Sabtu, 17 Agustus 2013

Short Story :)

Tunggu Aku Ibu...

 Seorang ibu, bangun sekitar jam 3 malam. Dengan mata masih berat untuk dibuka dan badan yang sudah tidak sekuat dulu ketika dia masih muda, kini mulai ngilu karena rematik. Kadang, kehidupan malamnya dimulai dengan. Kadang juga tidak, bila dia pikir telah terlambat bangun. Dalam tahajjudnya, tak ada doa lain yang keluar dari mulutnya melainkan keberhasilan anak-anaknya dan hutang suaminya yang segera lunas.

Ia lalu memasak air, memasak nasi uduk, goreng pisang, dan segala sesuatu yang akan dijual bersama suaminya di warung kecil yang dia kontrak tepat dua tahun yang lalu. Ketika adzan shubuh terdengar, hampir semua persiapan jualan hampir dia selesaikan. Memasukkan pempek yang gak terasa ikan sama sekali itu ke dalam kresek, dan terakhir menutup tempat nasi, menyimpan dengan rapih di atas meja makan yang mulai tua.

Ia lalu membangunkan suaminya yang harus sudah berangkat lebih dahulu ke pasar setelah mandi dan sholat shubuh. Sang suami yang terlihat lelah tidak hanya karena berjualan tapi juga oleh beban hidup yang harus ia tanggung. Selesai membangunkan suaminya, ia segera ke kamar mandi untuk mencuci pakaian suami dan seorang anaknya yang tersisa dirumah. Tiga orang anaknya yang lain, ia izinkan pergi merantau. "Biar nggak bodoh," katanya.
Selesai mencuci dia menimba air sumur rumah yang kedalamannya cuma 2 meter tapi kekuatannya yang sudah lemah sering membuatnya lelah. Habis mencuci dia mandi dan bergegas untuk segera pergi ke pasar menyusul suaminya. Tanpa lupa membangunkan putri bungsunya ia pergi kepasar untuk menyusul suaminya yang lebih dulu untuk mengatur makanan dagangannya. Ia pergi melangkah kepasar yang jaraknya 500meter dari rumahnya, dengan berjalan kaki.

Sampai dipasar mulai ia dan suaminya melayani pembeli satu persatu yang mulai jadi pelanggannya.tak terasa waktu beranjak menjelang dzuhur sang ibu mulai beranjak pulang, tapi tidak segera kerumah melainkan mampir ketoko membeli gula merah, terigu, telor, dan semua persiapan untuk jualan esok hari. Dan dengan barang bawaannya dia pulang tepat jam 1 dibawah terik matahari, ia berjalan kaki menuju rumahnya.

Kupikir dia akan merebahkan tubuhnya di sofa rumahnya yang mulai tua tetapi tidak.diletakkan barang bawaannya menuju kamar mandi untuk berwudlu setelah itu, ia sholat. Ia melirik sebentar tempat tidur, tapi ada yang menghalanginya. Yah dia harus mengerjakan bahan - bahan jualannya untuk esok hari. Tepat pukul empat sore dengan cantiknya ia mulai duduk didepan rumah, atau di depan tv atau di tempat tidur untuk sekedar meluruskan pinggangnya.
Jika maghrib telah selesai ingin sekali ia diurut oleh ketiga anaknya yang lain yang dia cintai. Tapi sayang mereka berada jauh di tempat lain. Siapa yang dapat mengira kalau penjual makanan dikedai yang kecil di pojok pasar itu memiliki 3 orang anak yang semuanya anak kuliahan. Itulah kebanggaannya yang sering dia lontarkan kepadaku anaknya. Ketika liburan kemarin kulewati hari-hari bersamanya. Di kamarku sering kuurut badannya sambil bercerita panjang tentang duka, suka, dan harapannya.

Ibu.... sungguh jika sering keluar omelanmu itu bukanlah seberapa dibanding dengan beban hidup yang kau alami... Rambutmu yang sudah mulai putih… Kulitmu yang menghitam diterpa panas kota kecil ini. Tanganmu dan jarimu yang kasar dan bengkak karena terlalu sering kena air .. Sungguh aku ingin membelainya. Setelah sholat isya' kau masuk kamar untuk beristirahat sejenak menuju esok dengan pekerjaan rutin yang menunggumu..
Ya Robb sampai kapan dia akan seperti itu.. Bundaku.. aku yang hanya mampu menarik nafas sedih..mengenang kuliahku yang belum lulus juga .. tunggulah bu..aku akan datang dan mengatakan "Bu aku wisuda…". 
___________________________________________________________

CERPEN:;JADWAL HARI MINGGU
CREATED:ANNISA FITRIANI.B



 

Pagi itu Bu Sasa, guru Bahasa Indonesia, memberi tugas membuat jadwal kegiatan hari Mnggu.
“Kalian sudah berumur 11 tahun, harus mempunyai jadwal kegiatan harian. Di antara kalian, adakah yang sudah mempunyai jadual kegiatan harian?” tanya Bu Sasa. Namun hanya Tata, Rere, Diana dan Kayla yang tunjuk jari.
“Baklah kalau begitu. Kalian bisa mulai dari sekarang. Coba buat jadwal harian pada hari Mnggu. Tuliskan juga jamnya. Setelah selesai, bacakan di depan kelas lalu kumpulkan. Ibu beri waktu 20 menit,” jelas Bu Sasa.
Semua siswa mulai sibuk menulis di lembaran buku masing-masing. Bu Sasa dengan tenang berkeliling kelas mengamati anak-anak. Sisil menuiskan kegiatan hari Mnggu yang biasa dilakukan.Tapi tidak demikian dengan Dara. Teman sebangku Sisil itu agak bingung dengan apa yang akan ditulisnya.
Pasalnya setiap hari Minggu dia selalu berlibur atau jalan-jalan, dari pagi hingga sore. Malam harinya, dia hanya menonton televisi kemudian tidur. Papa dan mamanya adalah orang yang sibuk, jadi pada hari Minggu mereka mengajak Dara untuk berlibur.
Dara juga anak satu-satunya. Segala keperluan sekolahnya sudah disiapkan oleh Bibi, pembantunya. Pekerjaan rumah pun Dara tak tahu menahu, karena semuanya sudah diserahkan pada pembantu.
Tak terasa 20 menit telah berlalu, saatnya membacakan karya di depan kelas. Bu Sasa mulai memanggil murid satu per satu. Sisil mendapat giliran pertama
“Pukul 05.00-05.30, bangun pagi, merapikan tempat tidur dan shalat subuh. Jam 05.30 – 06.00, menyapu halaman. Jam 06.00-06.30, membantu ibu menyiapkan sarapan. Jam 06.30-07.00, sarapan pagi. Jam 07.00-07.30, mencuci piring. Jam 07.30-06.00 mencuci baju. Pukul 08.00-09.00, menyiapkan buku-buku pelajaran, sepatu dan seragam untuk Hari Senin. Jam 09.00-09.30 mandi. Jam 09.30-11.30 menonton televisi. Jam 11.30-12.00 menyiapkan makan siang. Jam 12.00-15.00 tidur siang, 15.00-15.30 mandi sore, 15.30-17.30 mengaji. Jam 18.00-18.15 shalat mahrib, 18.15-19.00 makan malam. Jam 19.00-19.30 shalat Isya. Jam 19.30-21.00 belajar dan mengerjakan PR. Tidur jam 21.00,” tutup Sisil.
“Ya, bagus,” kata Bu Sasa diringi tepuk tangan anak-anak.
“Berikutnya Anto, silakan bacakan jadwalmu di depan kelas,” perintah Bu Sasa. Anto berjalan ke depan kelas sambil mernyeret sepatunya. Bu Sasa duduk di meja guru sambil memperhatikan Anto.
“Jam 07.00 bangun tidur,” baca Anto. “hahaha….”anak-anak tertawa serempak.
“Jam segitu baru bangun?” celetuk Badrun.
‘Tenang, lanjutkan Anto,” pinta Bu Sasa
“Jam 07.00-11.30 nonton TV.” lanjut Anto.
“Hahaha..“.” murid-murid kembali tertawa.
Namun Anto tetap melanjutkan. Dia main game PS di tempat tetangganya dari jam 12.00-16.00. Kemudian pukul 16.00-18.00 bermain sepak bola. Pukul 19.30, Anto sudah tertidur.
Satu demi satu murid membacakan jadwal kegiatan hari Minggu miliknya. Dara semakin gelisah di tempat duduknya. Apalagi, gilirannya tinggal beberapa nomor lagi. Dara menceritakan pada hari Minggu, dia bangun pagi-pagi sekali. Kemudian, bersepeda bersama dengan papa dan mamanya. Lalu, Dara juga bercerita bahwa dia juga membantu mamanya menyiapkan makan pagi. Tidur siang, pergi mengaji seperti Sisil dan juga membersihkan kamar tidur, serta mnenyirami bunga.
“Setelah seluruh siswa membacakan jadwal kegiatannya, Bu Sasa berkata, “Baik, semua jadwal kegiatan kalian sudah Ibu dengarkan. Ibu bangga pada kalian karena sudah menuliskannya secara jujur.
“Oh ya Sil, nanti saat istirahat tolong ikut ibu ke kantor guru ya,” kata Bu Sasa. Sisil mengangguk. Dalam hati dia bertanya, mengapa tiba-tiba Bu Sasa memintanya menghadap. Setelah menutup pelajaran pertama, Bu Sasa bergegas meninggalkan kelas, menuju ruang guru, disusul anak-anak kelas IV yang menghambur ke luar kelas.
Sisil duduk berhadapan dengan Bu Sasa. “Begini Sisil, Ibu ingin menanyakan sesuatu tentang jadwal hari Minggu. Apakah kegiatan yang kamu tulis memang benar-benar kamu lakukan?” tanya Bu Sasa.
”Iya Bu.” jawab Susil mantap.
“Benar begitu?” selidik Bu Sasa. Sisil mengangguk.
“Ibu bertanya untuk yang terakhir kali, kegiatan yang kamu tulis benar-benar dilakukan?”
“Iya, benar Bu,” jawab Sisil.
“Baiklah, kamu boleh kembali istirahat dan tolong panggilkan Dara”, kata Bu Sasa.
Ketika Sisil kembali ke teras kelas, teman-temannya mengerumuni dirinya dan bertanya mengapa Bu Sasa memanggilnya ke ruang guru.
“Bu Sasa cuma menanyakan apakah jadwal hari minggu itu benar-benar aku lakukan, itu saja” jawab Sisil.
“Lalu. apa yang kamu katakan?” tanya Reno.
‘Tentu saja aku jawab iya,”ucap Sisil sambil kembali bermain. Sisil juga menyampaikan pesan Bu Sasa yang meminta Dara menghadap. Selanjutnya, Dara juga diminta untuk memanggil Anton. Rupanya Anton dan Dara juga mendapatkan pertanyaaan yang serupa dengan Sisil. Anton dan Dara juga menjawab seperti yang dikatakan Sisil. Ketiganya, bertanya-tanya, mengapa Bu Sasa menanyakan jadwal kegiatan hari minggu mereka.
Keesokan harinya, Bu Sasa membagikan jadwal hari Minggu yang ditulis anak-anak secara acak. Milik Anto ada di tangan Sisil, milik Sisil dibawa Rian, punya Dara diserahkan kepada Rudi. Sementara Anto, Dara dan Sisil juga membawa jawal kegiatan milik teman yang lain.
“Hari ini bu meminta tolong kepada kalian untuk mencocokkan jadwal kegiatan Hari Minggu yang kalian buat dengan jadwal kegiatan yang ada di amplop ini. Jumlah amplop ini sama dengan jumlah jadwal yang sudah kalian kumpulkan pada Ibu kemarin” Jelas Bu Sasa.
“Tolong beri tanda pada bagian yang tidak sama, baik jam ataupun ak?vitas yang dilakukan,” lanjut Bu Sasa memberi perintah. Semua siswa mulai sibuk.
Tigapuluh menit berlalu. Satu per satu anak diminta maju ke depan, untuk membacakan hasil temannya. Bu Sasa meminta kepada anak-anak tenang mendengarkan. “Tidak usah membacakan namanya, bacakan jadwal dan waktu yang tidak sesuai saja,” perintah Bu Sasa pada Badrun
Ada beberapa anak yang menemukan ketidakcocokan antara jadwal yang dikumpulkan dengan jadwal yang ditulis di lembaran di dalam amplop yang dibagikan Bu Sasa.
“Ibu yakin, tanpa membacakan nama pemilik jadwal ini, yang punya pasti hafal kegiatan yang ditulisnya,” ucap Bu Sasa.
“Amplop ini adalah jadwal yang ditulis oleh orang tua kalian masing-masing. Jauh-jauh hari ibu sudah menyurati orang tua kalian dan mengirimkan lembaran jadwal kegiatan hari Minggu kalian yang harus diisi oleh orang tua. Jadi, orangtua kalian telah memantau kegiatan kalian. Ibu hanya ingin tahu sejauh mana kejujuran kalian,” jelas Bu Sasa panjang lebar.
Semua mata saling berpandangan satu sama lain. Mereka tak menyangka Bu Sasa melakukan hal itu.
“Oleh karena itu, ibu kembalikan jadwal kalian beserta amplop di dalam map ini,” kata Bu Sasa sambil mengacungkan map besar berwarna coklat.
Ketika selesai membagikan map coklat sesuai dengan milik anak-anak, Bu Sasa meninggalkan kelas. Kini, kelas mulai ramai dengan suara anak-anak yang beradu dengan kerosak map ketika dibuka. Mereka penasaran.
“Terima kasih Anto, sudah jujur menuliskan jadwal kegiatanmu apa adanya. Kurangi kebiasaan nonton TV, jangan lerlalu lama ya, Dan biasakan bangun pagi. Ibu ada hadiah untukmu”
pesan Bu Sasa yang ditulis dibawah jadwal kegiatan hari minggu yang dibuat dan dikumpulkan kemarin. Anto kembali merogoh bagian dalam map coklat dan mendapati sebuah buku kumpulan cerita nusantara yang masih baru dan disegel.
“Hore,” teriak Anto kegirangan sehingga membuat teman-teman sekelasnya mengerumuni dia.
“Wah, aku nanti pinjam ya,”seru Badrun.
“Tertu saja,kalau aku sudah selesai membacanya, akan kupinjamkan padamu,”ucap Anto.
Dara hanya duduk termangu mengamati teman-temannya. Rupanya dia telah menghapus dan mengganti jadwal kegiatan hari Minggu yang dibuatnya, ketika tahu teman-teman mentertawakan jadwal Anto yang apa adanya. Dara tidak ingin jadwalnya ditertawakan teman-teman. Di bagian bawah jadwalnya Dara mendapati pesan tertulis dari Bu Sasa.”Tidak ada jadwal kegiatan hari minggu yang begitu sempurna. Tidak perlu malu untuk mengakui sesuatu.” Dara merasa benar-benar menyesal.
_____________________
CERPEN:DUA BATANG KAPUR
CREATED BY:TREZHNA
Suatu hari di sebuah rumah sakit di Bandung,pegawai di rumah sakit membeli sekantong kapur baru dan bersih di koperasi rumah sakit. Tapi sayang, karena kecerobohan si penjual, kantong kapur baru itu berlubang. Seharusnya, kapur yang berisi seratus buah menjadi Sembilan puluh sembilan buah. Ternyata ada sebuah kapur yang jatuh dan merggelinding ke tong sampah.
”Iiih! Tempat apa ini. Kotor, jelek,kumal. Seharusnya aku ada di rumah sakit keren, bersih, dan memukau,” ucap si kapur dengan sombong. Di tempat sampah itu, si kapur baru yang masih putih dan bersih ditakdirkan untuk belajar di dalam tong sampah yang dihuni juga oleh sebuah kapur kecil dan dekil.
” DIMANA AKU SEKARANG !” jerit kapur bersih itu.
”Kamu ada di tong sampah,” kata si kapur dekil.
”Mana mungkin! Aku kan baru. Aku kan masih bersih, indah, ramping…” dan seterusnya. Begitulah si kapur Panjang selalu menyombongkan diri.
“Pagi yang cerah” kata kapur kecil sambil tersenyum.
“Pagi yang sangat membosankan!” jawab kapur panjang dengan jengkel.
“Kamu berasal dari mana? ” tanya kapur panjang.
“Aku kapur dari rumah sakit ini, dan aku senang karena sebelum aku menjadi kecil dan dibuang, aku memberikan banyak manfaat bagi orang lain.”
“Maksudmu manfaat apa?” tanya kapur panjang.
“Walaupun aku tidak secantik kamu, aku membuat dokter-dokter disini pintar. Aku mengajar banyak ilmu juga rumus-rumus yang sulit. Berkat aku, professor bisa mengajarkan hal-hal penting dan bermanfaat. Jadi aku tak pernah menyesal berada di sini. ”
Hari demi hari, kapur panjang masih merasakan kesedihan yang meliputi dirinya. Dia masih sedih karena terbuang. Dan kapur pendek selalu menghiburnya dengan menceritakan masa lalunya. Awalnya kapur panjang tidak menggubrisnya. Tapi lama kelamaan kapur panjang tersentuh dengan ceritanya. Kapur panjang pun merenung sambil mendengarkan cerita kapur pendek. Akhirnya kapur panjang pun menyadari berbagai kesalahan yang diperbuatnya selama ini,yaitu terlalu sombong dan ingin selalu tinggal di tempat yang enak. Tapi ada yang membuat sedih kapur panjang sekarang, yaitu dia ingin menjadi kapur yang berguna seperti kapur kecil.
Esoknya seorang suster tua melihat ke tong sampah.
” Wah! Ini ada dua batang kapur, yang setu panjang dan satu pendek.Sayang sekali. Siapa yang membuang kapur ini? Masih bagus. Sebaiknya kuambil untuk mengajar anak-anak cacat,” kata perawat lalu mengambil dua batang kapur.Dua kapur itu sangat senang. Mereka telah menjadi barang-barang yang berguna demi masa depan mereka yang membutuhkan Setelah sampai di yayasan anak cacat tersebut, mereka melihat banyak anak-anak yang menyandang kecacatan dan mereka yang ditinggali orang tuanya. Ada pula yang mengalami kebutaan, dan yang menyandang tuli. Kedua kapur itu sangat bahagia tinggal di panti karena bisa memberikan manfaat untuk anak-anak di panti.
Oleh : Theresna Zahra Sembiring
 
_______-.
22-09-2013

Feeling (cerpen)


Pengalamanku ketika aku masih di bangku SD. Aku masih ingat banget ketika itu masih jam 5 pagi, hari Minggu. Waktu itu, aku masih tertidur pulas dan masih bermimpi. Nah tiba-tiba aku terbangun dari tidurku ketika ada seseorang yang membangunkanku. 2 kali panggilan, mataku mulai kubuka dan kulihat adikku berdiri tegap di depanku sambil tersenyum-senyum genit kearahku. Sebut saja namanya Esa.
Aku juga sempat melihat jam saat itu juga, emang masih jam 5. Tapi, tumben adikku kok udah bangun dan kelihatan segar tanpa ada sedikit raut ngantuk di wajahnya. Aku sempat bercakap-cakap sedikit sama dia.

"Eh Esa kok udah bangun?" kataku sambil mengucek mata. Dia jawab, "Nia, main yuk. Esa main sendiri nih," jawabnya sambil sedikit cengengesan. Karena aku sendiri nggak ada perasaan curiga berlebih, aku ngeiyain kemauan dia. Kalau aku tidur sendiri, aku tidak pernah yang namanya mematikan lampu di kamarku. Hanya saja, bagian ruang tamu dan ruang lain yang selalu gelap. Aku pun mengekor di belakang adikku sambil berbicara lagi, "Esa mau main apa? ini masih pagi." kataku yang masih ngucek mata dan terus mengekor dibelakangnya. Dia gak jawab, dia terus aja jalan. Dan akhirnya, kami berhenti di ruang tamu yang benar-benar gelap.

Disana, aku langsung menghentikan langkahku saat adikku juga berhenti. Dia bilang padaku, "Nia, Esa main disini aja ya. Nia mau ikut main?" katanya tetep cengegesan. Lalu aku jawab aja "Enggak ah Nia mau nonton aja di ruang tamu. Esa jangan kemana-mana ya." Itu aku bicara masih dalam keadaan badan lemes belum bertenaga. Selesai aku mengatakan itu, dia jalan beberapa langkah ke arah sofa yang aku duduki. Tanpa proses, dia langsung masuk ke dalam kolong sofa, gak ada jejak sama sekali.
Bodohnya aku, aku belum menyadarinya walau aku sendiri melihat jelas kejadian itu. Dengan santai, aku jalan menuju ruang tengah dan menyalakan tv. Beberapa menit kemudian, aku mulai bingung sendiri dengan kejadian tadi, merinding sendiri. Ku pikir-pikir, buat apa adikku main di bawah kolong sofa? kayak gak ada kerjaan aja. Nah disitu aku mulai menyadari keganjilan itu.

Karena perasaanku mulai harap-harap cemas alias takut, aku memanggil-manggil adikku yang tadi membangunkanku. Kulakukan itu supaya aku tidak berfikir yang macam-macam tentang adikku. Karena gak ada jawaban dari dia, akhirnya aku membangkitkan keberanianku untuk berjalan ke ruang tamu.
Dalam jalan, aku masih sempat mengatakan, "Esaaa!!! Nia panggil kenapa gak jawab-jawab." Aku langsung tidak meneruskan kalimatku. Aku diam terpaku kearah kolong bangku, gak ada apapun disana. Trus ku dekati kolong bangkunya, memang benar-benar kosong. Sampai akhirnya aku mikir mungkin adikku pasti keluar rumah.
Nah disitu aku bermain logika, kalau adikku memang keluar rumah, kenapa pintu masih terkunci sedangkan kuncinya masih menggantung di pintu rumah. Nah loh, aku panik sendiri disitu, sampai akhirnya, aku berlari ke kamar papaku. Esa memang tidur disana bersama papa dan mama.

Aku menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil papa berkali-kali, pintu pun terbuka. Aku langsung bicara sama papa.
"Papa, Esa mana?" kataku sambil berusaha menenangkan diri.
"Esa masih tidur." jawabnya.
"Emang Esa belum bangun?"
"Masih tidur Nia."
"Tadi Esa keluar kamar gak?" kataku mulai nggak bisa tenang.
"Enggak. dibilang masih tidur."


Papa langsung menutup pintu kembali, dan aku benar-benar panik bukan main. Aku gemetar saat itu juga. gak mungkin kan adikku Esa yang masih kecil bisa menggapai gagang pintu yang lumayan tinggi? Terus, yang tadi itu siapa? Untung aku nolak diajak main sama dia. Coba kalau aku nurut, yaampun gak kebayang deh.
BY:ANNISA FITRIANI BURHAN ;)
_______________________ ______-

Menunggu Kabar (Cerpen)

Rafi kembali menghela nafasnya dan dikeluarkan melalui mulut perlahan “Maaf mungkin ini untuk terakhir kalinya kita bertemu” kata-katanya membuat penderitaanku semakin menambah “Mungkin ini saat-saat terakhir kita bersama karena kita tak akan bertemu lagi, maafkan aku ya kalau perkataan aku tadi membuat kamu sedih, tapi aku harus bilang, sebelum aku pergi” gugamnya padaku, bibirku terbungkam tak sedikit kata terlontar di bibir ini.
“Apa?” nafasku berhenti sejenak, jantungku seakan ingin lepas karena kata-katanya, seketika otakku membeku dan entah mulutku seakan bisu, diam seribu bahasa. Aku coba menahan sesuatu yang akan menetes dari mataku ini, tapi entah kenapa rasanya berat sekali. Air mata itu pun akhirnya jatuh juga. Aku memeluk diriku sendiri, seakan ada sesuatu yang akan hancur di dalam dadaku. Tubuhku terasa lemas bahkan sudah tak kuat lagi memegang sebuah handphone di tanganku. Aku tak percaya ini benar-benar terjadi. Dirinya mengucapkan satu kalimat yang entah terasa sangat menyakitkan di hatiku.
“Maaf, mulai sekarang kita jalani sendiri-sendiri. ” Ujarnya. Terdengar simple tapi menyakitkan. Malam itu tak henti-hentinya mataku menitihkan air mata. Aku terlalu menyayanginya, sangat sulit melupakannya. Setiap hari kami selalu melakukan berbagai aktifikas bersama. Dari berangkat sekolah, istirahat, pulang bersama, bahkan les dan ngaji pun sama-sama.
“Oh God, apa aku bisa melakukan semua itu tanpanya?” benakku
Lagi-lagi aku hanya bisa menangis dengan keadaan semua ini, hatiku pun hancur “Tuhan.. Kenapa semua orang yang ku cinta satu persatu pergi ninggalin aku? Kenapa begini? Kenapa semua ini terjadi? Kenapa? KENAPA?” jerit batin ku lagi. “Mungkin sebaiknya kita tak komunikasi saja ya? Karena kita gak mungkin bertemu lagi, jadi aku mohon kamu ngertiin aku ya?” aku hanya diam saja, Rafi pun menggelus-ngelus rambutku, aku hanya tersenyum dan menggangut-nganggut pelan “Padahal sebenarnya aku gak mau kamu pergi Rafi, aku… Aku sudah cukup kesepian dengan kepergian Ibuku tapi sekarang kamu juga akan pergi?” rintih hatiku lagi. “Raf, aku ke toilet dulu ya?” aku pun langsung menuju toilet, aku menanggis tak kuat menahan semuanya “TUHAN KENAPA SEMUANYA PERGI NINGGALIN AKU? APA SALAHKU? KENAPA SEMUA TEGA NINGGALIN AKU? MULAI DARI IBU, DAN SEKARANG RAFI? AKU GAK KUAT HIDUP SENDIRIAN DI DUNIA INI!” aku berteriak di toilet itu, aku menangis tersedu sampai-sampai terdengar keluar.
Seketika anak-anak yang berada di luar toilet pun heran melihat wajahku yang lebam sekali “Kamu kenapa..?” tanya salah satu temanku, “Ih.. Si Hanna kenapa yah? Mukanya lebam gitu” bisik teman-teman di belakangku, seakan perduli denganku, aku langsung berjalan menuju kelas.
Keesokan harinya berjalan seperti biasa. Aku menunggu bis sekolah yang tiap hari menjemputku dan siswa-siswa lainnya. Di dalam bis itu, aku duduk di tempat biasanya, tempat di mana ia dan aku selalu menghabiskan perjalanan dari rumah ke sekolah dengan berbincang-bincang. Tibalah bis itu didepan rumahnya. Ia pun menaiki bis itu dengan gayanya yang sangat cool. Kupikir dia akan tetap duduk di sebelahku, tapi ternyata ia malah duduk dengan temannya. dia tak menyapaku sama sekali, aku dianggap seperti barang yang tidak ada.
“hemm, dia menjauhiku” gumamku perlahan
Setelah turun dari bis, aku pun berjalan melalui koridor sekolah. hari ini rasanya berat. masih pagi saja, rasanya aku sudah ingin pulang ke rumah dan serega mengunci kamarku, aku dan dia berbeda kelas, jadi kami tidak memasuki ruang yang sama. Pelajaran hari ini, sepertinya tak ada satupun yang nyambung di otakku, sepertinya hari ini otakku hanya diprogram untuk memikirkannya. Saat istirrahat aku bergegas membayar SPP di Tata usaha. Aku mulai memasuki ruangan tata usaha dengan perlahan-lahan. Aku terkejut ternyata itu dia, dia sedang duduk dan menyerahkan beberapa berkas yang entah berkas apa itu. Aku pun beranjak mendekatinya, tapi seketika itu ia malah beranjak pergi, aku pun tidak menghiraukannya dan langsung bergegas membayar SPP. Setelah membayar SPP, karena penasaran aku pun bertanya kepada petugas TU tentang berkas apa yang tadi di berikan oleh Rafi. betul, Rafi orang yang selama ini aku sayangi. setelah melakukan beberapa basa-basi akhirnya petugas TU itupun mau memberi tau. Dan saat itu aku benar-benar kaget dengan apa yang diberitahukan oleh petugas TU tersebut. Ternyata berkas-berkas itu adalah berkas untuk pindah sekolah. dan Emir sudah melengkapi semuanya.
“Apa?! Rafi pindah sekolah” benakku sembari meninggalkan ruang TU. Aku langsung bergegas mengambil handphone ku dan mengirim sebuah pesan pada Rafi.
“Kamu pindah sekolah, ya? kenapa kamu tidak memberitahuku” sms ku pada Rafi
Beberapa menit kemudian hp ku berbunyi. Saat kubuka itu balasan sms dari Rafi
“Maafkan aku, aku tidak memberitahumu. Aku takut kamu sedih, aku harus pindah sekolah ke luar negeri karena ayahku mempunyai tugas disana. Besok aku sudah harus pergi ke sana, dan Paman ku yang akan mengurus administrasinya, aku akan ikut penerbangan pagi dengan pesawat GA-578, aku harap kau akan di sana untuk salam perpisahan.”
Sejenak, aku mulai tertegun. bahkan tanganku seakan tak kuat menggenggam sebuah handphone. Malam harinya entah mengapa mataku tak kunjung merasakan ngantuk. Aku pun pergi ke balkon dan memutuskan untuk melihat bintang di sana. Sejenak bintang-bintang itu menghiburku, tapi aku kembali teringat Rafi, dia akan pergi besok, entah apakah aku benar-benar siap hidup tanpanya. ahh, apa yang aku pikirkan, pasti Rafi akan kembali lagi suatu saat nanti.
Keesokan harinya, jam 7 pagi aku berangkat ke bandara, entah sejak pagi hari ini firasatku benar-benar tidak enak. Rafi berangkat ke Amerika jam 8 pagi, mudah-mudahan aku benar-benar sampai tepat waktu. Jalan dari rumahku ke bandara memang cukup jauh, mungkin sekitar setengah jam. kira-kira tinggal 2 km dari bandara, tiba-tiba mobilku mogok. oh god kenapa bisa jadi begini. Aku langsung coba membuka tempat mesin mobil itu. tiba-tiba sebuah asap mengebul keluar. Aku langsung menelpon petugas mobil derek. 10 menit berlalu sekarang sudah jam 7.40, akhirnya mobil derek itupun datang dan aku menitipkan mobilku pada petugas yang akan menderek mobilku sampai rumah.
Tinggal 20 menit lagi, aku pun langsung menyetop sebuah taksi untuk mengantarku ke bandara. Di dalam taksi aku terus melihati jam tanganku dan terkadang berharap semoga waktu bisa sejenak berhenti. Akhirnya sampai di bandara, sekarang sudah jam 7.55. setelah membayar taksi akupun langsung berlari ke arah pintu check in penerbangan amerika. Benar saja Rafi berdiri di sana. Rafi melihatku dan tiba-tiba langsung memelukku.
“aku akan sangat merindukanmu, Radin” ujarnya sambil menitihkan sebuah air mata
“aku yang akan lebih merindukamu” kataku dengan sangat lirih
“Aku akan kembali kesini, setiap hari aku akan mengabarimu dan merindukanmu, aku sayang padamu” lanjutnya
“aku juga sayang padamu” jawabku dengan terisak-isak
“Kamu jangan menangis, kamu akan lebih cantik jika tersenyum” ujarnya sembari menghapus air mataku.
Aku pun akhirnya mengantarkan Rafi dan melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
“Aku akan segera kembali, tunggu aku” teriaknya sambil tersenyum
aku pun pulang ke rumah, menyetel lagu mellow dan langsung berbaring di kamar. Saat berbaring aku memandangi fotoku dengan Rafi. Lama kelamaan, aku pun langsung lenyap dalam kelembutan suasana, dan akhirnya tertidur lelap. Keesokan harinya papa seperti biasanya menonton berita di TV, aku pun ikut duduk di sofa sambil meminum teh ku. Tiba-tiba pembaca berita membaca sebuah berita yang benar-benar tidak aku duga.
“pesawat GA-578 jatuh di Samudera pasifik, dikabarkan tidak ada satupun korban yang selamat, berikut daftar korban” ucap pembawa berita

Aku pun mulai tertegun dan meneteskan air mata, papa juga ikut tertegun dan langsung bertanya padaku
“bukannya itu pesawat yang dinaiki Rafi kan?” ucap Papa
Aku tak menghiraukannya, pandangan mataku tetap menatap nama-nama yang ada di televisi. Tiba-tiba ada nama dan foto Rafi di sana. Aku pun menangis sejadi-jadinya.
“Pa, Rafi..Pa” Ucapku sambil menangis tak henti-hentinya.
Papaku berusaha menjauhkan aku dari TV di ruang keluarga dan mencoba menenangkan diriku.

Clarified By Denia Asyafira
_____________________-
KARENA AKU SAYANG MAMA :*
Namaku Tashya, umurku 15 tahun. Aku tinggal berdua bersama Mama. Papa dan Mama sudah bercerai 10 tahun yang lalu, aku ikut mama dan Maya (adikku) ikut Papa.
*Ketika pulang sekolah*
Tok tok tok “Ma, aku pulang” aku teriak sambil mengetok pintu rumah. “Masuk aja nak, pintu gak mama kunci” saut mama dari arah dapur. Aku pun langsung bergegas ke ruang makan dan mencoba mencolong tempe goreng hangat yang baru mama masak. “eeitt.. ganti baju dulu, baru kita makan bareng.” Jawab mama dengan senyum tipis sambil memegang tanganku yang enggan mengambil tempe goreng di meja makan. Tradisi itu sudah berlangsung selama 11 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat. Kebiasaan aku dan mama tak pernah berubah.
*Saat sedang makan bersama*
“Uhuk uhuk” suara batuk yang terdengar tak lagi asing pun mengarah dari arah mama, kulihat tangan mama yang sedang menutupi mulut dan hidung itu pun mengeluarkan darah. Mama pun segera menuju kamar mandi dengan tubuh lesu nya. Bodohnya aku, yang hanya tertunduk diam, dan melanjutkan makan ku tanpa sedikit pun menghiraukannya. Sebenarnya aku ingin sekali menolong dan bertanya kepada mama seperti yang dilakukan seorang anak di film-film. Tetapi kata-kata itu seakan tertahan oleh gengsi ku. Aku pun masih belum berani berbicara bijak didepan mama.
Esoknya, ketika matahari hangat mulai terbit, yaa seperti biasa, aku dan mama melaksanakan shalat shubuh 2 rakaat di ruang tamu. Dan mama yang selalu berada didepanku. Anehnya, ketika sujud, mama tidak lagi terbangun dan melanjutkan shalatnya. Saat itu lah mama menghela nafas terakhirnya, aku pun menjerit histeris. Ku lihat wajah mama yang terlihat terang dan bersinar, ku cium pipi nya yang mulai keriput, ku lihat senyum terakhirnya yang sangat manis. Aku menyesal tak pernah merawat mama, aku selalu sibuk dengan dunia ku sendiri.
Seminggu telah berlalu, aku selalu menghabiskan waktu ku untuk merenung, melamun dengan tatapan kosong memikirkan mama yang tak lagi bersama ku. Aku hidup sebatang kara tak mempunyai siapa-siapa.
Ketika aku sedang membersihkan lemari besar milik Alm. Mama dikamar. Aku ingin mengambil pakaian yang berada di paling atas lemari, aku mencoba melompat dan tiba-tiba aku melihat selembar surat putih jatuh dari bawah pakaian.
Isi dari surat tersebut :
“Ya tuhan, berikan aku waktu untuk menjaganya, menemani hari-harinya, mengisi kekosongan waktunya. Aku masih ingin membuatkannya sarapan pagi, memasak tempe goreng kesukaannya, menyapanya ketika pulang sekolah, bercanda bersamanya, dan merawatnya saat sakit. Mama Sayang Tashya.”
Ah, ya Tuhan, ternyata bagi seorang ibu bersusah payah melayani putrinya adalah sebuah kebahagiaan besar. Aku pun segera meredam tangis ku dan coba bicara dalam hati “Karena Aku Sayang Mama” itulah ucapan ku kepada mama, dan aku yakin mama pasti mendengarnya.
Sahabatku, tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat “Aku sayang padamu.” Namun begitu, Tuhan menyuruh kita untuk menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang yang kita cintai. Ayo, kita mulai dari orang yang terdekat yang sangat mencintai kita, Ibu. Walau ia tak pernah meminta. Percayalah.. kata-kata “Karena Aku Sayang Mama” akan sangat berarti dan membuat mereka sangat bahagia. “Ya Allah, cintailah mamaku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan mama. Dan jika saatnya nanti mama kau panggil, terimalah dan jagalah ia di sisiMu. Titip mamaku, ya Allah.
BY:ANNISA FITRIANI.B 
______

Tidak ada komentar:

Posting Komentar