Jumat, 03 Juli 2015

Ketika Seorang Gangster Mengucapkan 2 Kalimat Syahadat

Pertama kali datang ke Tokyo, aku langsung diantar ke apartemen kecil di kota Tokyo. Tidak besar, tapi pas untukku. Disana tinggal sepasang lansia yang ramah. Mereka sering dipanggil kakek-nenek Sadao. Mereka tidak pernah menganggapku asing karena Hijab-ku ini. Aku senang dengan mereka walau kami berbeda agama. Mereka bercerita banyak hal padaku saat pertama kali berkunjung ke apartemen mereka, seolah sudah kenal dekat. Nenek Sadao bercerita tentang seorang gangster yang tinggal dekat apartemen-ku. Katanya, gangster itu baru keluar dari penjara karena dituduh melakukan tindak pembunuhan dan pelecehan terhadap sang korban. Aku diminta untuk selalu waspada.
“Namanya Arioka Kazuki. Anak buahnya tersebar di seluruh Tokyo. Saat ini dia memang tidak pernah melakukan kejahatan karena baru keluar dari penjara. Walau begitu, kamu harus hati-hati, apalagi kamu perempuan.” Ujar nenek Sadao.
“Iya, nek.” Kataku.

Aku pun berpamitan pulang. Tapi aku sempat keluar sebentar pergi ke mini market untuk membeli bahan makanan. Tidak sulit mencari yang berlabel Halal karena sudah tersedia khusus untuk para Muslim sepertiku.
“Kamu jangan ragu. Disini menyediakan bahan masakan Jepang yang Halal untuk Muslim.” Ujar pemilik mini market itu.
“Terima kasih! Aku sangat terbantu dengan ini.” Kataku sambil membungkukkan badan berterima kasih.

Aku pun kembali ke apartemenku. Hari sudah semakin larut. Besok adalah hari pertamaku belajar di salah satu universitas negeri Tokyo. Aku senang karena dapat beasiswa kesini selama 3 tahun. Tapi sedih juga karena jarang pulang ke kampung halaman.
Saat aku menaiki anak tangga menuju apartemenku yang melewati gang sempit, terdengar suara laki-laki dari arah apartemenku. Aku agak takut, tapi aku harus berani. Jangan-jangan, gangster yang diceritakan nenek Sadao tadi… pikirku. Saat berada di depan pintu apartemenku, ada seorang laki-laki yang berdiri di apartemen di depan apartemenku. Dia tampak menakutkan, ya, seperti gangster. Rambutnya agak pirang, beranting, dan menghisap sebatang rok*k. Bau alkohol tercium dari mulutnya saat dia menghembuskan asap rok*k. Lalu, dia menoleh ke arahku. Jantungku rasanya mau copot. Wah, tampan juga dia, pikirku saat melihat wajahnya.
“Orang baru ya?” Tanya laki-laki itu.
“I, iya…” jawabku.
Dia membungkukkan badan memberi salam. Aku ikut-ikutan. Jadi ini gangster itu, pikirku.
“Namaku Arioka Kazuki. Panggil saja aku Kazuki. Salam kenal.” Katanya memperkenalkan diri.
“Namaku Annisa Syahda, salam kenal juga.” Balasku.
Dia tersenyum kecil saat melihatku yang agak tengang. Barang bawaanku kupeluk erat-erat. Dia kembali membungkukkan badan dan masuk ke apartemannya. Aku pun cepat-cepat masuk ke dalam apartemenku. Tapi, seberapa pun brutalnya dia, dia masih berperilaku sopan pada orang yang baru dia kenal. Menyapa lebih dulu, kalau aku memang tidak suka menyapa orang lebih dulu makanya orang berpikir aku sombong. Tapi aku harus tetap waspada. Mungkin dia bisa bertindak jahat, tapi nggak baik berprasangka buruk dulu pada orang lain.

Itu adalah kesan pertama saat aku bertemu Kazuki. Pernah suatu hari, Kazuki menghajar seorang penjahat yang mencoba merampas tas-ku. Awalnya polisi ingin menangkapnya, untung aku tahu siapa penjahat yang sebenarnya. Kazuki pun bebas dari tuduhan. Kami pun pulang bersama sambil disoroti mata orang-orang sekota. Tapi dia biasa saja. Pandangan orang pasti melihat Kazuki dari sisi buruknya. Padahal, sejak aku tinggal disana, dia orang yang ramah pada orang-orang di sekitar apartemen dan ikut membantu kegiatan sosial. Tetap saja sisi ‘gangster’ itu melekat padanya. Secara terang-terangan, anak buah Kazuki membantunya. Sebagian ada yang melepaskan diri dari bawahannya karena menganggap Kazuki semaki lemah.
Saat dia berkunjung ke apartemenku, dengan gaya gangster-nya, dia santai menghisap rok*k sementara aku batuk-batuk. Dia sering tanya-tanya tentang agama-ku, Islam.
“Seperti apa wujud Tuhanmu?” Tanya Kazuki padaku.
“Tidak tahu. Tidak ada yang pernah tahu karena wujud-Nya diluar nalar manusia.” Jawabku.
“Jadi selama kau memeluk Islam, kau tidak pernah tahu wujud Tuhanmu?”
Aku cuma tersenyum menanggapinya. Dia mendengus heran.
“Aneh.”
“Tentu tidak. Kami meyakini-Nya dari hati.”
Yang buat aku cemas itu tatapannya terhadapku. Dia bisa menatapku tanpa berkedip sampai 1 menit lamanya. Seperti melamun, atau seperti melihat sesuatu yang lain dari biasanya. Memang, sih, aku lain dibanding gadis se-usia-ku. Sampai-sampai dia tidak sadar kalau batang rok*knya terjatuh dari sela jarinya.
“Sebenarnya tidak sopan untukku mengijinkanmu masuk ke apartemenku. Kamu bilang, kamu ingin berkunjung sebagai tamu, jadi kupersilahkan. Tapi jangan menatapku seperti itu. Aku kan, cewek.” Kataku.
“Aku merasa berbeda saja saat melihatmu.” Sahutnya.
“Ya, karena Hijab-ku ini, kan?” aku menebak.
“Bukan, bukan itu.” Katanya, lalu rautnya tampak bingung.
“Sebenarnya, aku tidak percaya dengan adanya Tuhan. Selama hidupku, aku tidak pernah merasa seperti ini saat aku bersamamu. Ada yang lain, dan membuatku penasaran apa itu agama, dan adakah Tuhan itu. Walau masih tidak percaya, dari raut wajahmu tampak tenang dan bercahaya dengan pakaian serba tertutup begitu. Aku penasaran kenapa kau setenang itu, sementara seluruh hidupku seakan kosong seperti mati, gelisah, dan sebagainya.” Sambungnya sambil memikirkan sesuatu.
“Ya, karena Tuhan bersamaku. Allah swt. Tuhan yang Maha Esa selalu di dekatku.” Jelasku.
Kazuki melihatku dengan tatapan berbeda. Apa yang dia pikirkan tidak bisa kutebak. Dia menghidupkan api dan membakar batang rok*k lalu menghisapnya. Dari matanya memang dia tampak gelisah. Mungkin karena perbuatannya selama ini. Tapi aku cukup berani dekat dengan orang seperti Kazuki yang menghabiskan waktu dengan hal-hal tidak terpuji. Dia seperti terkekang. Aku baru tahu kalau dia tidak beragama. Kupikir, dia beragama Budha atau Katholik yang mayoritas orang Jepang meyakini agama itu. Orang seperti apa dia?
“Boleh aku mendengarkan suara lagu yang kau nyanyikan menjelang malam tiba?” Tanya Kazuki.
“Lagu?” tanyaku heran.
“Iya. Lagu bahasa Arab itu.” Ujar Kazuki.
“Maksudmu mengaji?”
“Mana aku tahu itu apa. Tapi, setiap mendengarnya, aku gemetar. Ada yang aneh sejak setiap hari aku mendengar lantunan itu menjelang malam hari.”
Walau agak bingung, aku pun memenuhi permintaannya. Aku ber-wudu’ terlebih dahulu, lalu mengambil Al-Qur’an, dan mengaji diawali dengan Bismillah. Memang ada ketenangan tersendiri saat aku membaca ayat suci al-qur’an. Ketenangan yang tidak dapat digantikan oleh apapun.

Selesai membaca, kututup kembali al-qur’an itu dan kusimpan. Kazuki tampak aneh. Dia menundukkan kepalannya seperti menghayati lantunan ayat suci yang kubacakan. Kedengaran seperti lagu Arab bagi yang tidak tahu mengaji itu apa. Dia mendekatkan ponselnya ke telinganya. Dia merekam suaraku dan mendengarkannya lagi. Dia menangis.
“Kazuki…”
“Aku ingin ketenangan…”
Aku hanya diam melihatnya seperti itu. Sejak itu, dia selalu bilang kalau dia menyukaiku, dan ingin menjadikan aku istrinya. Dia bilang, jika dia menolakku maka dia akan menyuruh anak buahnya untuk menculik dan membunuhku. Aku menanggapinya dengan tertawa keras. Aneh. Aku berpikir kalau dia hanya bergurau saja.

Saat aku berpuasa, dia ikut-ikutan. Puasa, kan, siapa saja boleh melaksanakannya karena bagus untuk kesehatan. Tapi seperti anak kecil yang belajar puasa. Ada saja godaan untuknya. Mengeluh lapar, ingin merok*k, atau tidur sambil memegangi perut yang keroncongan di sofa.
Kazuki datang ke apartemenku dengan keadaan lemas karena tidak makan sejak subuh hingga sore. Ini hari pertamanya puasa.
“Lama lagi ya, baru boleh makan?” Tanya Kazuki.
“4 jam lagi kok.” Jawabku.
“Haah…?”

Kazuki pun balik lagi ke apartemennya. Kasihan aku melihatnya. Kadang aku menyuruhnya untuk berbuka lebih dulu kalau memang tidak kuat. Tapi dia keras kepala dan sok jago. Saat waktunya berbuka, aku membawa makanan pembuka untuknya. Dia langsung semangat dan rasanya ingin menghabisi semua makanan yang kubawa. Nyatanya, baru memakan 3 buah kurma, semangkuk nasi kare lalu minum air putih, dia sudah kenyang.
“Puasa itu mengajarkan kita untuk hidup susah agar kita tahu betapa sulitnya orang yang kesulitan di luar sana. Kita harus bersyukur atas pemberian Tuhan kepada kita sekarang.” Ujarku.
Kazuki terdiam.

Jama’ah di masjid dibuat gempar saat melihat kehadiran Kazuki yang masuk kedalam masjid setelah selesai shalat Dzuhur. Seorang gangster ke masjid? Apalagi seorang seperti Kazuki? Kazuki menemui seorang ustad dari Arab yang baru selesai shalat. Aku saja heran dengan apa yang dia lakukan, apalagi orang lain.
“Jadikan aku seorang Muslim. Aku ingin masuk Islam.” Kata Kazuki pada Ustad itu.
“Kau yakin? Tidak ada paksaan?” Tanya Ustad itu.
“Ya, ini dari dalam hatiku.” Jawab Kazuki mantap.
Kami semua terkejut, tapi gembira. Ya Allah, kau memberinya Hidayah, ucapku dalam hati.
“Kenapa kau ingin masuk Islam? Apa agama-mu sebelumnya?”
“Aku meyakini Allah itu ada, dan Muhammad itu utusan Allah. Sebelumnya, aku tidak punya agama.”
Kami semua terdiam. Gangster itu membuat kami terpaku. Kazuki juga mengatakan niat-nya yang lain kenapa dia ingin masuk Islam dan itu membuatku lebih terkejut.
“Aku juga mencintai seorang gadis Muslim. Tapi, rasa cinta itu muncul saat aku baru mengenal Islam.” Kata Kazuki.
Setelah ditanyai ini itu, akhirnya Kazuki mengikuti Ustad itu mengucapkan 2 kalimat Syahadat.
“Asyhadu an-Laa Ilaaha Ilallah wa Asyhadu an-na Muhammadarrasullallah.” Ucap Ustad itu.
“Asyhadu an-Laa Ilaaha Ilallah wa Asyhadu an-na Muhammadarrasullallah.” Ucap Kazuki mengikuti ustad itu.
Aku mengucap Alhamdulillah dalam hati. Rasanya sangat bersyukur melihat Kazuki yang seperti ini.

Singkat cerita, Kazuki sekarang menjadi seorang Muslim dan diberi nama Ahmad Arioka. Aku masih sering memanggilnya Kazuki walau Kazuki ingin dipanggil Ahmad. Jujur, sih, agak aneh bagiku perpaduan antara nama Arab dengan Jepang. Tapi banyak juga kok orang Jepang muslim yang mengganti namanya.
Sekarang dia menjadi orang yang dikenal baik, rajin shalat, belajar mengaji, kadang dia meminta bantuanku karena sulit baginya untuk membaca tulisan Arab. Walau begitu, dia tidak pernah menyerah untuk belajar. Aku salut pada orang seperti Kazuki.
“Rukun Iman ada 6 dan rukun Islam ada 5.” Kata Kazuki mengulang kalimat yang dia baca.
“Aku nyaris salah mengatakan rukun Iman itu ada 5.” Sambungnya.
Aku menjelaskan rukun Iman dan rukun Islam itu satu persatu hingga dia mengerti. Dia sudah membuka antingnya, tapi rok*knya sulit ditinggal. Nenek dan kakek Sadao tampak senang dengan perubahan pada Kazuki. Tapi sulit sekali menjelaskan kalau laki-laki muslim itu wajib sunnat pada Kazuki yang sebenarnya percaya tapi agak ketakutan. Kazuki juga menjalani proses itu. Semua heran, tapi Kazuki menanggapinya dengan senyuman.

“Berarti, dengan sudah jadinya aku seorang laki-laki muslim, kau tidak menolak lamaranku, kan?” Tanya Kazuki jail.
“Kau masuk Islam karena hal itu?” aku balik Tanya.
“Ya, tapi itu nomor 2.” Sahut Kazuki.
Aku tersipu malu. Dia mengenal Islam lebih dulu, lalu mulai menyukaiku yang selalu sabar menjawab semua pertanyaannya. Tapi ada juga yang masih menganggapnya gangster terutama polisi yang belum tahu kalau dia seorang muslim. Tampang gangsternya masih belum hilang.

Hari ini, dia berpamitan untuk pergi ke rumah orangtua-nya yang berada di Yokohama. Dia naik motor karena mabuk darat, bisa pingsan di dalam bus. Aku malah cemas saat dia naik motor. Tanggapannya pun ke-PD-an.
“Aku tahu kau cemas padaku. Mantan pacarku memang banyak disana, tapi jangan khawatir. Hanya kau, Muhammad dan Allah yang ada di hatiku.” Katanya sambil menunjuk ke dadanya.
“Bukan mantan pacarmu yang kucemaskan.” Sahutku, sebenarnya hal itu juga kucemaskan.
Kazuki mencubit pipiku dengan lembut sambil tersenyum manis.
“Ana uhubbuki fillah.” Kata Kazuki, yang artinya Aku mencintaimu karena Allah.
Aku tersenyum mendengarnya. Entah dari mana dia dapat kata-kata seperti itu. Kazuki pun menaiki motornya, memakai helm, dan menghidupkan mesin motor.
“Aku pergi, ya! Assalamu’alaikum!” katanya sambil bersiap menjalankan motornya.
“Wa’alaikum salam.” Balasku.
“Hati-hati di jalan!” sambungku saat dia melajukan motornya dan pergi menuju Yokohama.
Perjalannya mungkin jauh. Aku belum pernah kesana, sih. Aku berdoa agar dia selamat sampai tujuan. Tapi aku masih mencemaskannya.

Malam harinya, aku dapat telepon dari Kepolisian Yokohama. Mereka bilang, seorang pria bernama Ahmad Arioka mengalami kecelakaan. Polisi menelepon padaku karena di ponsel Kazuki nomorku diberi nama ‘Calon Istriku’, langsung saja mereka menelponku dan aku sangat shock mendengarnya. Aku, nenek dan kakek Sadao langsung menemui Kazuki di rumah sakit umum Yokohama.
“Kazuki…” panggilku.
Kazuki menoleh. Dia terluka parah dan baru siuman sejak kecelakaan itu. Dia tidak bisa bergerak bebas.
“Annisa…”
Dia memanggil namaku. Baru kali ini dia memanggil namaku. Nenek dan kakek Sadao menghamipirinya yang masih berbaring di ranjang.
Seorang wanita paruh baya mengomel pada dokter dan terdengar seperti memaki Kazuki.
“Kenapa gangster sepertinya dirawat di ruangan khusus seperti itu? Anakku lebih membutuhkan perawatan khusus disana dibanding gangster itu!” kata wanita itu marah-marah.
“Anak Ibu hanya mengalami patah tulang yang tidak begitu parah. Kami menempatkan orang itu karena dia sekarat.” Ujar sang Dokter.
“Oh, begitu? Jadi dia akan segera mati? Syukurlah.”

Ucapan macam apa itu? Aku ingin menghampiri wanita itu, tapi ditahan oleh Kazuki. Mungkin semua orang tahu tentang masa lalu Kazuki. Tapi itu hanya masa lalu. Kazuki bangun dan berjalan menghampiri wanita itu dengan berpegangan padaku. Lukanya belum pulih, tapi dia sanggup berjalan.
“Anak Ibu ini, tolong pindahkan ke ruanganku. Aku mencemaskan keadaannya sekarang.” Kata Kazuki di hadapan dokter dan wanita itu.
Mereka terdiam melihat kondisi Kazuki yang terluka seperti itu. Kazuki memintaku ke ruangan anak wanita itu karena dia tidak bisa berdiri lebih lama lagi. Jahitan di punggungnya sepertinya terbuka. Ada noda darah di punggungnya.
“Jangan khawatir. Ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan kesalahanku yang dulu.” Katanya.
Ada saja ujian untukmu, Kazuki. Walau kau sudah berubah, mata mereka masih menyimpan kebencian padamu. Kau hanya menanggapinya dengan tenang. Bertahanlah. Aku akan di sampingmu untuk membantumu, Kazuki.

Tiba-tiba saja keseimbangannya goyah. Aku berusaha membantunya berjalan menuju ruang perawatan lain. Ada satu kamar kosong yang diisi satu ranjang dan meja. Kazuki berbaring disana dan aku mencari dokter karena tampaknya dia kesakitan.
“Dokter…!” panggilku.
Melihatku yang sedang panik, Dokter mengikutiku berlari menuju ruangan kosong tadi.
“Kazuki, kau baik-baik saja?” Tanyaku yang panik saat melihatnya disana.
“Aku harus pergi…” katanya.
“Tidak! Kau harus dirawat disini dulu!”
Dokter memeriksa keadaannya. Dia meminta beberapa suster untuk membawa Kazuki ke ruang yang memiliki fasilitas yang membantu tim medis menyelamatka Kazuki. Kazuki tidak sadarkan diri.
“Asyhadu an-Laa…illaa..ha…Ilallah… wa asyhadu an-na…Muhammadarasullallah…” Gumam Kazuki saat Dokter tampak panik melihat kondisinya.
Kugenggam erat tangannya dengan mata berlinang air mata. Saat itu juga, Kazuki menghembuskan nafas terakhirnya dan tertidur selamanya. Dia tampak tenang sekarang. Tidak ada beban yang terlihat di wajahnya. Semoga Allah swt menempatkannya di antara orang-orang yang beriman.


Created By : Annisa Fitriani Burhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar