Selesai sholat aku langsung tidur lagi.
Mataku hanya sanggup bertahan sebentar setelah berwudhu tadi. Aku pun
tidur terbawa mimpi. Berkata dengan sebuah kegalauan melalui mimpi yang
seakan-akan menjadi nyata. Ketakutanku mengundang resahku sepanjang
mimpi.
Tepat pukul 06.00 WIB aku pun terbangun. Mimpi aneh yang
mengalaukan pagiku yang ku anggap akan membuatku bahagia untuk ku
jalani. Aku ingin pergi jalan-jalan lagi dengan teman-temanku hari ini.
Tapi, sepanjang menuju sekolah, hatiku terus bertanya tentang arti
mimpiku setelah sholat subuh itu. Rasanya aku tak siap untuk kehilangan
seseorang di hatiku. Tapi, mengapa aku masih terus begini?
Pikiran aneh itu pun aku buang jauh-jauh. Aku pun senyum-senyum
menuju gerbang sekolah setelah angkot hijau yang baik hati itu
mengantarkanku pergi sekolah. Segar juga udara pagi di sekolah yang
dikelilingi berbagai macam pohon dan bunga-bunga indah itu. Aku
menghirup udaranya dalam-dalam. Merasakan bagaimana keindahan pagi.
Hatiku kembali berdesir. Masih juga tentang mimpi itu. Tiba-tiba Tina
mengejutkanku.
“Hei! Ngapain bengong disitu? Sini dong!” sapa Tina.
“Eh, kamu…udah datang ya! Nggak ada cuma ngerasain gimana segernya udara pagi. Mau ikut?” tanyaku.
“Aneh-aneh aja kamu. Nggak ah. Aku disini aja,”balas Tina.
“Eh, tunggu! Mmmm…. Aku punya cerita nih! Mau denger nggak?”kataku ragu.
“Cerita apa?”tanya Tina penasaran.
“Aku tadi subuh mimpi. Aneh sekali. Aku takut, Tin,”jawabku memulai cerita.
“Apa mimpinya?”tanya Tina.
“Aku mimpi Bundaku udah meninggal setelah aku bangun dari tidurku
sehabis sholat subuh. Aku pun tak sempat untuk minta maaf atas
kesalahanku yang keras kepala ini,”ceritaku.
“Ah, kamu…mimpi dipikirin! Kata orang-orang dahulu, kalau kita
bermimpi seseorang yang meninggal, umurnya akan panjang. Kenapa takut?
Santai aja kali!”kata Tina menghiburku.
“Iya sih! Tapi aneh aja. Ya udah deh! Makasih ya udah denger ceritaku yang singkat ini!”kataku.
“Sipp…sipp… sama-sama! Hehe…!,”cengengesan Tina.
Bel tanda masuk pun berbunyi. Kami pun masuk kelas. Semangat
belajarku pun kembali. Aku tak lagi memikirkan mimpiku tadi subuh.
Perkataan Tina juga ada benarnya. Buat apa aku pikirkan mimpi yang aneh
itu. Emang kematian bisa ditaksir lewat mimpi. Nggak masuk akal juga.
Setahu aku kematian itu hanya Tuhan yang tahu.
Guru Fisika pun masuk setelah 15 menit bel masuk berbunyi.
Kami diminta untuk bersiap sebelum belajar. Susah juga pelajaran hari
ini. Aku juga nggak belajar. Akhir-akhir ini pikiranku hanya untuk
bermain tanpa memikirkan masa depanku. Padahal, Bundaku berharap agar
aku berhasil untuk masa depanku.
Waktu pun semakin lama semakin maju. Waktu tak bisa berputar
balik. Semua berjalan begitu cepat. Jam pulang sekolah pun sudah datang.
Aku pun bersiap untuk pulang dan membuat janji dengan teman
sekelompokku untuk pergi jalan-jalan nanti pulang sekolah.
“Assalamu’alaikum,”sapaku memasuki rumah.
“Wa’alaikum salam!”jawab Bunda.
“Makan dulu ya, Nin!”kata Bunda.
“Nggak ah! Nina mau pergi dengan teman. Mau jalan-jalan. Bosan di rumah,”balasku.
“Jadi, kamu mau makan diluar?”tanya Bunda.
“Iya, Bun! Minta duit dong!”jawabku.
“Duit apa lagi? Kan tadi pagi udah dikasih pas mau pergi sekolah?”tanya Bunda.
“Udah habis! Cepet dong, Bun! Temen-temenku udah nunggu,”rengekku.
“Duit Bunda nggak ada lagi. Ini buat belanja kamu besok. Kemaren
kamu juga udah minta duit. Kita bukan orang kaya seperti teman-teman
kamu, Nina! Pikirkan itu,”jelas Bunda.
“Ah! Bunda! Nanti deh ngomongnya. Duitnya dulu deh!”pintaku lagi.
“Nggak boleh! Ini buat besok. Bunda takkan kasih kamu duit lagi hari ini,”tegas Bunda.
“Bunda jahat! Sini duitnya! Buat apa duit dicari kalau bukan buat
anaknya. Dasar pelit. Eh, Bun! Udah tua jangan pelit-pelit begini dong.
Nanti sempit kuburannya,”kataku dengan mata tajam menatap Bunda.
“Astaghfirullah, Nina! Jangan, Nak! Jangan ambil duit itu. Nanti
kita makan pakai apa? Bahan makanan juga sudah habis. Ayahmu juga sakit.
Mohon Bunda, Nak!”pinta Bunda.
“Nggak mau! Kan bukan cuma ayah saja yang bisa cari duit. Bunda
juga bisa. Nanti kalau aku udah kerja, aku balikin deh duit
Bunda,”kataku dan berlalu pergi.
Bunda pun terpaku melihat anaknya begitu keras kepala dan tak
mau mengerti kondisi keluarganya. Ayahnya yang sakit-sakitan pun
menitikkan air mata dengan penuh penyesalan. Beliau seharusnya sudah
bekerja. Bukan cuma tidur di kasur dengan lemah begini.
“Bun, ayah kerja saja ya. Ayah masih sanggup. Biar duit untuk
kita makan besok ada. Kalau begini terus, kita bisa kelaparan,”kata
Ayah.
“Jangan, Yah! Biar Bunda saja yang kerja. Ayah tidur saja. Nanti penyakitnya tambah parah,”balas Bunda.
“Ayah kasihan lihat Bunda begini terus. Ngurus Ayah dan Nina yang sama sekali tak mendengarkan kata Bunda,” kata Ayah.
“Nggak apa-apa, Yah! Lagian Ayah kan udah mau sembuh. Jangan kerja dulu sebelum benar-benar sembuh,”balas Bunda.
“Ya udah deh. Tapi, jangan dipaksa kerjanya ya, Bun!”kata Ayah mengkhawatirkan/
“Iya, Yah!”jawab Bunda.
Bunda pun pergi bekerja sebagai buruh cuci tetangganya. Beliau
hanya dapat uang pas-pasan buat makan besok saja. Entah sampai kapan
aku mau sadar. Bunda pun bingung. Anak satu-satunya ini begitu keras
kepala kepadanya. Aku seakan-akan menganggap Bunda sebagai temanku saja
bukan Bundaku. Sungguh jahatnya aku.
Tiga hari kemudian, Ayah sembuh dari sakitnya. Beliau sudah
kembali bekerja sebagai buruh angkat di pasar. Sungguh sedih juga. Anak
seperti aku ini tidak sadar-sadar juga melihat nasib orang tuanya
seperti itu. Hanya ada satu pelajaran yang akan menyadarkanku. Yaitu
kebenaran mimpiku di waktu subuh kemarin.
***
Senja pun menyapaku dengan manisnya. Aku pun pulang dari
jalan-jalan dan huru hara dengan teman-temanku. Rasanya hari itu aku
terbebas dari masalah. Lelah juga saat itu. Setiba dirumah aku langsung
menghempaskan tubuhku ke atas kasur yang sudah hampir habis kapuknya.
Tapi, kasur itu kesukaanku. Dari aku lahir tak pernah ditukar Bunda.
Tidurku pun nyenyak. Lelap seperti orang yang telah bekerja
seharian penuh dan tak henti. Bahkan aku lebih lelah lagi dari Ayah yang
bekerja menjadi buruh angkat. Tapi, aku tak menyadari itu. Aku hanya
tahu dengan kepentinganku sendiri dan merasakan untuk diriku sendiri.
Pagi pun telah memulai langkahku kembali. Entah cerita apa
lagi yang akan aku hadapi hari ini aku tak tahu. Subuhku tak lagi
mendengar suara Bunda yang memanggilku untuk sholat subuh. Ruangan pun
senyap. Aku pun terheran-heran. Ayah yang dari tadi bangun pun sudah
terlihat menyedihkan. Beliau hanya tenang walaupun hatinya tak merelakan
kepergian Bunda yang secepat itu. Padahal, kemarin Bunda baik-baik
saja.
“Ayah kenapa?”tanyaku.
“Duduklah! Nggak baik bicara berdiri,”jawab Ayah.
Aku pun duduk.
“Mana Bunda?”tanyaku lagi.
“Bundamu ada dikamar! Beliau sudah tiada. Hanya saja satu pesan
yang ditinggalkannya untuk kamu, yaitu patuhlah pada Ayahmu. Jaga
Ayahmu.,”jawab Ayah dengan berat.
“Apa? Nggak mungkin Ayah! Bunda sehat-sehat saja mengapa beliau secepat itu pergi?”aku pun kaget bukan main.
“Kamu lihat saja ke kamar,”balas Ayah.
Aku pun beranjak dari tempat dudukku dan cepat menghampiri
Bunda yang terbaring kaku di atas kasurnya. Aku telah mengerti apa arti
mimpiku itu. Mataku berkaca-kaca menahan tangis, tapi mustahil.
Bendungan kelopak mataku tak begitu kuat. Air mataku pun mengalir juga.
Aku menyesal. Selama ini aku hanya anggap Bunda sebagai teman bukan
sebagai seorang Ibu. Aku keras kepala.
“Maafkan aku, Bunda! Aku salah. Aku salah! Hiks…Hiks…!”tangisku.
Aku sangat menyesal. Hari itu sangat menyedihkan. Aku sempat
frustasi. Aku tak dapat lagi mendengar suara Bunda setiap subuh. Aku pun
tak sempat menyambut Bunda dengan wajah manis dan berkata “Selamat
Pagi, Bunda!”. Aku tak sempat lagi. Kesempatan itu telah hilang. Aku
sedih. Sekarang aku hanya memiliki Ayah. Aku akan laksanakan amanah
Bunda. Menjaga Ayah yang sudah tua. Aku harus mengerti keluargaku. Aku
tak bisa lagi keras kepala seperti dulu. Maafkan aku Bunda...
Created By : Annisa Fitriani Burhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar